Wahyu Iryana
Penulis
Jika sejarah adalah cermin kemanusiaan, maka Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah kaca benggala tempat cermin-cermin kecil mengambil pantulan cahaya keimanan. Tidak ada satu pun tokoh dalam semesta kitab samawi yang jejaknya melampaui geografis, transenden pada zamannya, dan mengakar di hati lebih dari Nabi Ibrahim as.
Dari rahim keturunan Ibrahim, muncul Nabi-nabi besar, agama-agama besar, dan bahkan peradaban-peradaban besar. Ia disebut “Abul Anbiya” (Bapak para Nabi), karena keturunannya menjadi pembawa risalah Allah dari zaman ke zaman: Ishaq melahirkan Ya’qub, lalu Bani Israil; Ismail melahirkan bangsa Arab dan akhirnya Nabi Muhammad saw. Dialah manusia yang doanya mengguncang langit: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang berserah diri kepada-Mu.” (QS Al-Baqarah: 128).
Ibrahim: Dari Babilonia ke Peradaban Langit
Nabi Ibrahim lahir di tanah Babilonia, di tengah tirani Raja Namrud. Ia tumbuh dalam masyarakat yang menyembah berhala, bulan, matahari, bahkan penguasa. Namun dari kecil, Ibrahim memiliki perenungan kritis: “Mengapa benda-benda yang redup dan tenggelam disembah?” (lihat QS Al-An’am: 76-79)
Perjalanannya dari Babilonia ke Syam, lalu ke Mesir, Palestina, dan Mekah menandai migrasi spiritual dan geografis yang membentuk jalur suci Abrahamik. Perjalanannya menandai bahwa peradaban saleh tidak tumbuh dalam kemapanan kekuasaan, tetapi dalam keberanian menantang kemapanan sesat. Itulah sebabnya dalam QS An-Nahl: 120, Allah menegaskan: "Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat yang taat kepada Allah, hanif, dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik."
Zamzam dan Ka'bah: Mata Air dan Pusat Peradaban
Salah satu titik balik penting dalam sejarah peradaban manusia saleh adalah peristiwa ditinggalkannya Hajar dan Ismail kecil oleh Ibrahim di lembah tandus Makkah. Di sinilah mukjizat air Zamzam memancar setelah hentakan kaki Ismail atau goresan malaikat Jibril, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari. Zamzam bukan hanya air, ia adalah simbol kelestarian hidup, keberkahan, dan awal dari permukiman manusia atas dasar spiritualitas, bukan sekadar ekonomi atau politik.
Dari mata air ini, Suku Jurhum datang dan mendirikan komunitas. Kaum yang datang bukan untuk menguasai, tapi untuk berbagi air suci dan menghormati keluarga Ibrahim. Peradaban Zamzam adalah cikal-bakal masyarakat yang hidup dalam semangat tauhid, sabar, dan keterbukaan.
Kemudian, Ibrahim dan Ismail bersama-sama membangun Ka’bah. Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan fondasi-fondasi rumah (Ka’bah) bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS Al-Baqarah: 127)
Ka’bah menjadi titik orientasi umat Islam dalam shalat, haji, dan peradaban. Ia bukan hanya bangunan batu, tetapi simbol pusat spiritual dunia yang menjadi sumbu umat manusia yang hanif. Maka peradaban saleh dari keturunan Ibrahim tidak membangun menara gading duniawi, tetapi membangun rumah untuk Allah, tempat berkumpul dan kembali seluruh umat manusia dalam haji sebagai miniatur masyarakat global.
Keteladanan Multidimensi: Tauhid, Keluarga, dan Sosial
Doa Nabi Ibrahim menjadi warisan peradaban. Ia tidak hanya memohon keturunan yang saleh, tapi juga memohon terbentuknya komunitas yang saleh: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman dan berilah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman” (QS Al-Baqarah: 126).
Keluarga Ibrahim adalah prototipe rumah tangga profetik. Sarah yang bijaksana, Hajar yang setia, Ismail yang sabar, dan Ishaq yang santun semuanya menjadi mata rantai keimanan. Bahkan peristiwa pengorbanan anaknya (QS Ash-Shaffat: 102-107) menjadi simbol bahwa peradaban besar dimulai dari pengorbanan pribadi terbesar.
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu,” kata Ibrahim. “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu.” Jawaban ini bukan sekadar taat; ini adalah ketundukan yang melahirkan generasi pejuang peradaban.
Dari Ishaq dan Ya’qub ke Musa dan Isa
Keturunan Nabi Ibrahim dari jalur Ishaq dan Ya’qub melahirkan para Nabi besar Bani Israil. Musa membawa Taurat dan membebaskan umat dari perbudakan Fir’aun. Daud dan Sulaiman memimpin kerajaan dengan keadilan dan kebijakan. Isa menjadi Nabi penuh kasih yang menyerukan kembali risalah tauhid kepada kaum yang tersesat dalam dogma.
Taurat, Zabur, dan Injil semuanya kitab suci dari jalur keturunan Ibrahim. Bahkan ketika kitab-kitab tersebut diselewengkan oleh pengikutnya, jejak keagungan Ibrahim tetap tertinggal, disebut-sebut bahkan dalam Injil dan Taurat, bahwa “Abraham, the friend of God” (Yakobus 2:23).
Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh Musa, Daud, dan Isa adalah lumbung nilai spiritual dan sosial. Taurat menekankan hukum dan keadilan, Zabur menekankan zikir dan ketenangan batin, Injil menekankan cinta dan pengampunan. Seluruh nilai-nilai itu saling melengkapi sebagai mosaik kebenaran yang mengalir dari pohon besar Ibrahim.
