Pernik

Kisah Ramadhan di Lampung: Dari Bedug, Meriam Bambu, hingga Bubur Samin

Ahad, 2 Maret 2025 | 11:33 WIB

Kisah Ramadhan di Lampung: Dari Bedug, Meriam Bambu, hingga Bubur Samin

Salah satu suasana Ramadhan di Lampung. (Foto: NU Online Lampung)

Ramadhan di Lampung adalah gabungan antara spiritualitas, tradisi, dan sedikit kekacauan yang selalu bisa dikenang. Bulan ini bukan sekadar soal menahan lapar dan dahaga, tapi juga soal bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan ritme hidup: dari waktu tidur yang berantakan, antrean takjil yang mirip barisan logistik perang, hingga adu kuat menahan kantuk saat tarawih.

 

Bedug: Alarm Warga Sebelum Adzan Subuh

Di masa lalu, sebelum azan subuh dikumandangkan melalui pengeras suara masjid, bedug menjadi penanda waktu sahur yang paling ampuh. Dulu, tugas membangunkan sahur tidak semata-mata dipegang oleh orang yang hobi ibadah, tapi juga oleh anak-anak muda yang memang susah tidur.

 

Di beberapa kampung di Lampung, ada tradisi membangunkan sahur dengan "musik" yang cukup nyeleneh. Tak cukup hanya dengan memukul bedug, ada yang menggunakan kaleng bekas, ember, bahkan gentong air yang dipukul sekuat tenaga. Jika itu masih kurang heboh, biasanya ada satu-dua orang yang membawa pengeras suara seadanya lalu berteriak, "Sahur, sahur, bangun, bangun! Yang belum bangun, nanti ditinggal jodoh!".

 

Tradisi ini masih bertahan di beberapa tempat, meskipun sekarang sebagian besar orang lebih memilih mengandalkan alarm ponsel yang biasanya malah dimatikan dengan sekali sentuhan dan membuat mereka kembali tidur hingga adzan subuh berkumandang.

 

Meriam Bambu dan Perang Antar Kampung

Di Lampung, tradisi yang hampir punah adalah meriam bambu, ya ini bukan sekadar permainan anak-anak, tapi juga simbol supremasi antar kampung. Setiap Ramadhan, kelompok-kelompok pemuda berlomba-lomba membuat meriam bambu terbesar dan paling menggelegar.

 

Meriam ini dibuat dari bambu besar yang diisi karbit dan air, lalu disulut api hingga menghasilkan ledakan yang menggetarkan rumah-rumah sekitar. Semakin keras suaranya, semakin bangga pembuatnya.

 

Namun, ada masanya perang meriam bambu ini berubah menjadi "perang dingin". Satu kampung menyalakan meriamnya lebih keras, lalu kampung sebelah tidak mau kalah. Kadang-kadang, anak-anak muda mulai melakukan "serangan balasan" dengan suara lebih besar, bahkan ada yang menaruh meriamnya di tempat-tempat strategis agar suaranya bisa menyaingi kampung sebelah.

 

Tentu saja, bagi orang tua dan bayi yang sedang tidur, meriam bambu ini lebih mirip alat penyiksaan daripada hiburan. Tapi bagi anak-anak muda, inilah kesempatan menunjukkan siapa yang paling hebat dalam urusan teknologi suara. Semoga Meriam Bambu terus lestari.

 

Bubur Samin dan Ketidaksabaran Saat Berbuka

Bulan Ramadhan di Lampung juga identik dengan berbagai hidangan khas, salah satunya bubur samin. Konon, bubur ini diperkenalkan oleh komunitas Banjar yang bermigrasi ke Sumatera bagian selatan, termasuk Lampung.

 

Bubur samin dibuat dari beras, santan, rempah-rempah, dan biasanya dimasak dalam jumlah besar di masjid-masjid. Harum rempahnya bisa membuat perut yang sudah menahan lapar seharian semakin berontak. Tak heran jika banyak jamaah yang datang lebih awal ke masjid bukan karena ingin mendapatkan saf depan, tapi karena takut kehabisan bubur samin.

