Syiar

Hukum Makan Kepiting Menurut Empat Mazhab

Selasa, 27 Agustus 2024 | 19:00 WIB

Hukum Makan Kepiting Menurut Empat Mazhab

Ilustrasi kepiting (Foto: NU Online)

Dikutip dari National Today, setiap 27 Agustus diperingati sebagai Hari Sup Kepiting di Nikaragua, Amerika Tengah. Festival Sup Kepiting ini juga dianggap sebagai acara penting yang menghormati penghapusan perbudakan di Nikaragua.Ā 


Berbicara masalah kuliner kepiting, apakah ajaran Islam memperbolehkan umatnya untuk mengkonsumsinya atau tidak?


Kepiting merupakan makanan yang sangat digemari oleh masyarakat dunia. Di samping rasanya yang lezat, makanan laut yang satu ini mengandung beragam gizi penting, meliputi energi, protein, lemak, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin B1, dan kolesterol.Ā 


Dilansir dari NU Online, kepiting juga mengandung asam folat, vitamin B kompleks, mmega-3, serta berbagai mineral.Ā 


Kepiting dalam fiqih dikenal dengan istilah ā€œal-hayawan al-barma’i", yaitu binatang yang dapat hidup di darat dan di laut, sebagaimana katak, penyu, dan buaya. Karenanya, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi binatang yang kaya kolesterol ini (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz 4, halaman 2799).Ā 


Pertama, ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i menegaskan, mengonsumsi kepiting hukumnya haram, sebab termasuk kategori khaba’its (sesuatu yang menjijikkan). Ā 


Ulama mazhab Hanafi mengharamkan kepiting, karena menurut mereka, binatang laut yang halal dikonsumsi hanya ikan semata. Sedangkan binatang lain selain ikan hukumnya haram, walaupun hidup di laut. Imam Ibnu Abidin menerangkan:


ŁˆŁŽŁ…ŁŽŲ§ Ų¹ŁŽŲÆŁŽŲ§ Ų£ŁŽŁ†Ł’ŁˆŁŽŲ§Ų¹Ł Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŁ…ŁŽŁƒŁ مِنْ Ł†ŁŽŲ­Ł’ŁˆŁ Ų„ŁŁ†Ł’Ų³ŁŽŲ§Ł†Ł Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ§Ų”Ł ŁˆŁŽŲ®ŁŁ†Ł’Ų²ŁŁŠŁ’Ų±ŁŁ‡Ł Ų®ŁŽŲØŁŁŠŁ’Ų«ŁŒ ŁŁŽŲØŁŽŁ‚ŁŁŠŁŽ ŲÆŁŽŲ§Ų®ŁŁ„Ł‹Ų§ ŲŖŁŽŲ­Ł’ŲŖŁŽ Ų§Ł„ŲŖŁ‘ŁŽŲ­Ł’Ų±ŁŁŠŁ’Ł…Ł. ŁˆŁŽŲ­ŁŽŲÆŁŁŠŁ’Ų«Ł (Ł‡ŁŁˆŁŽ Ų§Ł„Ų·Ł‘ŁŽŁ‡ŁŁˆŁ’Ų±Ł Ł…ŁŽŲ§Ų¤ŁŁ‡Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ų­ŁŁ„Ł‘Ł Ł…ŁŽŁŠŁ’ŲŖŁŽŲŖŁŁ‡Ł) Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŲ±ŁŽŲ§ŲÆŁ Ł…ŁŁ†Ł’Ł‡Ł Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŁ…ŁŽŁƒŁĀ 


Artinya: Dan selain berbagai macam ikan, seperti manusia laut dan babi laut, adalah menjijikkan dan masuk kategori haram. Sedangkan hadits; (Laut itu suci airnya dan halal bangkainya), maksudnya adalah ikan (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 6, halaman 307.


Imam At Thahawi dalam kitab Mukhtashar Ikhtilafil Ulama menyebutkan:


ŁˆŁŽŁ„ŁŽŲ§ ŁŠŁŲ¤Ł’ŁƒŁŽŁ„Ł Ų“ŁŽŁŠŁ’Ų”ŁŒ مِنْ Ų­ŁŽŁŠŁŽŁˆŁŽŲ§Ł†Ł Ų§Ł„Ł’ŲØŁŽŲ­Ł’Ų±Ł Ų„ŁŁ„Ł‘ŁŽŲ§ Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŁ…ŁŽŁƒŁŽĀ 


Artinya: Dan binatang laut dalam bentuk apa pun tidak boleh dimakan kecuali ikan (At Thahawi, Mukhtashar Ikhtilafil Ulama, juz 3, halaman 214).Ā 


