Pernik

Berburu Takjil di Kota Bandar Lampung: Tradisi, Ekonomi, dan Kearifan Lokal

Sabtu, 1 Maret 2025 | 15:39 WIB

Berburu Takjil di Kota Bandar Lampung: Tradisi, Ekonomi, dan Kearifan Lokal

Berburu kuliner takjil di kota Bandar Lampung (foto: NU Online Lampung)

Ramadhan selalu membawa suasana berbeda di setiap kota, terutama ketika sore menjelang dan masyarakat mulai berburu takjil. Di Bandar Lampung, tradisi ini bukan sekadar aktivitas kuliner, tetapi juga cerminan budaya, dinamika ekonomi, dan manifestasi kearifan lokal yang terus hidup dari generasi ke generasi. Dari pasar tradisional hingga pedagang kaki lima di pinggir jalan, berburu takjil adalah ritual tahunan yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat dalam harmoni khas bulan suci.

 

Tradisi Takjil: Antara Religi dan Budaya

Takjil bukan sekadar hidangan berbuka puasa. Dalam perspektif Islam, berbuka dengan makanan ringan adalah bagian dari sunnah Nabi Muhammad saw, yang menganjurkan umatnya untuk memulai berbuka dengan kurma atau air sebelum melanjutkan dengan makanan berat. Namun, dalam praktiknya, takjil telah berkembang menjadi fenomena budaya yang berakar pada selera, tradisi, dan kearifan lokal masing-masing daerah.

 

Di Bandar Lampung, berburu takjil menjadi agenda rutin yang ditunggu-tunggu. Sejak pukul empat sore, masyarakat mulai memadati titik-titik penjualan takjil, dari kawasan Tugu Adipura hingga sepanjang Jalan Raden Intan, Jalan Pangeran Antasari, dan Pasar Bambu Kuning. Berbagai makanan khas hadir di lapak-lapak pedagang, seperti kolak pisang, es timun suri, cendol, serabi, pempek, hingga bubur kampiun yang menjadi favorit banyak orang.

 

Menariknya, takjil di Bandar Lampung tidak hanya mencerminkan cita rasa lokal, tetapi juga akulturasi budaya yang unik. Sebagai kota yang menjadi titik pertemuan berbagai etnis; Lampung, Jawa, Minang, Palembang, Tionghoa, hingga Arab, variasi takjil yang dijajakan turut mencerminkan keberagaman ini. Kita bisa menemukan kelembutan serabi khas Jawa di satu sudut, lalu bergeser sedikit dan menjumpai es kacang merah ala Tionghoa, hingga pempek Palembang yang selalu menjadi primadona.

 

Takjil dan Dinamika Ekonomi Ramadan

Berburu takjil di Bandar Lampung bukan hanya soal memuaskan selera, tetapi juga fenomena ekonomi yang menarik. Ramadan membawa berkah bagi para pedagang kecil dan menengah. Banyak warga yang memanfaatkan momentum ini untuk berjualan makanan dan minuman berbuka, baik di pasar tradisional maupun di pinggir jalan.

 

Berdasarkan pengamatan, banyak pedagang musiman yang muncul selama Ramadhan. Mereka yang sehari-hari bukan pedagang makanan tiba-tiba menjadi penjual es buah, kolak, atau gorengan. Fenomena ini menarik karena menunjukkan fleksibilitas ekonomi masyarakat. Seorang ibu rumah tangga yang biasa hanya memasak untuk keluarga, misalnya, bisa mendadak menjadi penjual bubur sumsum dan mendapat penghasilan tambahan yang cukup signifikan.

 

Tidak hanya pedagang kecil, warung makan dan restoran pun merasakan dampak ekonomi yang positif. Banyak rumah makan yang menawarkan paket takjil sebagai strategi menarik pelanggan. Hotel-hotel berbintang pun tidak ketinggalan, dengan menghadirkan paket buka puasa bersama yang menyasar segmen menengah ke atas.

 

Dari sisi makro, transaksi ekonomi selama Ramadhan cenderung meningkat di banding bulan-bulan lainnya. Masyarakat cenderung lebih konsumtif, terutama untuk membeli makanan berbuka. Ini menjadi berkah bagi sektor ekonomi informal yang menggeliat selama bulan puasa.

 

Namun, fenomena ini juga memiliki sisi lain. Kecenderungan konsumtif masyarakat sering kali berujung pada pemborosan makanan. Tidak sedikit orang yang membeli takjil dalam jumlah banyak karena tergoda oleh berbagai pilihan, tetapi akhirnya tidak menghabiskan semuanya. Ini menjadi catatan penting bahwa Ramadan sejatinya mengajarkan kesederhanaan, bukan sekadar pesta makanan saat berbuka.