Muhammad saw: Penutup Risalah, Penyempurna Peradaban
Nabi Muhammad saw dari jalur Ismail adalah jawaban dari doa panjang Ibrahim: “Ya Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka” (QS Al-Baqarah: 129). Maka datanglah Nabi Muhammad saw, pembawa Al-Qur’an sebagai kitab pamungkas, penyempurna kitab-kitab sebelumnya.
Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah doa dari ayahku Ibrahim, kabar gembira dari Isa, dan mimpi ibuku yang benar” (HR Ahmad dan Hakim). Dengan demikian, Muhammad saw bukan pemutus mata rantai peradaban Ibrahim, melainkan puncak dan pemurninya.
Islam sebagai peradaban tidak hanya melanjutkan risalah tauhid, tapi juga membentuk institusi, hukum, adab, dan sistem yang membumikan nilai-nilai samawi. Dari Madinah, kota peradaban saleh dibangun. Nabi membentuk konstitusi (Shahifah Madinah), sistem ekonomi, pendidikan, dan bahkan diplomasi antarbangsa. Semua itu menjiwai fondasi yang pernah diletakkan Ibrahim di lembah tandus Makkah.
Dari Ka’bah ke Yerusalem
Simbol-simbol Ibrahim tersebar dalam ruang spiritual dunia: Ka’bah yang ia bangun bersama Ismail menjadi kiblat umat Islam; Batu Suci (Rock of Foundation) di Yerusalem diyakini sebagai tempat Nabi Ibrahim diuji; dan bahkan tradisi haji adalah manasik Ibrahim.
Dalam konteks global, peradaban yang dibentuk oleh keturunan Ibrahim mewarnai hukum, seni, filsafat, hingga kebudayaan. Peradaban Islam menghasilkan ilmuwan seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali; peradaban Kristen menghasilkan Augustinus, Thomas Aquinas, dan Erasmus; peradaban Yahudi melahirkan Maimonides dan Spinoza.
Akar nilai-nilai mereka, meski berkembang dalam konteks berbeda, tetap berakar pada pesan profetik Ibrahim: tauhid, keadilan, dan tanggung jawab moral.
Keteladanan Ibrahim dalam Kitab-Kitab Ulama
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengutip keikhlasan Ibrahim sebagai kunci maqamat ruhani. Sementara Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim menegaskan bahwa doa-doa Ibrahim dalam surat Ibrahim dan surat Al-Baqarah menunjukkan visi jangka panjang: membangun peradaban dari fondasi spiritual.
Ibn Taimiyyah menyebut bahwa “agama Ibrahim adalah fondasi tauhid yang murni” dan bahwa umat Muhammad diperintahkan untuk mengikuti millah Ibrahim (QS An-Nahl: 123). Bahkan dalam konteks tasawuf, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menyebut Ibrahim sebagai sulthanul mahabbah, sultan cinta Ilahi yang berjalan di atas bumi tanpa melepaskan pandangan dari langit.
Dari Darurat Moral hingga Harapan Global
Dunia hari ini menghadapi kekosongan moral. Peradaban tumbuh secara teknologi, tetapi tercerabut dari akar spiritual. Di sinilah pelajaran dari keturunan Ibrahim menjadi penting. Bahwa peradaban besar bukan diukur dari tingginya gedung, tapi dari kokohnya akhlak.
Keteladanan Ibrahim—yang berani menolak berhala zamannya relevan di tengah berhala modern seperti kapitalisme rakus, hedonisme budaya, dan egoisme politik. Keteladanan Musa yang menentang Fir’aun relevan dalam perjuangan melawan penindasan. Keteladanan Isa yang menyembuhkan dengan kasih relevan dalam dunia yang haus empati. Dan keteladanan Muhammad yang membangun Madinah relevan sebagai model masyarakat madani.
Jika umat manusia ingin kembali pada fondasi peradaban saleh, maka kembalilah kepada keturunan Ibrahim, bukan dalam darah dan nasabnya, tetapi dalam nilai dan teladannya.
Doa Peradaban
Sebagaimana Ibrahim berdoa di lembah tandus agar keturunannya menjadi umat yang bersyukur, berilmu, dan taat, maka semestinya kita hari ini juga memanjatkan doa serupa. Bahwa dari anak-anak kita tumbuh Nabi-nabi baru dalam makna moral, ilmuwan-ilmuwan saleh, pemimpin-pemimpin adil, dan masyarakat yang menyembah Allah bukan karena ketakutan, tapi karena cinta.
Sebagaimana Allah firmankan dalam QS Al-Hajj ayat 78: “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu menjadi saksi atas segenap manusia”.
Maka marilah menjadi saksi atas kemuliaan peradaban yang diwariskan Ibrahim, bukan dengan nostalgia, tetapi dengan membangunnya kembali, mulai dari rumah kita sendiri.
H. Wahyu Iryana, Sejarawan dan Penulis Buku SPN dan Historiografi Islam
Terpopuler
1
Tata Cara dan Doa Lengkap Menyembelih Hewan Kurban
2
Lafal Takbiran Idul Adha dan Waktu Membacanya
3
Ini 6 Amalan Sunnah pada Hari Raya Idul Adha, 6 Juni 2025
4
Khutbah Jumat: Semua Manusia Sederajat di Hari Raya Kurban
5
Keutamaan Hari Tasyrik dan Amalan yang Dapat Dilakukan
6
Hukum Kurban dengan Hewan Betina
Terkini
Lihat Semua