Syiar

Hukum Membawa Kitab Tafsir dan Terjemahan Al-Qur’an Tanpa Wudhu

Jumat, 18 Oktober 2024 | 09:07 WIB

Hukum Membawa Kitab Tafsir dan Terjemahan Al-Qur’an Tanpa Wudhu

Ilustrasi Al Quran. (Foto: NU Online)

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Di dalamnya berisi petunjuk, ajaran, dan hukum dalam berbagai aspek kehidupan. Al-Qur’an ditulis dalam bahasa Arab dan dianggap sebagai pedoman hidup bagi umat Islam, memberikan arahan moral, spiritual, dan sosial. 


Al-Qur’an merupakan kitab suci yang sakral bagi umat Islam. Saking sakralnya, jika menyentuh atau membawa mushafnya, umat Islam harus suci dari hadats besar dan kecil. Dan jika tetap ingin menyentuh dan membawannya, maka dihukumi haram dan berdosa. 


Lalu bagaimana hukumnya jika menyentuh dan membawa Al-Qur’an terjemahan atau kitab tafsir. Apakah statusnya sama dengan Al-Qur’an tanpa terjemah, sehingga dalam memegang dan membawanya wajib dalam keadaan suci dari hadats? Atau hukumnya berbeda? 


Dilansir dari NU Online, kaidah yang harus diketahui sebelum menjawab pertanyaan ini adalah bahwa Al-Qur’an menjadi hilang kewajiban memegang dalam keadaan suci ketika di dalamnya lebih dominan penafsiran Al-Qur’an dari pada teks asli Al-Qur’an dalam segi hurufnya. 


Dalam artian, jika jumlah huruf Al-Qur’an dikalkulasikan (menurut sebagian pendapat, jumlah huruf Al-Qur’an sebanyak 162.671) masih tidak sebanding dengan jumlah huruf yang ada pada tafsir Al-Qur’an. Sehingga diperbolehkan untuk menyentuhnya meski tanpa wudhu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf Al-Qur’an tapi beralih menjadi kitab Tafsir. 


Hal ini seperti yang sering kita lihat dalam kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti tafsir Fakhrurrazi, Al-Qurtuby, Ibnu katsir, dll.  


Sedangkan untuk kitab tafsir Jalalain menurut sebagian pendapat jumlah hurufnya lebih banyak dua huruf jika dibandingkan dengan huruf Al-Qur’an sehingga boleh menyentuhnya tanpa wudhu. 


Meski begitu para ulama tetap menganjurkan orang yang membawa kitab tafsir Jalalain agar tetap dalam keadaan suci, sebab dikhawatirkan adanya kesalahan cetakan atau penulisan dalam kitabnya hingga akhirnya mengurangi jumlah huruf tafsiran yang ada pada kitab tafsir Jalalain. 


Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah terjemahan dihukumi sebagai tafsir? Dalam Manahil al-Irfan dijelaskan bahwa terjemah terbagi menjadi dua. Pertama, terjemah harfiyyah, yakni penerjemahan Al-Qur’an per kata dengan memberikan pada masing-masing kata dalam Al-Qur’an dengan makna yang sesuai (dalam hal ini menggunakan bahasa Indonesia) tanpa adanya loncatan penerjemahan untuk mewujudkan runtutan arti yang sesuai. 


Kedua, terjemah tafsiriyyah, yaitu penerjemahan Al-Qur’an yang lebih dominan dalam hal mewujudkan rangkaian makna yang sesuai dan mudah dipahami, sehingga penerjemahan dengan model seperti ini sering terjadi loncatan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an (Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, juz 2, hal. 80). 


Terjemahan yang biasanya kita temui dan digunakan oleh khalayak umum termasuk dalam kategori terjemah Tafsiriyyah, sebab jika diteliti secara mendalam banyak sekali ditemukan lompatan-lompatan makna yang tidak sesuai dengan runtutan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, hal ini dikarenakan tujuan penulisan terjemah tersebut lebih ke arah memahamkan pembaca pada maksud dalam kata Al-Qur’an secara umum, bukan mengartikan per-kosa kata dalam Al-Qur’an. 


Segala jenis terjemah, baik terjemah tafsiriyyah ataupun harfiyyah tidak berstatus sebagai tafsir yang dapat merubah Al-Qur’an menjadi dapat dipegang meski dalam keadaan hadats. Sebab arti tafsir sendiri adalah:


وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل {اللغة العربية} أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض 


Artinya: Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran . mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam Al-Qur’an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain (Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Manahil al-Irfan, Juz 2, Hal. 80) 


Terjemahan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam Al-Qur’an, akan tetapi hanya sebatas mengartikan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. 


Oleh sebab itu, maka orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Al-Qur’an terjemahan. Hukum ini ditegaskan dalam kitab Nihayah az-Zain:


أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان


Artinya: Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis di bawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya (dalam keadaan hadats), hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan (Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain juz. 1, Hal. 33).


Kesimpulannya bahwa status Al-Qur’an terjemahan tetap dihukumi sebagai Al-Qur’an seperti biasa, sehingga yang membawa dan memegangnya harus suci. Sedangkan untuk kitab tafsir Al-Qur’an dilihat dulu jumlah hurufnya. Jika lebih sedikit atau setara dengan Al-Qur’an, maka tetap harus suci, dan jika lebih banyak dari Al-Qur’an maka boleh tanpa berwudhu (hadats kecil).