 

Pasar Takjil: Ruang Sosial yang Hidup

Selain aspek budaya dan ekonomi, berburu takjil juga menciptakan ruang sosial yang dinamis. Di sepanjang jalan-jalan utama Bandar Lampung, pasar takjil menjadi ajang interaksi sosial yang cair. Orang-orang dari berbagai latar belakang berbaur, berbincang dengan pedagang, bertemu teman lama, hingga sekadar menikmati atmosfer sore yang ramai.

 

Bagi sebagian orang, aktivitas ini bukan hanya tentang membeli makanan, tetapi juga tentang merasakan kebersamaan dalam suasana Ramadan. Pasar takjil menjadi tempat bertemunya berbagai kalangan, dari pegawai kantoran, mahasiswa, ibu rumah tangga, hingga anak-anak yang antusias memilih jajanan berbuka.

 

Di sisi lain, fenomena ini juga menghadirkan tantangan, terutama dalam hal ketertiban lalu lintas. Kemacetan sering kali terjadi di sekitar pusat-pusat penjualan takjil, terutama di jalan-jalan utama yang menjadi favorit pemburu kuliner Ramadan. Tidak jarang, pengendara motor berhenti sembarangan untuk membeli makanan, tanpa memikirkan arus kendaraan yang melintas.

 

Selain itu, kebersihan juga menjadi isu yang perlu diperhatikan. Sampah plastik dan sisa makanan sering kali berserakan di sekitar lokasi penjualan takjil. Padahal, semangat Ramadan juga mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan dan lingkungan. Dalam konteks ini, inisiatif pedagang untuk menyediakan kantong ramah lingkungan atau gerakan membawa wadah sendiri bisa menjadi solusi yang baik untuk mengurangi sampah plastik.

 

Kearifan Lokal dalam Sajian Takjil

Jika ditelisik lebih jauh, takjil di Bandar Lampung juga menjadi cerminan kearifan lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Banyak kuliner berbuka yang memiliki sejarah panjang dan menjadi bagian dari identitas masyarakat setempat.

 

Kolak pisang, misalnya, merupakan hidangan khas yang hampir selalu hadir di setiap rumah selama Ramadan. Di Lampung, pisang bukan sekadar buah, tetapi juga bagian dari kehidupan masyarakat. Berbagai jenis pisang tumbuh subur di daerah ini, mulai dari pisang kepok, pisang raja, hingga pisang tanduk, yang semuanya bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan, termasuk takjil.

 

Selain itu, ada juga seruit, hidangan khas Lampung yang biasanya terdiri dari ikan bakar yang dicampur dengan sambal terasi dan tempoyak (fermentasi durian). Meskipun bukan makanan ringan, beberapa keluarga tetap menyajikan seruit dalam menu berbuka mereka sebagai bentuk pelestarian kuliner khas daerah.

 

Bubur kanji rumbi juga sering muncul di beberapa masjid dan rumah tangga sebagai hidangan berbuka. Makanan ini memiliki akar sejarah dalam budaya masyarakat pesisir yang terbiasa mengolah sagu dan bahan lokal lainnya menjadi makanan yang mengenyangkan namun tetap ringan bagi perut setelah seharian berpuasa.

 

Refleksi Ramadan: Lebih dari Sekadar Takjil

Di tengah semaraknya berburu takjil di Bandar Lampung, penting bagi kita untuk merenungkan kembali esensi Ramadhan yang sejati. Tradisi berburu takjil memang memberikan warna tersendiri dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, tetapi jangan sampai melupakan nilai utama yang diajarkan bulan suci ini: kesederhanaan, kepedulian, dan kebersamaan.

 

Berburu takjil bisa menjadi momen untuk berbagi dengan sesama. Di beberapa titik, kita bisa menemukan gerakan berbagi takjil gratis yang dilakukan oleh komunitas atau individu yang ingin berbagi keberkahan Ramadan. Gerakan ini seharusnya menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk tidak hanya fokus pada konsumsi pribadi, tetapi juga memberikan manfaat bagi orang lain.

 

Sebagai kota yang terus berkembang, Bandar Lampung memiliki potensi besar untuk menjadikan tradisi takjil sebagai bagian dari daya tarik wisata kuliner Ramadan. Dengan pengelolaan yang baik, pasar takjil bisa menjadi destinasi yang nyaman, tertib, dan ramah lingkungan.

 

Akhirnya, berburu takjil bukan sekadar soal makanan, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memaknai Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap sendok kolak yang kita nikmati, dalam setiap seruput es cendol yang menyegarkan, tersimpan cerita panjang tentang tradisi, ekonomi, dan kearifan lokal yang menjadikan Ramadan di Bandar Lampung begitu istimewa.

 

Wahyu Iryana, Penulis Merupakan Sejarawan UIN Raden Intan Lampung.