Syiar

Hukum Menggunakan Alat Kontrasepsi dalam Islam

Kamis, 26 September 2024 | 08:30 WIB

Hukum Menggunakan Alat Kontrasepsi dalam Islam

Ilustrasi alat kontrasepsi. (Foto: NU Online/ Freepik)

Hari Kontrasepsi Sedunia diperingati setiap tahun pada 26 September. Hari ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global mengenai pentingnya keluarga berencana dan akses terhadap alat kontrasepsi yang aman dan efektif. 


Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa setiap kehamilan diinginkan dan direncanakan, serta untuk mengurangi angka kehamilan yang tidak diinginkan di seluruh dunia.


Hari ini juga menjadi momentum untuk mempromosikan hak individu, terutama perempuan, dalam mengambil keputusan terkait kesehatan reproduksi mereka sendiri. 


Selain itu, kampanye pada Hari Kontrasepsi Sedunia sering kali berfokus pada edukasi mengenai berbagai metode kontrasepsi, termasuk kondom, pil KB, IUD, dan lainnya, serta pentingnya perlindungan terhadap penyakit menular seksual (PMS).


Berbicara masalah kontrasepsi, Pemerintah Indonesia sangat menyarankan kepada masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi yang gunanya sebagai pencegahan kehamilan. Lalu bagaimana pandangan hukum Islam terhadap penggunaan alat kontrasepsi tersebut?


Dilansir dari NU Online, secara fiqhiyah, pada dasarnya menggunakan alat kontrasepsi diqiyaskan dengan apa yang dinamakan ‘azl yaitu mengeluarkan air mani di luar vagina. Pada zaman dulu, ‘azl dijadikan sarana untuk mencegah kehamilan.  


Sedangkan alat kontrasepsi juga sama-sama untuk mencegah kehamilan, bedanya ‘azl tanpa alat sedangkan kontrasepsi dengan alat bantu seperti kondom dan spiral. Dan keduanya dipertemukan karena sama-sama untuk mencegah kehamilan, dan sama sekali tidak memutuskan kehamilan.   


Berangkat dari penjelasan ini, maka ketika membahas alat kontrasepsi, terlebih dahulu yang harus diketahui adalah bagaimana hukumnya ‘azl. Dan jika sudah diketahui kedudukan hukum ‘azl maka kita tinggal menyamakan hukumnya saja.


Terdapat hadits yang memperbolehkan ‘azl, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra:


عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا--رواه مسلم


Artinya: Dari Jabir ia berkata, kita melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw kemudian hal itu sampai kepada Nabi saw tetapi beliau tidak melarang kami (HR Muslim). 


Namun ada juga hadits yang melarang ‘azl, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Judamah binti Wahb:


عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ قَالَتْ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنْ الْغِيلَةِ فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنْ الْعَزْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ --رواه مسلم


Artinya: Dari Judamah bin Wahb saudara perempuan ‘Ukkasyah ia berkata, saya hadir pada saat Rasulullah saw bersama orang-orang, beliau berkata, sungguh aku ingin melarang ghilah (menggauli istri pada masa menyusui) kemudian aku memperhatikan orang-orang romawi dan parsi ternyata mereka melakukan ghilah tetapi sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka. Kemudian mereka bertanya tentang ‘azl, lantas Rasulullah saw berkata, itu adalah pembunuhan yang terselubung (HR Muslim).     


Menanggapi dua hadits yang seakan saling bertentangan tersebut, maka Imam Nawawi mengajukan jalan tengah dengan cara mengkompromikan keduanya. Menurutnya, hadits yang melarang ‘azl harus dipahami bahwa larangan tersebut adalah sebatas makruh tanzih atau diperbolehkan, sedang hadits yang memperbolehkan ‘azl menunjukkan ketidakharamannya ‘azl. Tetapi ketidakharaman ini tidak menafikan kemakruhan ‘azl.


ثُمَّ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ مَعَ غَيْرِهَا يُجْمَعُ بَيْنَهَا بِأَنَّ مَا وَرَدَ فِي النَّهْيِ مَحْمُولٌ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ وَمَا وَرَدَ فِي الْإِذْنِ فِي ذَلِكَ مَحْمُولٌ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِحَرَامٍ وَلَيْسَ مَعْنَاهُ نَفْيُ الْكَرَاهَةِ


Artinya: Kemudian hadits-hadits ini yang saling bertetangan harus dikompromikan dengan pemahaman bahwa hadits yang melarang ‘azl itu menunjukkan makruh tanzih. Sedang hadits yang memperbolehkan ‘azl itu menunjukkan bahwa ‘azl tidaklah haram. Dan pemahaman ini tidak serta-merta menafikan kemakruhan ‘azl (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Dar Ihya` at-Turats, cet ke-2, 1329 H, juz, 10, halaman 9).      


Karena itulah maka Imam Nawawi dengan tegas menyatakan bahwa hukum ‘azl adalah makruh (diperbolehkan walau tidak disarankan) meskipun pihak istri menyetujuinya. Alasannya adalah ‘azl merupakan salah satu sarana untuk menghindari kehamilan.


اَلْعَزْلُ هُوَ أَنْ يُجَامِعَ فَإِذَا قَارَبَ الْإِنْزَالُ نَزَعَ وَأَنْزَلَ خَارِجَ الْفَرْجِ وَهُوَ مَكْرُوهٌ عِنْدَنَا فِي كُلِّ حَالٍ وَكُلِّ امْرَأَةٍ سَوَاءٌ رَضِيَتْ أَمْ لَا لِأَنَّهُ طَرِيقٌ إِلَى قَطْعِ النَّسْلِ


Artinya: ’Azl adalah menggaulinya suami terhadap istri kemudian ketika suami mau keluar mani ia melepaskan dzakarnya dan mengeluarkannya di luar farji. Hukum ‘azl menurut kami adalah makruh dalam kondisi apa saja dan pada setiap perempuan baik ia rela maupun tidak, karena ‘azl adalah sarana untuk memutuskan keturunan.


Penjelasan singkat di atas setidaknya bisa dijadikan sebagai rujukan mengenai kebolehan alat kontrasepsi (KB). Bahkan NU pada 21-25 Syawal 1379 H/ 18-22 April 1960 dalam Konbes Pengurus Besar Syuriyah NU ke-1 telah membahas mengenai Family Planing (Perencanaan Keluarga). Kemudian pada Muktamar ke-28 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak 26-28 Rabiul Akhir 1410 H/ 25-28 Nopember 1989 M juga telah memutuskan kebolehan menggunakan spiral sama dengan ‘azl¸ atau alat kontrasepsi yang lain (Ahkamul Fuqaha, Surabaya-Khalista bekerjasama dengan LTN PBNU, cet ke-1, 2011, halaman 302 dan 450-452). 


Maka dari dari itu, pemaparan beberapa alil di atas telah memberikan hukum yang jelas bahwa menggunakan alat kontrasepsi hukumnya makruh.