H Puji Raharjo
Penulis
Hari Raya Idul Fitri bukan sekadar momen kegembiraan setelah sebulan menahan lapar dan dahaga. Ia adalah penanda spiritual bahwa kita telah melewati masa latihan intensif dalam menjalani rukun Islam yang ketiga, yaitu puasa. Dalam gema takbir yang berkumandang sejak malam Idul Fitri, Allah mengajarkan kita untuk tidak sekadar merayakan, tetapi juga merenungkan.
Takbir bukan hanya ucapan lisan, tetapi pengakuan tulus atas kebesaran Allah yang telah membimbing kita melewati Ramadhan dengan segala ujian dan berkahnya. Allah swt berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: …dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan (puasa), dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS Al-Baqarah: 185).
Ayat ini menyiratkan tiga hal penting dalam meresapi makna Idul Fitri, yaitu Pertama, menyempurnakan puasa berarti menyelesaikan ibadah ini dengan sungguh-sungguh, tidak sekadar menahan lapar, tapi juga menata hati dan amal.
Kedua, bertakbir adalah bentuk syukur dan pengagungan atas hidayah Allah, bahwa hanya dengan pertolongan-Nya kita mampu menunaikan ibadah Ramadhan.
Ketiga, bersyukur menjadi ujung dari perjalanan spiritual ini, bukan hanya ucapan, tapi tercermin dalam sikap dan perilaku yang lebih bertakwa. Maka, Idul Fitri adalah saat terbaik untuk mengevaluasi: apakah puasa kita benar-benar telah melahirkan pribadi yang lebih tunduk, lebih jujur, dan lebih peduli? Jika ya, maka takbir kita bukan hanya gema suara, tapi gema takwa dalam jiwa.
Takbir pada malam Idul Fitri bukan sekadar tradisi yang diulang dari tahun ke tahun. Ia adalah seruan spiritual yang membuncah dari hati yang penuh rasa syukur.
Ketika kita mengucapkan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar,” kita sejatinya sedang mengakui bahwa seluruh kemampuan kita untuk menunaikan puasa, qiyamul lail, dan memperbanyak amal selama Ramadhan bukanlah karena kekuatan kita semata.
Itu semua adalah karunia dan hidayah dari Allah. Tanpa pertolongan dan kemudahan dari-Nya, betapa beratnya menahan lapar dan dahaga, mengendalikan emosi, serta menahan diri dari keburukan.
Lebih dari itu, gema takbir menjadi pengingat bahwa hari raya bukanlah tentang selebrasi lahiriah semata. Takbir adalah penjaga hati agar tidak lalai di tengah kegembiraan duniawi.
Ketika orang berbondong-bondong mengenakan pakaian terbaik, menyantap hidangan terenak, dan berkumpul bersama keluarga, takbir hadir sebagai alarm spiritual, mengingatkan bahwa kemenangan hakiki adalah keberhasilan kita dalam memperbaiki diri.
Idul Fitri bukanlah klimaks pesta, melainkan klimaks perenungan: sudahkah kita kembali pada fitrah? Sudahkah hati kita dibersihkan dari sombong, dengki, dan lalai dari Allah?
Akhirnya, takbir pada malam Id mengajak kita untuk terus menjaga semangat Ramadhan meski bulan suci telah berlalu. Ia adalah seruan agar nilai-nilai Ramadhan tidak berhenti di hari lebaran, melainkan menjadi cahaya yang menerangi langkah-langkah kita di sebelas bulan berikutnya.
Dengan hati yang bertakbir, kita diajak menjadi pribadi yang rendah hati, bersyukur, dan siap memperkuat kembali ikatan persaudaraan. Takbir adalah gema ketundukan, gema kemenangan ruhani yang menandai awal baru dalam perjalanan kita menuju Allah dengan jiwa yang lebih bersih.
Idul Fitri bukanlah penutup, tetapi pembuka lembaran baru dalam kehidupan seorang Muslim. Ia menandai awal fase hidup yang lebih bersih, lebih suci, dan lebih dekat kepada Allah.
Gema takbir yang berkumandang bukan hanya simbol kemenangan, tetapi juga bisikan Ilahi yang mengajak kita untuk terus bersyukur dan melanjutkan amal kebaikan yang telah dirintis selama Ramadhan.
Idul Fitri seharusnya menjadi titik balik sebuah momen untuk memperkuat keimanan, menjaga integritas dalam segala hal, dan memperluas manfaat kita bagi sesama manusia.
Karena pada akhirnya, yang paling berharga dari Ramadhan bukanlah semata kenangan akan ritual-ritual ibadahnya, tetapi nilai-nilai takwa yang mampu terus hidup dan membimbing kita dalam keseharian.
Inilah makna sejati dari kemenangan, bukan hanya mampu berpuasa selama sebulan, tapi mampu menjaga semangat Ramadhan sepanjang tahun. Taqabbalallahu minna wa minkum. Taqabbal yaa Kariim. Minal ‘aidin wal faizin.
H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Bulan Syawal, saatnya Mengenang Sejarah Perjuangan Umat Islam
2
Mulai 1 Mei 2025, Pemprov Lampung Lakukan Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor
3
Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam
4
Talkshow Indonesia Gelap, Fatikhatul Khoiriyah: Ruang Berekspresi Mahasiswa, Indikator Utama Sehatnya Demokrasi
5
Optimalisasi Zakat Digital, LAZISNU PWNU Lampung Gelar Bimtek Pengelolaan ZIS Berbasis Web
6
PMII Lampung Timur Gelar PKL Perdana, Siapkan Kader Pelopor Perubahan Sosial
Terkini
Lihat Semua