Syiar

Hukum Jual Beli Kucing Peliharaan

Kamis, 17 Oktober 2024 | 08:50 WIB

Hukum Jual Beli Kucing Peliharaan

Ilustrasi kucing (Foto: NU Online)

Kucing adalah hewan mamalia karnivora yang sering dipelihara sebagai hewan peliharaan. Mereka dikenal karena sifatnya yang mandiri, lincah, dan penuh rasa ingin tahu. Kucing memiliki tubuh yang fleksibel, gigi dan cakar tajam untuk berburu, serta indera penciuman dan pendengaran yang tajam. 


Di dunia ini, ada banyak jenis ras kucing, dari yang berbulu panjang seperti Persia, hingga berbulu pendek seperti Siam. Selain itu, kucing juga sering berkomunikasi melalui suara seperti mengeong, mendengkur, dan gerakan tubuh. 


Kucing juga merupakan hewan peliharaan yang paling populer di dunia. Mereka dikenal karena sifatnya yang mandiri, penuh kasih sayang, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan manusia. 


Di kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan jual beli hewan peliharaan, terutama kucing-kucing impor dari luar negeri. Lalu bagaimana sebenarnya hukum jual beli kucing tersebut.


Dilansir dari NU Online, pada dasarnya jual-beli sepanjang tidak mengandung riba, dlarar (bahaya), dan gharar (ketidakpastian) maka hukumnya adalah sah. Ketiga prinsip dasar ini harus terpenuhi dalam akad jual-beli.   


Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual-beli kucing. Dan ulama yang tidak memperbolehkan jual-beli kucing secara mutlak mendasarkan kepada hadits berikut ini:


عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ، فَقَالَ: زَجَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ --رواه مسلم


Artinya: Dari Abi az-Zubair ra ia berkata, saya bertanya kepada Jabir ra tentang hasil penjualan anjing dan kucing. Lantas Zabir ra pun menjawab, bahwa Rasulullah melarang hal tersebut (HR Muslim).


Namun, hadits tersebut dipersoalkan oleh para ulama yang memperbolehkan jual-beli kucing. Dalam sebuah keterangan yang terdapat dalam kitab Asna al-Mathalib dikatakan bahwa yang dimaksud larangan (mengambil) hasil penjualan kucing sebagai terdapat dalam hadits tersebut adalah larangan terhadap kucing liar. 


Sebab, kucing liar itu tidak memilik kemanfaatan untuk menghibur dan selainnya. Atau bisa juga dikatakan bahwa larangan tersebut masuk kategori sebagai makruh tanzih, bukan makruh tahrim.


وَيَجُوزُ بَيْعُ الْهِرَّةِ الْأَهْلِيَّةِ وَالنَّهْيُ عن ثَمَنِ الْهِرَّةِ كَمَا في مُسْلِمٍ مُتَأَوَّلٌ أَيْ مَحْمُولٌ على الْوَحْشِيَّةِ إذْ لَيْسَ فِيهَا مَنْفَعَةُ اسْتِئْنَاسِ وَلَا غَيْرُهُ أو الْكَرَاهَةُ فيه


Artinya: Dan boleh jual-beli kucing. Sedang larangan dari (mengambil) hasil penjualan kucing sebagaimana hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim itu ditakwil artinya ditafsirkan bahwa yang dimaksud kucing tersebut adalah kucing liar. Karena tidak ada manfaat penghibur dan selainnya. Atau yang yang dimaksud larangan itu adalah makruh tahzih (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 2, h. 31).


Dengan mengacu kepada keterangan di atas, maka yang tidak diperbolehkan adalah jual-beli kucing liar, sedang kucing rumahan atau kucing yang dijadikan sebagai hewan hias seperti kucing anggora adalah boleh. 


Dari sini juga dapat dipahami bawa secara umum menjual hewan hias atau peliharaan adalah boleh sepanjang mengandung kemanfaatan, tidak najis, tidak membahayakan dan tidak ditemukan dalil yang melarangnya.