• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Pentingnya Memutus Mata Rantai Bullying di Sekolah

Pentingnya Memutus Mata Rantai Bullying di Sekolah
Mari Kita Putus Mata Rantai Bullying di Sekolah. Sumber foto: NU Online
Mari Kita Putus Mata Rantai Bullying di Sekolah. Sumber foto: NU Online

Perundungan atau biasa disebut dengan bullying adalah aktivitas atau tindakan negatif yang bisa menyasar siapa saja. Jika dilihat dari segi etimologi, bullying memiliki arti penggertak, atau jiwa seseorang yang suka mengganggu yang lemah. 

 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) mendefinisikan bahwa tindakan bullying merupakan suatu tindakan penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat kepada yang lebih lemah baik itu personal atau kelompok. 

 

Sedang menurut United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF), bahwa bullying terbagi kedalam 3 karakter diantaranya terjadi berulang-ulang, mendapatkan kekuasaan dan disengaja. Dan hari ini, tindakan bullying yang terjadi di lembaga pendidikan sangat merajalela. 

 

Penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) mengungkapkan bahwa negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan persentase kasus perundungan terbanyak kelima di dunia. Bahkan kasus bullying atau perundungan terjadi di kalangan siswa yang rata-rata berusia 15 tahun mencapai hingga 41% dalam kurun 1 bulan.

 

Federasi Serikat Guru Indonesai (FSGI) turut melansir bahwa dalam kurun waktu Januari hingga Juli tahun 2023 mencatat sebanyak 16 kasus perundungan di sekolah. FSGI menyebutkan bahwa kasus tersebut terjadi di SD (25%), SMP (25%), SMA (18,75%), SMK (18,75%), MTs (6,25%) dan Pondok Pesantren (6,25%). Melihat data tersebut tingkat perundungan di lembaga pendidikan yang ada di indonesia masuk dalam kategori menghawatirkan.

 

Perilaku bullying adalah bentuk perilaku yang diwariskan, maka jangan heran terkadang pelaku bullying ternyata orang yang pernah menjadi korban sebelumnya, berangkat dari rasa dendam dan ketidakmampuanya dalam menahan emosi.

 

Tindakan bullying juga bisa disebabkan karna adanya komunitas atau kelompok dari teman sebaya yang sering dilihat melakukan tindakan bullying. Ada sebuah kondisi yang disebut dengan Peer pressure atau sebuah kondisi di mana siswa akan merasa tertekan jika berbeda dengan komunitasnya. Disini letaknya, terkadang mereka akan dibully atau dicemooh ketika siswa itu memilih alur yang berbeda dengan komunitasnya. 

 

Ketika mata rantai dari kelompok yang sering melakukan bullying tidak diberhentikan, maka tindakan negatif seperti itu akan terus diwariskan turun temurun hingga generasi selanjutnya. 

 

Ada setidaknya tiga mata rantai bullying di lembaga pedidikan yang harus kita antisipasi, yakni pelaku, korban dan saksi. 

 

Pertama adalah pelaku,  baik secara individu atau kelompok, yang jelas mereka adalah siswa dengan tingkat agresif tinggi, toleran terhadap kekerasan dan memiliki empati rendah.

 

Kedua, korban, juga hampir sama dengan pelaku, dia bisa saja individu atau kelompok, dia merupakan siswa yang lemah, tidak memiliki kepercayaan diri dan tidak berani untuk melawan.

 

Ketiga adalah saksi, dimana mereka bisa saja kawan korban, atau kawan pelaku, atau juga di luar keduanya yang melihat kejadian namun tidak berani menghentikan dengan alasan tidak mau berurusan sebab empati yang rendah atau mereka takut akan menjadi korban berikutnya jika ikut campur dalam tindakan tersebut. 

 

Untuk menghentikan mata rantai tindakan bullying di sekolah, nampaknya membutuhkan kerja ekstra dari sekolah yang harus melibatkan seluruh stakeholder guna mengatasinya. Hal ini mungkin sedikit sulit dilakukan sebab ada beberapa Logical fallacy yang berlaku di kalangan lembaga itu sendiri, seperti kalimat "namanya anak-anak ya wajar nakal" atau " itu bukan kenakalan, hanya saja dia sedang mencari jati diri".

 

Pola pikir seperti  itu kadang muncul dari orang tua pelaku  atau justru dari guru itu sendiri yang seharusnya dia menjadi benteng pertama pengobatan, atau didapati  kurang tegasnya lingkungan yang ada dalam menangani kasus tersebut. Tindakan tegas harus diambil oleh sekolah guna memutuskan mata rantai bullying di sekolah. 

 

Selain itu ada juga faktor lain yang bisa dilakukan guna pencegahan tindakan bullying. Menurut Amir dalam bukunya "Membaca sebagai suatu ketrampilan" mengatakan bahwa sekolah dengan budaya literasi tinggi akan berdampak pada rendahnya kasus bullying di sekolah, sebab literasi akan mampu meningkatkan potensi pribadi untuk mengelola emosi, juga akan membuat energi teralihkan kepada pikiran atau tindakan positif yang mampu meningkatkan empati pribadi siswa.

 

Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) menyebutkan bahwa skor literasi di negara indonesia tahun 2022 adalah 64,48 dari sekala 1-100. Hal ini masih belum cukup menggembirakan karena hal ini juga masih menjadi permasalahan di tingkat nasional.

 

Masalah ini bisa diselesaikan jika seluruh elemen yang ada di indonesia terutama dunia pendidikan yang mencakup tenaga pendidik dan kependidikan, orang tua serta lingkungan turut hadir dan peka untuk sama-sama peduli dan meningkatkan budaya literasi di indonesia. Maka dari itu, kita semua harus "stop bullying" dan mulailah gembirakan pelajar.

 

Ustadz Mahfudz Nasir, M Pd, Pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Bandar Lampung
 


Opini Terbaru