Bolehkah Sabun Mengganti Debu dalam Mensucikan Najis Mughalladhah?
Ahad, 8 Desember 2024 | 09:30 WIB
Yudi Prayoga
Penulis
Dalam ilmu fiqih najis dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni najis mukhaffafah, najis mutawassithah, dan najis mughalladhah. Sebagaimana ditulis oleh para fuqaha dalam kitab-kitabnya, salah satunya oleh Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitab Safiinatun Najaa:
فصل النجاسات ثلاث: مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين والمتوسطة سائر النجاسات
Artinya: Fashal, najis ada tiga macam: mughalladhah, mukhaffafah, dan mutawassithah. Najis mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.
Dari kategori di atas, setiap najis memiliki caranya masing-masing dalam membersihkannya. Untuk najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu.
Di zaman sekarang, ada produk modern yang sering digunakan manusia untuk membersihkan badan dan kotoran lainnya, yakni sabun. Lalu, apakah bisa sabun menggantikan debu untuk mensucikan najis mughalladhah?
Dilansir dari NU Online, bahwa berbagai literatur klasik menyebutkan ada perbedaan apakah sabun atau sejenisnya bisa menggantikan debu ataukah tidak.
Setidaknya hal ini dibahas oleh Syekh Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab al-Mahalli, Syekh Ahmad al-Hijâzi di dalam kitab Tuhfatul Habib, Syekh Taqiyuddin Abu Bakar dalam Kifayatul Akhyar, Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thâlibîn, Syekh Abdul Karim bin Muhammad ar-Râfi’I dalam kitab Fathul Aziz. Apa penjelasan mereka soal bisa tidaknya sabun menggantikan fungsi debu dalam hadits di atas?
Pertama, ada ulama yang menyatakan tidak bisa menggantikan. Artinya, salah satu dari air yang dibuat mencuci harus memakai campuran debu. Sebab, alat yang bisa digunakan untuk bersuci hanya terdiri dari dua unsur, yakni air dan debu. Orang wudhu untuk menghilangkan hadats harus menggunakan air. Jika tidak ditemukan air, maka debu sebagai gantinya. Debu di sini tidak bisa digantikan dengan pasir atau tepung. Pendapat demikian merupakan pendapat al-adh-har.
Kedua, ada ulama yang menyamakan penggunaan debu bisa diganti dengan sabun dengan alasan sebagaimana orang yang menyamak kulit. Kulit bangkai hewan seperti macan, jerapah dan lain sebagainya bisa menjadi suci dengan cara disamak. Setelah suci dapat digunakan untuk baju, shalat dan sebagainya.
Menyamak bisa dilakukan dengan cara membersikan kulit dari sisa daging, kotoran dan lain sebagainya lalu dicuci menggunakan air, dikasih tawas atau daun yang biasa untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran, daging dan sejenisnya. Pada kasus menyamak ini, ulama memperbolehkan bahan penghilang kotoran tidak harus dengan tawas, namun bisa dengan sabun.
Jika pada masalah menyamak ini sabun bisa menduduki pengganti bahan baku yang telah disebut syara’, maka pada bab pencucian najis mughalladhah mestinya sabun bisa menduduki posisi yang sama dengan debu.
Begitu pula saat orang istinja’. Dalam hadits yang disebutkan media yang bisa dibuat untuk istinja’ ada dua, yakni air dan batu. Namun para ulama sangat banyak yang memperbolehkan istinja’ menggunakan tisu atau apa pun bentuknya yang penting kasar, kesat, sebagai pengganti batu. Pendapat kedua dengan analogi seperti ini, oleh para ulama dikategorikan pendapat adh-har.
Ketiga, sabun tidak bisa mengganti debu kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, ada orang Muslim tinggal di Hongkong, tempat domisilinya di apartemen lantai 35. Di sana adanya sabun, tidak ada debu. Andaipun ia turun ke lantai bawah, adanya hanya keramik atau bebatuan. Pada kondisi tersebut, orang baru boleh memakai sabun sebagai pengganti debu.
هل يقوم الصابون والاشنان مقام التراب فيه ثلاثة أقوال أظهرها لا: لظاهر الخبر ولانها طهارة متعلقة فلا يقوم غيره مقامه كالتيمم والثاني نعم كالدباغ يقوم فيه غير الشب والقرظ مقامهما وكالاستنجاء يقوم فيه غير الحجارة مقامها. الثالث أن وجد التراب لم يعدل إلى غيره وان لم يجده جاز اقامة غيره مقامه للضرورة ومنهم من قال يجوز اقامة غير التراب مقامه فيما يفسد باستعمال التراب فيه كالثياب ولا يجوز فيما لا يفسد كالاواني
Artinya: Apakah sabun dan kayu penghilang kotoran itu bisa menduduki posisi debu? Di sini ada tiga pendapat. Pendapat al-adh-har adalah tidak bisa sebagaimana bunyi tekstual hadits dan karena ini berkaitan dengan aturan mencuci, maka sabun tidak bisa menggantikan debu sebagaimana tayammum. Kedua, iya, bisa. Hal ini sebagaimana menyamak. Selain tawas dan daun penghilang kotoran bisa digantikan yang lain. Pada saat istinja’, batu bisa digantikan dengan yang lain. Pendapat ketiga, selama masih ada debu tidak bisa digantikan apa pun. Namun apabila tidak ada debu, boleh. Karena darurat. Ada pula pendapat yang menyatakan, selain debu boleh digunakan asalkan seumpama memakai debu bisa merusak objek seperti pakaian. Kalau dengan debu tersebut tidak sampai bisa merusak objek, seperti pada wadah, maka debu tidak bisa digantikan sama sekali. (Abdul Karim bin Muhammad ar-Râfi’I, Fathul Azîz syarah al-Wajîz, [Dârul Fikr], juz 1, halaman 264).
Bagaimana menggunakan pendapat yang kedua, yaitu memperbolehkan sabun sebagai ganti debu?
Jika kita menggali lebih dalam pemakaian istilah al-adh-har pada pendapat yang pertama, maka pendapat dhahir maupun al-adh-har masing-masing merupakan pendapat mazhab Syafi’i, namun karena ada perbedaan pandangan yang tajam, maka yang kuat diistilahkan dengan al-adh-har, sedangkan lawan katanya adalah dhahir.
Selama kita mampu, mari kita gunakan pendapat al-adh-har, namun jika mengalami kesusahan, kita bisa memilih pendapat dhahir. Menurut para ulama, menggunakan pendapat dhahir masih pada batas toleransi diperbolehkan.
Dengan demikian, bersuci menggunakan sabun sebagai pengganti dari debu diperbolehkan, asalkan benar-benar dlarurat (sulit sekali untuk didapatkan atau dijangkau), jika di sekeliling kita masih kita temukan debu, maka lebih baik untuk digunakan.
Terpopuler
1
Fatayat Miliki Peran Strategis Tingkatkan Kualitas Perempuan Muda NU
2
Pecahkan Rekor MURI, Pemprov Lampung Gelar Upacara Peringatan HUT ke-80 RI di Atas Laut
3
Minat Ikut Seleksi Pimpinan dan Anggota Baznas? Ini Syarat dan Ketentuannya
4
Kang Jalal dan LPBHNU Pringsewu Dampingi CV Pandu Rezeki Raih Sertifikat Halal
5
Songsong HUT Ke-80 RI, PCNU Pringsewu Bagikan Bendera Merah Putih ke Masyarakat
6
Peningkatan Tata Kelola Organisasi, Berikut Susunan Kepengurusan NU Care-LAZISNU Pesawaran 2025-2027
Terkini
Lihat Semua