Yudi Prayoga
Penulis
Hari raya Idul Adha merupakan hari raya kurban yang jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Hari raya tersebut merupakan hari raya umat Islam di seluruh dunia, yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban. Peristiwa tersebut berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim yang mengurbankan putranya, Nabi Ismail, sebagai wujud kepatuhannya kepada Allah swt.
Akan tetapi sebelum Nabi Ibrahim mengurbankan putranya, Allah swt mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba. Untuk mengenang peristiwa penting tersebut, kaum muslim dianjurkan setiap tahunnya untuk beribadah kurban atau menyembelih hewan kurban.
Menyembelih hewan kurban hukumnya sunnah begitu juga membagikan dan mengkonsumsikannya. Akan tetapi di masyarakat ada beberapa warga yang menjual daging kurbannya, baik dari yang berkurban, maupun dari panitia yang mengurus hewan kurbannya. Lalu bagaimana hukum menjual daging kurban tersebut?
Dilansir dari NU Online, pada dasarnya ibadah kurban dianjurkan kepada orang yang mampu melaksanakannya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan yakni fakir dan orang-orang yang sengsara. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 28:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Artinya: Maka makanlah sebagaian darinya (hewan kurban) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan oleh orang-orang yang sengsara dan fakir (QS Al-Hajj: 28).
Dari ayat ini kemudian para ulama terutama madzhab Syafi’iyah membuat rambu-rambu bahwa seorang yang berkurban (selain kurban nadzar) dianjurkan untuk memakan sebagian daging kurban yang telah disembelih sekadarnya saja, dan yang lain dibagikan kepada yang membutuhkan.
Di samping itu orang yang berkurban tidak diperkenankan untuk menjual daging maupun kulit hewan yang disembelihnya meskipun untuk biaya penyembelihan (ongkos tukang jagal dan sebagainya).
Mengingat panitia kurban yang dibentuk selama ini merupakan kepanjangan tangan dari pihak yang berkurban (wakil), maka hukum yang sama juga diberlakukan kepadanya, artinya daging kurban boleh dipergunakan untuk makan siang dan panitia tidak diperbolehkan menjual daging sembelihan meskipun hanya untuk membeli bumbu.
Oleh karena itu, guna menyiasati masalah seperti ini, banyak kepanitian yang membuat kebijakan untuk menerima hewan kurban disertai biaya yang dibebankan kepada orang yang berkurban mulai dari perawatan serta biaya-biaya operasinal lainnya. Hal ini guna menghindari terjadinya penjualan daging kurban serta pembagian daging yang lebih meluas. Inisiatif seperti ini tentu dibenarkan dalam kacamata fiqih madzhab Syafi’i.
Solusi yang lain adalah di antara panitia, selain ada yang menjadi wakil, disiapkan pula panitia yang menyediakan dirinya untuk menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima) daging kurban agar ia mempunyai keleluasaan untuk memanfaatkannya. Ia boleh memasaknya dan juga boleh menjualnya.
Alternatif berikutnya adalah dengan mengikuti mazhab Hanafi yang memperbolehkan penjualan daging kurban oleh pelakunya (orang yang berkurban) sesuai dengan manfaat yang diperlukan baik dalam penyelenggaraan penyembelihan maupun pembagiannya kepada masyarakat. Hal ini merujuk dalam kitab Kifayatul Ahyar karya Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini:
وَاعْلَم أَن مَوضِع الْأُضْحِية الِانْتِفَاع فَلَا يجوز بيعهَا بل وَلَا بيع جلدهَا وَلَا يجوز جعله أُجْرَة للجزار وَإِن كَانَت تَطَوّعا ...وَعند أبي حنيفَة رَحمَه الله أَنه يجوز بَيْعه وَيتَصَدَّق بِثمنِهِ
Artinya: Dan ketahuilah bahwa fungsi hewan kurban adalah untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu tidak diperbolehkan menjualnya, tidak diperbolehkan pula menjual kulitnya dan juga tidak boleh menjadikan hasil penjualan untuk upah tukang jagal meskipun kurban sunnat (bukan kurban nadzar) dst… Menurut Abi Hanifah, menjual daging kurban dan menyedekahkan uang hasil penjualannya hukumnya boleh.
Jika mengikuti mazhab Hanafi di atas, maka menjual daging kurban jelas mubah. Akan tetapi Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dalam karyanya Busyral Karim Bisyarhi Masa’ilit Ta‘lim mengatakan:
وتردد البلقيني في الشحم، وقياس ذلك أنه لا يجزئ كما في التحفة، وللفقير التصرف فيه ببيع وغيره أي لمسلم، بخلاف الغني إذا أرسل إليه شيء أو أعطيه، فإنما يتصرف فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة، لأن غايته أنه كالمضحي
Artinya: Al-Bulqini sanksi perihal lemak hewan kurban. Berdasar pada qiyas, tidak cukup membagikan paket kurban berupa lemak seperti keterangan di kitab Tuhfah. Sementara orang dengan kategori faqir boleh mendayagunakan daging kurban seperti menjualnya atau transaksi selain jual-beli kepada orang muslim. Berbeda dengan orang kaya yang menerima daging kurban. Ia boleh mendayagunakan daging itu hanya untuk dikonsumsi, disedekahkan kembali, atau menjamu tamunya. Karena kedudukan tertinggi dari orang kaya sejajar dengan orang yang berkurban.
Kategori kaya kasarannya ialah mereka yang mempunyai kelebihan rezeki untuk menyembelih hewan kurban saat hari raya Id. Ketentuan ini merupakan anjuran bagi orang kaya untuk berkurban selagi tidak ada halangan. Sementara si fakir tidak perlu bimbang untuk menjual daging yang sudah menjadi haknya kepada orang lain bila kondisi menuntut. Dijual mentah boleh, dijual matang tidak masalah.
Seperti telah disampaikan di atas, kami menyarankan, panitia kurban menyiapkan biaya khusus yang dibebankan kepada orang yang berkurban atau keluarganya untuk biaya perawatan serta biaya-biaya operasinal lainnya. Itu pun jika diperlukan biaya, agar tidak perlu menjual daging kurban.
Terpopuler
1
Ketua PWNU Lampung: Pelantikan Pengurus NU Bukan Seremoni, Tapi Komitmen Kolektif
2
Tata Cara dan Doa Mengusap Kepala Anak Yatim
3
PWNU Lampung Bentuk Tim Persiapan Pendirian Rumah Sakit NU
4
Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah, LBMNU Paparkan Dam Jamaah Haji Boleh Dipotong di Indonesia
5
Ketua PWNU: Lampung Peringkat III Nasional dalam Pengkaderan NU
6
Festival Krakatau 2025 Resmi Ditutup, Gubernur Ajak Wujudkan Lampung Maju dan Berdaya Saing
Terkini
Lihat Semua