Syiar

Hukum Memotong Kuku dan Rambut dalam Keadaan Hadats Besar

Senin, 2 September 2024 | 20:15 WIB

Hukum Memotong Kuku dan Rambut dalam Keadaan Hadats Besar

Ilustrasi memtong kuku (Foto: NU Online)

Memotong kuku dan rambut merupakan pekerjaan mubah, artinya boleh dipotong atau tidak, asalkan tidak menimbulkan penyakit dan mudharat di kemudian hari. Jika memelihara kuku menjadikan kuku penuh kuman dan bakteri sehingga menjadikan sakit, maka wajib hukumnya untuk memotong kuku tersebut.


Juga ketika memanjangkan rambut, justru menjadikan hidup tidak terurus dan banyak kutu di kepala, sehingga menjadikan kepala kurang nyaman, maka wajib hukumnya memotong rambut tersebut. 


Perihal memotong rambut dan kuku, kita sering menjumpai dalam keadaan hadats besar (junub, haidh dan nifas), sedang kita sudah merasa risih jika membiarkannya. Lalu bagaimana hukumnya jika kita memotong rambut dan kuku dalam keadaan hadats besar tersebut?


Dalam hal ini, Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain, menjelaskan jika orang memiliki hadats besar, disunnahkan untuk tidak menghilangkan, mengeluarkan atau memotong bagian tertentu dari tubuh. 


Seperti, rambut, darah, kuku dan lain sebagainya sampai ia bersuci. Sebab bagian tersebut, akan dikembalikan oleh Allah swt pada tempat semula di akhirat.


وَمن لزمَه غسل يسن لَهُ أَلا يزِيل شَيْئا من بدنه وَلَو دَمًا أَو شعرًا أَو ظفرا حَتَّى يغْتَسل ‌لِأَن ‌كل ‌جُزْء يعود لَهُ فِي الْآخِرَة فَلَو أزاله قبل الْغسْل عَاد عَلَيْهِ الْحَدث الْأَكْبَر تبكيتا للشَّخْص   


Artinya: Bagi orang wajib mandi, maka disunahkan tidak menghilangkan sesuatu yang menjadi bagian tubuhnya, seperti, darah, rambut dan kuku sampai ia mandi wajib (suci). Sebab semua itu akan dikembalikan untuknya di akhirat. Jika ia menghilangkannya sebelum mandi wajib, maka hadats besar akan kembali kepada orang tersebut sebagai celaan bagi dirinya (Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Fikr, 2010] halaman 30).


Senada dengan hal tersebut, Syekh Sulaiman bin Umar Al-Jamal atau yang lebih dikenal dengan Al-Jamal, dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal menjelaskan juga anjuran untuk tidak menghilangkan, mengeluarkan, ataupun memotong bagian tertentu dari anggota tubuh dalam keadaan junub, dengan menukil pendapat dari Imam Al-Ghazali.


قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ وَيَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ لَا يُزِيلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ يَقُصَّ أَظَافِرَهُ أَوْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ أَوْ عَانَتَهُ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبَيِّنَ جُزْءً مِنْ نَفْسِهِ وَهُوَ جُنُبٌ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ أَجْزَائِهِ تُرَدُّ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ وَيُبْعَثُ عَلَيْهَا فَتَعُودُ بِصِفَةِ الْجَنَابَةِ وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا   


Artinya: Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin mengatakan: Sebaiknya orang tidak menghilangkan suatu bagian dari rambut, memotong kuku, menggundul kepala atau bulu kemaluan, mengeluarkan darah, ataupun melakukan hal lain terhadap bagian tubuhnya, sedangkan ia dalam keadaan junub. Sebab, semua bagian-bagian tersebut akan dikembalikan kepadanya di akhirat dan bersama bagian tersebut pula ia akan dibangkitkan. Maka (jika terpotong) akan kembali dengan sifat jinabahnya. Juga dikatakan, setiap rambut akan meminta pertanggungjawaban karena kondisi junubnya (Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, [Beirut, Darul Fikr: tt.], juz I, halaman 166).


Maka dari redaksi di atas kita bisa mengetahui bahwa memotong kuku dan rambut ketika hadats besar hukumnya makruh. Akan tetapi jika sudah sangat risih dan penting sekali, lebih baik dipotong saja, karena makruh bukanlah haram. Jika dikerjakan tidaklah berdosa.