Sama dengan mazhab Hanafi, kitab-kitab mazhab Syafi’i pun juga secara tegas menyebutkan keharaman mengonsumsi kepiting. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menuliskan:


ŁˆŁŽŲ¹ŁŽŲÆŁ‘ŁŽ Ų§Ł„Ų“Ł‘ŁŽŁŠŁ’Ų®Ł Ų£ŁŽŲØŁŁˆ Ų­ŁŽŲ§Ł…ŁŲÆŁ ŁˆŁŽŲ„ŁŁ…ŁŽŲ§Ł…Ł Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŽŲ±ŁŽŁ…ŁŽŁŠŁ’Ł†Ł مِنْ Ł‡ŁŽŲ°ŁŽŲ§ Ų§Ł„Ų¶Ł‘ŁŽŲ±Ł’ŲØŁ Ų§Ł„Ų¶Ł‘ŁŁŁ’ŲÆŁŽŲ¹ŁŽ ŁˆŁŽŲ§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŲ±ŁŽŲ·ŁŽŲ§Ł†ŁŽŲŒ ŁˆŁŽŁ‡ŁŁ…ŁŽŲ§ Ł…ŁŲ­ŁŽŲ±Ł‘ŁŽŁ…ŁŽŲ§Ł†Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ°Ł’Ł‡ŁŽŲØŁ Ų§Ł„ŲµŁ‘ŁŽŲ­ŁŁŠŁ’Ų­Ł Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŁ†Ł’ŲµŁŁˆŁ’ŲµŁŲŒ ŁˆŁŽŲØŁŁ‡Ł Ł‚ŁŽŲ·ŁŽŲ¹ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ų¬ŁŁ…Ł’Ł‡ŁŁˆŁ’Ų±Ł Ā 


Artinya: Syekh Abu Hamid dan Imam al-Haramain memasukkan katak dan kepiting ke dalam kategori binatang yang dapat hidup di dua tempat. Dua binatang tersebut diharamkan menurut pendapat yang shahih dan tercatat dalam mazhab. Dan dengan hukum haram ini, mayoritas ulama mazhab memutuskan (Imam Nawawi, Al-Majmu’, juz 9, halaman 30). Ā 


Imam Ad Dumairi berkata:


ŁŠŁŽŲ­Ł’Ų±ŁŁ…Ł Ų£ŁŽŁƒŁ’Ł„ŁŁ‡Ł Ł„ŁŲ§Ų³Ł’ŲŖŁŲ®Ł’ŲØŁŽŲ§Ų¦ŁŁ‡Ł ŁƒŁŽŲ§Ł„ŲµŁ‘ŁŽŲÆŁŽŁŁŲŒ Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ų§Ł„Ų±Ł‘ŁŽŲ§ŁŁŲ¹ŁŁŠ : ŁˆŁ„ŁŁ…ŁŽŲ§ ŁŁŁŠŁ’Ł‡Ł Ł…ŁŁ†ŁŽ Ų§Ł„Ų¶Ł‘ŁŽŲ±ŁŽŲ±ŁĀ 


Artinya: Haram memakan kepiting karena ia selalu menyelinap (bersembunyi) seperti kerang. Imam Rafi’i berkata: Dan karena ia mengandung bahaya (Ad Dumairi, Hayatul Hayawan al-Kubra, juz 1, halaman 391).Ā 


Kedua, menurut mazhab Maliki dan mazhab Hanbali, kepiting halal dikonsumsi. Seorang ulama bermazhab Maliki bernama Ibnu Abdil Bar menyebutkan:


ŁˆŁŽŲµŁŽŁŠŁ’ŲÆŁ Ų§Ł„ŲØŁŽŲ­Ł’Ų±Ł ŁƒŁŁ„Ł‘ŁŁ‡Ł Ų­ŁŽŁ„ŁŽŲ§Ł„ŁŒ Ų„ŁŁ„Ł‘ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ł…ŁŽŲ§Ł„ŁŁƒŲ§Ł‹ ŁŠŁŽŁƒŁ’Ų±ŁŽŁ‡Ł Ų®ŁŁ†Ł’Ų²ŁŁŠŁ’Ų±ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ§Ų”Ł لِاسْمِهِ ŁˆŁŽŁƒŁŽŲ°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ ŁƒŁŽŁ„Ł’ŲØŁ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ§Ų”Ł Ų¹ŁŁ†Ł’ŲÆŁŽŁ‡Ł ŁˆŁŽŁ„ŁŽŲ§ ŲØŁŽŲ£Ł’Ų³ŁŽ ŲØŁŲ£ŁŽŁƒŁ’Ł„Ł Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŲ±ŁŽŲ·ŁŽŲ§Ł†Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ų³Ł‘ŁŁ„ŁŽŲ­Ł’ŁŁŽŲ§Ų©Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ų¶Ł‘ŁŁŁ’ŲÆŁŽŲ¹ŁĀ 