 

Saat adzan Maghrib berkumandang, suasana seketika berubah seperti pasar saham. Semua orang berlomba-lomba mengambil takjil dan bubur, sementara panitia masjid sibuk menenangkan situasi agar tidak terjadi rebutan. Ada momen-momen kocak ketika seseorang yang sudah mengincar mangkuk bubur samin justru kecolongan oleh orang lain yang lebih gesit.

 

Namun, terlepas dari semua itu, berbuka bersama di masjid adalah salah satu tradisi paling indah. Ada kebersamaan, ada canda tawa, dan tentu saja, ada makanan gratis.

 

Tarawih dan Strategi Bertahan Hidup

Shalat Tarawih di Lampung juga memiliki dinamika tersendiri. Masjid-masjid penuh sesak pada malam-malam pertama Ramadhan, namun jumlah jamaah biasanya mengalami "seleksi alam" menjelang akhir bulan.

 

Fenomena lain yang sering terjadi adalah strategi bertahan hidup saat Tarawih. Ada yang memilih masjid dengan jumlah rakaat yang lebih sedikit agar bisa cepat pulang. Ada juga yang mencari masjid dengan imam bersuara merdu agar tetap semangat. Namun, yang paling banyak adalah mereka yang ikut Tarawih hanya sampai pertengahan, lalu perlahan-lahan "menghilang" di sela-sela jamaah.

 

Di beberapa masjid, anak-anak kecil yang ikut tarawih lebih sering bermain daripada beribadah. Mereka biasanya punya satu misi khusus: mengumpulkan sandal terbaik di depan masjid. Jika pulang tarawih mendapati sandal yang dipakai terasa lebih bagus daripada saat datang, bisa jadi itu adalah hasil "pertukaran" yang tidak disengaja.

 

Takbiran Keliling dan Lautan Manusia

Ketika malam takbiran tiba, suasana di Lampung berubah menjadi festival besar. Takbiran keliling menjadi ajang pawai yang meriah. Rombongan dari berbagai kampung membawa obor, bedug, bahkan truk-truk yang dihias dengan lampu warna-warni.

 

Di beberapa tempat, takbiran keliling ini juga menjadi ajang pamer kreativitas. Ada yang membawa replika masjid, kapal, atau bahkan naga dari karton dan lampu LED. Namun, ada juga yang ikut takbiran sekadar untuk mencari teman jalan-jalan atau kesempatan bertemu gebetan.

 

Di jalan-jalan utama, lautan manusia memenuhi trotoar. Klakson kendaraan bersahut-sahutan, bukan karena kemacetan, tetapi karena sopirnya juga ikut larut dalam euforia malam kemenangan.

 

Ramadhan di Lampung, Kombinasi Ibadah dan Hiburan

Ramadhan di Lampung selalu membawa cerita unik yang sulit ditemukan di tempat lain. Dari bedug sahur yang mirip konser dadakan, perang meriam bambu yang tak pernah usai, hingga strategi bertahan hidup saat tarawih, semuanya menjadi bagian dari pengalaman yang tak terlupakan.

 

Namun, di balik semua kehebohan ini, ada satu hal yang tetap sama: Ramadhan adalah waktu bagi masyarakat untuk mempererat tali silaturahmi, memperbanyak ibadah, dan tentu saja, menikmati hidangan berbuka dengan penuh suka cita.

 

Dan seperti biasa, saat Ramadhan berakhir, orang-orang akan merasa kehilangan, bukan hanya karena bulan penuh berkah ini berlalu, tapi juga karena mereka harus kembali ke rutinitas biasa—tanpa meriam bambu, tanpa bubur samin gratis, dan tanpa alasan untuk tidur siang lebih lama.

 

Wahyu Iryana, Penulis merupakan Sejarawan UIN Raden Intan Lampung.