Hukum Mengadopsi Anak dalam Islam, Bolehkah Mengubah Nasab?
Sabtu, 23 November 2024 | 14:21 WIB
Mengadopsi anak dalam Islam adalah tindakan yang mulia selama dilakukan sesuai dengan syariat. Mengadopsi lebih dari sekadar memberikan rumah, tetapi juga memastikan hak-haknya sebagai seorang Muslim tetap dihormati. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara kasih sayang dan penegakan syariat dalam setiap aspek kehidupan.
Islam sangat menganjurkan membantu anak yatim atau anak-anak yang membutuhkan perlindungan, tetapi ada aturan tertentu yang harus diikuti agar sesuai dengan hukum Islam, salah satunya anak angkat tidak boleh diubah nasabnya. Artinya, anak tetap harus dikenal dengan nama ayah kandungnya.
Dilansir dari NU Online, praktik mengadopsi anak merupakan salah satu praktik sosial yang berlaku pada bangsa Arab. Budaya pada masyarakat Arab kala itu orang yang mengangkat seseorang sebagai anaknya akan memperlakukan anak tersebut sebagaimana ia memperlakukan anak kandung sendiri. Bahkan mereka menasabkan anak angkat tersebut kepada orang tua angkatnya.
Hal itu pula yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap Zaid bin Haritsah, seorang budak yang dihadiahkan oleh istri pertama beliau, Khadijah, yang kemudian oleh Rasulullah Zaid dimerdekakan dan diangkat sebagai anak. Rasulullah menasabkan Zaid kepada dirinya sehingga orang-orang pada saat itu tidak memanggilnya sebagai Zaid bin Haritsah tapi Zaid bin Muhammad.
Bahkan Rasulullah sempat mewartakan hal itu kepada masyarakat dengan mengatakan, “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa sesungguhnya Zaid adalah anakku. Ia mewarisiku dan aku pun mewarisinya.” Keterangan ini bisa ditemukan dalam kitab karya Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Marâh Labîd (Beirut: Darul Fikr, 2007, II:196).
Dengan demikian maka pada masa-masa awal Islam menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya adalah sesuatu yang diperbolehkan. Akan tetapi di kemudian hari kebolehan ini dihapus dan menjadi terlarang dengan turunnya surat Al-Ahzab ayat 4-5:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anakmu. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan menasabkan kepada bapak-napak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah. Maka apabila kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudaramu dalam agama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa atas kalian di dalam apa yang tak kalian sengaja, akan tetapi berdosa apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ahzab: 4-5).
Para ulama ahli tafsir menuturkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat Rasulullah saw sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan ayat ini Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab para anak angkat kepada bapak mereka yang sesungguhnya. Adalah sebuah dosa bila dengan sengaja menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya.
Namun demikian menurut Imam Ibnu Kasir dalam Tafsîrul Qur’ânil ‘Adhîm (Semarang: Toha Putra, tt., III: 466) bahwa memanggil orang lain dengan sebutan “anakku” tidak menjadi masalah bila itu dilakukan dalam rangka memuliakan dan menunjukkan rasa cinta. Ibnu Kasir menyandarkan pendapatnya ini pada hadits salah satunya riwayat Imam Muslim yang meriwayatkan bahwa sahabat Anas bin Malik berkata, Rasulullah pernah berkata kepadanya dengan memanggil “wahai anakku”.
Dengan demikian, bahwa sesungguhnya mengadopsi anak, atau mengangkat anak dalam Islam itu diperbolehkan, karena termasuk perbuaan yang mulia. Akan tetapi jika sampai menyandarkan nasab anak (bin) kepada pengadopsinya maka hukumnya haram, apalagi sampai mendapatkan waris dan menjadi wali nikah.