Artinya: Dan binatang buruan laut semuanya halal, hanya saja imam Malik memakruhkan babi laut karena namanya, begitu pula anjing laut, menurutnya. Dan tidak haram memakan kepiting, penyu, dan katak (Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi, juz 1, halaman 187).Ā 


Senada dengan ulama mazhab Maliki, para ulama mazhab Hanbali juga menghalalkan kepiting. Ibnu Muflih menuturkan:


ŁˆŁŽŲ¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡Ł – Ų£ŁŽŁŠŁ’ Ų¹ŁŽŁ†Ł’ Ų£ŁŽŲ­Ł’Ł…ŁŽŲÆŁŽ - فِي Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŲ±ŁŽŲ·ŁŽŲ§Ł†Ł ŁˆŁŽŲ³ŁŽŲ§Ų¦ŁŲ±Ł Ų§Ł„Ł’ŲØŁŽŲ­Ł’Ų±ŁŁŠŁ’ : Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽŁ‡Ł ŁŠŁŽŲ­ŁŁ„Ł‘Ł ŲØŁŁ„ŁŽŲ§ Ų°ŁŽŁƒŁŽŲ§Ų©ŁŲ› Ł„ŁŲ£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŲ±ŁŽŲ·ŁŽŲ§Ł†ŁŽ Ł„ŁŽŲ§ ŲÆŁŽŁ…ŁŽ ŁŁŁŠŁ’Ł‡ŁĀ 


Artinya: Dan dari imam Ahmad tentang hukum kepiting dan berbagai binatang laut: Ia halal sekalipun tidak disembelih, sebab kepiting tidak memiliki darah (mengalir) (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, juz 9, halaman 214).Ā 


Sedangkan dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan:


ŁƒŁŁ„Ł‘Ł Ł…ŁŽŲ§ ŁŠŁŽŲ¹ŁŁŠŁ’Ų“Ł فِي Ų§Ł„Ł’ŲØŁŽŲ±Ł‘Ł مِنْ ŲÆŁŽŁˆŁŽŲ§ŲØŁ‘Ł Ų§Ł„Ł’ŲØŁŽŲ­Ł’Ų±Ł Ł„ŁŽŲ§ ŁŠŁŽŲ­ŁŁ„Ł‘Ł ŲØŁŲŗŁŽŁŠŁ’Ų±Ł Ų°ŁŽŁƒŁŽŲ§Ų©Ł ŁƒŁŽŲ·ŁŽŁŠŁ’Ų±Ł Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ§Ų”Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ų³Ł‘ŁŁ„ŁŽŲ­Ł’ŁŁŽŲ§Ų©Ł ŁˆŁŽŁƒŁŽŁ„Ł’ŲØŁ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ§Ų”Ł Ų„ŁŁ„Ł‘ŁŽŲ§ Ł…ŁŽŲ§ Ł„ŁŽŲ§ ŲÆŁŽŁ…ŁŽ ŁŁŁŠŁ’Ł‡Ł ŁƒŁŽŲ§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŲ±ŁŽŲ·ŁŽŲ§Ł†Ł ŁŁŽŲ„ŁŁ†Ł‘ŁŽŁ‡Ł ŁŠŁŲØŁŽŲ§Ų­Ł ŲØŁŲŗŁŽŁŠŁ’Ų±Ł Ų°ŁŽŁƒŁŽŲ§Ų©ŁĀ 


Artinya: Setiap apa yang (dapat) hidup di daratan berupa binatang melata laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9, halaman 337).


Pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hukum kepiting. Dalam fatwa tersebut diputuskan kepiting halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.Ā 


Fatwa ini didasarkan pada hasil temuan mereka yang menyebutkan bahwa kepiting merupakan binatang air, baik di air laut maupun di air awar, dan bukan binatang yang hidup di dua alam; di laut dan di darat. Ā 


Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi kepiting. Ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i mengharamkannya, sementara ulama mazhab Maliki dan Hanbali menghalalkannya. Adapun Majelis Ulama Indonesia juga menghalalkan kepiting. Ā 


Maka dari itu, untuk mengonsumsi kepiting, kita bisa memilih dari beberapa pendapat di atas, jika berhati-hati dalam agama, maka bisa memilih yang haram. Jika memang menyukai kepiting, juga dengan kandungan gizinya maka bisa memilih yang halal. Ijtihad ulama fiqih, jika pendapatnya benar maka mendapat pahala dua, dan jika ijtihadnya salah maka mendapat pahala satu.
Ā