Syiar

Ayah Tiri Bisa Jadi Wali Nikah? Ini Penjelasannya Menurut Islam

Kamis, 5 Desember 2024 | 12:00 WIB

Ayah Tiri Bisa Jadi Wali Nikah? Ini Penjelasannya Menurut Islam

Ilustrasi pernikahan. (Foto: NU Online)

Menikah merupakan suatu ikatan atau perjanjian resmi antara dua individu untuk hidup bersama sebagai pasangan suami istri, yang biasanya dilakukan melalui upacara pernikahan yang sah menurut hukum agama dan negara. 

 

Dalam pernikahan, pasangan tersebut berkomitmen untuk saling mendukung, menjaga, dan memenuhi hak serta kewajiban masing-masing, baik dalam aspek emosional, sosial, ekonomi, maupun fisik. 

 

Pernikahan juga sering dianggap sebagai salah satu bentuk perwujudan cinta dan kesatuan dalam masyarakat. Selain itu, menikah juga dapat menjadi dasar untuk membentuk keluarga, memiliki anak, dan menjalani kehidupan bersama dalam jangka panjang.

 

Dalam Islam pernikahan merupakan ikatan suci dan sakral, sehingga memiliki aturan, tata cara yang ketat, seperti adanya wali, ada saksi, ijab kabul, dan sebagainya. Lalu bagaimana jika wali nikahnya merupakan ayah tiri, apakah tetap sah?.

 

Dilansir dari NU Online, sebuah pernikahan tidak mungkin sah dilaksanakan tanpa keberadaan wali. Syariat Islam telah menentukan siapa saja yang berhak menjadi wali berikut urutannya. Secara garis besar, wali yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah yang memiliki garis hubungan darah dengan perempuan tersebut. 

 

Urutan prioritas wali yang berhak menikahkan seorang perempuan, dijelaskan oleh Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), halaman 31, sebagai berikut:

 

وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف…الحاكم 

 

Artinya: Wali paling utama ialah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.

 

Namun demikian, dalam realitas kehidupan kerap kita temui kasus ketika seorang anak perempuan yang hidup bersama dengan ayah tirinya semisal karena ibunya telah bercerai dengan ayah kandungnya. Ayah tiri ini terkadang merasa lebih berhak menjadi wali dari anak perempuan tersebut, terkadang dengan alasan bahwa dia lah yang merawatnya selama ini sedari kecil hingga dewasa. 

 

Sebenarnya, di dalam syariat, keberadaan ayah tiri ini sama sekali tidak dipertimbangkan untuk menjadi wali nikah, karena ia tidak disebutkan dalam daftar urutan prioritas wali menurut syariat Islam. 

 

Meskipun demikian, tetap ada peluang seorang ayah tiri menjadi wali nikah, yakni dengan cara mewakilan (tawkil), artinya wali asli dari perempuan tersebut mewakilkan perwalian pernikahan kepadanya. 

 

Referensi dari hal tersebut bisa kita simak pada penjelasan Abu Hasan Ali al-Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), juz IX, halaman 113:

 

فَأَمَّا تَوْكِيلُ الْوَلِيِّ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ إِلَّا مَنْ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا فِيهِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا بالغاً حراً مسلماً رشيداً فإذا اجتمعت هَذِهِ الْأَوْصَافُ … صَحَّ تَوْكِيلُهُ 

 

Artinya: Adapun mewakilkan perwalian, hal tersebut tidak diperbolehkan kecuali seseorang yang memenuhi persyaratan yakni: lelaki, baligh, merdeka, muslim, dan pintar. Jika syarat tersebut terkumpul…maka sah mewakilannya. 

 

Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa jika ayah tiri tersebut memenuhi persyaratan, maka ia bisa menerima tawkil wali nikah. Tentunya tawkil ini harus dilakukan dengan kalimat serah terima yang sah menurut syariat. 

 

Hal demikian juga berlaku bagi selain ayah tiri, seperti misalkan ayah angkat ataupun lainnya. Namun, perlu benar-benar diingat bahwa tawkil ini dilakukan atas dasar serah terima, sehingga keberadaan pihak yang menyerahkan, dalam hal ini adalah wali asli, haruslah benar-benar ada. 

 

Sedangkan apabila tidak ditemukan wali asli, entah karena sudah meninggal atau sebab lainnya, maka yang berhak menjadi wali adalah hakim. Jika di suatu wilayah tidak ditemukan adanya hakim, maka yang menempati posisi hakim ini ialah muhakkam, yakni seseorang yang diposisikan sebagai hakim dengan persyaratan tertentu. 

 

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Zainuddin Ahmad bin Abdulaziz al-Malibari dalam Fathul Mu’in (Surabaya: Kharisma, 1998), halaman 472:

 

 ثم إن لم يوجد ولي ممن مر فيزوجها محكم عدل حر 

 

Artinya: Kemudian jika tidak ditemukan wali dari orang-orang yang telah tersebut di atas, maka yang menikahkan perempuan tersebut adalah muhakkam yang adil dan merdeka.

 

Demikian penjelasan dari orang lain yang boleh menjadi wali nikah, tidak terkecuali ayah tiri. Akan tetapi, hal tersebut harus memiliki beberapa persyaratan yang juga ketat, sebagaimana telah disebutkan di atas.