Syiar

Hukum Menshalatkan Jenazah Pelaku Bunuh Diri

Selasa, 12 November 2024 | 10:52 WIB

Hukum Menshalatkan Jenazah Pelaku Bunuh Diri

Menshalati jenazah Muslim (Foto: NU Online)

Akhir-akhir ini, media massa kerap memberitakan tentang orang-orang yang melakukan bunuh diri karena berbagai persoalan hidup. Tindakan bunuh diri dalam agama Islam adalah perbuatan dosa besar, karena nyawa manusia adalah milik Allah.

 

Bunuh diri juga tidak menyelesaikan masalah, bahkan bisa menimbulkan masalah baru bagi yang masih hidup. Pelaku bunuh diri juga akan mendapat balasan setimpal di akhirat, yaitu akan masuk dalam neraka.

 

Lantas bagaimana kita umat Islam memperlakukan jasad orang yang bunuh diri, mengingat kewajiban orang yang masih hidup terhadap orang mati adalah memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Apakah kita perlu menshalatkan jenazah pelaku bunuh diri?

 

Dalam kasus orang yang mati karena bunuh diri ternyata para ulama berbeda pendapat. Tetapi, menurut pendapat mayoritas ulama, jenazah tetap harus dishalatkan.

 

Berbeda dengan mayoritas ulama, Umar bin Abdul Aziz memandang bahwa orang yang mati karena bunuh diri tidak perlu dishalatkan, dilansir dari NU Online pandangan Umar bin Abdul Aziz ini juga diikuti oleh Al-Awzai.

 

Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, seorang imam tidak perlu menshalatkannya tetapi yang menshalatkan adalah selainnya. Pandangan Imam Ahmad bin Hanbal ini mungkin bisa dipahami bahwa tokoh masyarakat atau kiainya tidak perlu ikut menshalatkan jenazah orang yang bunuh diri, tetapi cukup jamaah atau masyarakat yang lain yang menshalatinya.

 

Salah satu argumen teologi yang bisa digunakan untuk mendukung pendapat mereka adalah riwayat Jabir bin Samurah yang menyatakan ada seorang laki-laki yang melakukan tindakan bunuh diri kemudian meninggal dan Nabi Muhammad saw tidak menshalatkannya. Menurut Ishaq bin Al-Hanzhali, sikap Nabi Muhammad saw yang tidak ikut menshalatkan jenazah itu adalah bentuk peringatan bagi yang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama.

 

Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa jenazah orang yang mati karena bunuh diri sepanjang dia adalah seorang Muslim, tetap harus dishalatkan. Sebab, dosa besar perbuatan bunuh diri tidak dengan sertamerta menyebabkan ia keluar dari Islam, sepanjang ia tidak menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah halal.

 

Adapun sikap dan pandangan Umar bin Abdul Azin dan Al-Awzai yang cenderung tidak menshalatkan orang yang mati karena bunuh diri, mesti dibaca sebagai sikap pemakruhan bagi dirinya. Inilah yang perlu kita pahami dari keterangan yang kemukakan Ibnu Bathal dalam kitab Syarhu Shahihil Bukhari-nya.

 

أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ وَأَهْلُ السُّنَّةِ أَنَّ مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنِ الْإِسْلَامِ ، وَأَنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ كَمَا قَالَ مَالِكٌ ، وَيُدْفَنُ فِى مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ ، وَلَمْ يُكْرِهِ الصَّلَاةَ عَلَيْهِ إِلَّا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، وَالْأَوْزَاعِىيُّ فِى خَاصَةِ أَنْفُسِهِمَا

 

Artinya: Para fuqaha dan ulama dari kalangan Ahlusunnah sepakat bahwa orang yang mati karena bunuh diri tidak keluar dari Islam, ia tetap dishalatkan, dan wajib menanggung dosa akibat perbuatannya sebagaimana dikemukakan Imam Malik, dimakamkan di pemakaman orang-orang Muslim. Hanya Umar bin Abdul Aziz dan Al-Awzai yang menganggap makruh penshalatan jenazah orang yang meninggal karena bunuh diri di mana keduanya memakruhkan khusus untuk dirinya sendiri (Ibnu Baththal, Syarhu Shahihil Bukhari, Riyadl, Maktab Ar-Rusyd, cet ke-2, 1423 H/2003 M, juz III, halaman 349).

 

Demikian penjelasan tentang perlu atau tidaknya seorang pelaku bunuh diri dishalatkan dalam agama Islam. Semoga dapat menambah wawasan keislaman kita.