Pernik

Meneladani Keberanian Kartini: Perempuan Muslimah sebagai Agen Perubahan Sosial Berdasarkan Nilai‑Nilai Islam

Selasa, 22 April 2025 | 12:49 WIB

Meneladani Keberanian Kartini: Perempuan Muslimah sebagai Agen Perubahan Sosial Berdasarkan Nilai‑Nilai Islam

Meneladani keberanian Kartini (Ilustrasi: NU Online)

Raden Adjeng Kartini (1879–1904) menjadi simbol semangat emansipasi perempuan di Indonesia. Meski lahir di kalangan ningrat Jawa, ia menolak stagnasi tradisi yang membelenggu hak perempuan, khususnya akses pendidikan. Surat‑suratnya kepada sahabatnya di Belanda menegaskan keberanian intelektual dan keyakinannya bahwa perempuan sejatinya berhak memperoleh ilmu dan kebebasan berpikir.

 

Ketika membaca riwayat hidup Raden Adjeng Kartini, kita seolah diajak menyusuri lorong waktu di mana perempuan dipaksa tinggal dalam bilik tradisi, tak boleh bersuara, apalagi bermimpi. Di balik tirai pingitan, Kartini justru menulis—surat demi surat—kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Lewat pena, ia menumpahkan gelora keinginannya akan kebebasan berpikir, hak atas pendidikan, bahkan impiannya menyekolahkan saudara‑saudaranya. Keberanian Kartini bukan semata karena ia datang dari keluarga ningrat, melainkan lantaran ia percaya bahwa setiap perempuan berhak memetik buah ilmu.

 

Bagi perempuan Muslimah hari ini, semangat Kartini memiliki resonansi kuat dengan nilai‑nilai Islam yang selama ini menjadi pijakan dalam kehidupan pribadi dan sosial. Dalam Al‑Quran, Allah swt menegaskan bahwa hakikat manusia—laki‑laki maupun perempuan—adalah sama mulianya:

 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًاࣖ

 

Artinya: Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna (QS Al‑Isra17:70).

 

Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan panggilan agar kita menghormati dan menegakkan martabat setiap insan. Kartini, dalam suratnya, telah mempraktikkan penghormatan martabat itu dengan menuntut ilmu meski dilarang.

 

Sementara hadits Rasulullah saw, Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim,menegaskan bahwa menuntut ilmu tidak mengenal batas gender. Sebagaimana Kartini membuka sekolah perempuan pertama di Jepara. Perempuan Muslimah masa kini juga ditantang untuk merangkul ilmu lewat berbagai jalur, dari kelas daring hingga lokakarya komunitas. Dengan kemudahan akses internet, kita bisa mengadakan program literasi digital bagi anak-anak di pelosok desa, memastikan bahwa setiap gadis mendapat kesempatan yang setara untuk mengasah kemampuannya.

 

Tak hanya di ranah pendidikan, perempuan Muslimah dapat berperan aktif dalam kepemimpinan dan wirausaha. Dalam tradisi Islam, sosok Khadijah ra menjadi teladan. Ia seorang pebisnis sukses yang menopang dakwah Rasulullah saw sejak awal. Demikian pula, berbekal kreativitas dan keberanian, generasi muda seperti Dian Pelangi telah mengubah fashion hijab menjadi industri global, membuktikan bahwa iman dan inovasi dapat berjalan beriringan. Di sisi lain, sosok Habiba Engka di Sumatera membuka Rumah Baca Muslimah Gratis untuk anak-anak kurang mampu, menghidupkan kembali semangat Kartini yang dulu pernah memungut buku terbuang demi menyalakan bara pengetahuan.

 

Namun, perjalanan sebagai agen perubahan tidak selalu mulus. Di tengah dinamika sosial, resistensi terhadap peran aktif perempuan masih ada. Konflik dengan stereotip tradisional, keterbatasan modal usaha, hingga kesenjangan akses teknologi kerap menjadi batu sandungan. Di sinilah nilai keadilan (adl) dan kebaikan (ihsan) yang diajarkan Islam berperan sebagai pemandu. Menggalang dana melalui micro‑financesyariah, membangun inkubator bisnis berbasis komunitas, serta memfasilitasi pelatihan coding dan desain grafis tanpa memungut biaya—semua itu adalah wujud amar maruf nahyi munkar, mengajak kepada kebaikan sambil menolak keburukan demi kemaslahatan bersama.

 

Dalam skala yang lebih besar, keterlibatan perempuan Muslimah di lembaga legislatif dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci merumuskan kebijakan yang berpihak pada kesetaraan gender. Dr Ngafifah Rokhmania, misalnya, berhasil memasukkan perspektif perempuan dalam kebijakan pendidikan anak usia dini di tingkat nasional. Langkah‑langkah seperti ini mengukuhkan bahwa suara perempuan bukanlah harum angan-angan semata, melainkan kekuatan nyata yang mampu mengubah arus sejarah.

 

Bagi generasi muda Muslimah, kesempatan kini terbuka lebar untuk menjalin jejaring lintas daerah, bahkan negara. Media sosial dan platform digital menjadi ruang dialog interaktif, di mana kita dapat berbagi kisah inspiratif, saling memberi kritik membangun, dan merancang proyek bersama. Dengan fondasi iman yang kokoh, kolaborasi ini bukan hanya soal mengekspresikan diri, melainkan mengimplementasikan visi keadilan dan pemberdayaan yang universal.

 

Meneladani keberanian Kartini berarti menegakkan hak perempuan untuk memperoleh ilmu, berpartisipasi aktif di ranah publik, dan mengubah norma sosial yang mengekang. Bagi perempuan Muslimah, semangat ini diperkuat oleh nilai‑nilai Islam: penghormatan martabat manusia, kewajiban menuntut ilmu, semangat keadilan, serta teladan kepemimpinan dari Khadijah ra dan Aisyah ra.

 

Melalui pendidikan, kewirausahaan, advokasi, dan kolaborasi digital, perempuan Muslimah dapat menjadi agen perubahan sosial yang membawa kemaslahatan umat. Dengan demikian, peringatan Hari Kartini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk mengaktualisasikan nilai‑nilai universal emansipasi dalam bingkai keimanan Islam.

 

Memaknai Hari Kartini hari ini berarti meresapi bagaimana nilai‑nilai Islam—penghormatan martabat, kewajiban menuntut ilmu, keadilan sosial, dan keteladanan—berpadu dengan semangat intelektual Kartini. Mari jadikan momentum ini sebagai panggilan untuk bangkit: menjadi Muslimah yang tak gentar memperjuangkan hak, berkreasi demi kemaslahatan, serta menginspirasi perubahan di lingkungan sekitar. Sebab, jika Kartini pernah percaya bahwa pena dan kata-kata mampu menembus dinding tirani, maka kini giliran kita meyakini bahwa langkah kecil seorang perempuan Muslimah bisa mengguncang dunia.
 

 

Heni Verawati, M.A., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Intan Lampung)