Opini

Tanah Suci dan Panduan Sederhana: Catatan Perjalanan Haji 2023

Sabtu, 15 Maret 2025 | 13:33 WIB

Tanah Suci dan Panduan Sederhana: Catatan Perjalanan Haji 2023

Haji merupakan perjalanan spiritual yang membutuhkan persiapan fisik dan mental (foto: NU Online)

Alhamdulillah penulis pernah ke tanah suci pada tahun 2023 dalam ritual ibadah Haji. Ada hal-hal yang ingin penulis bagikan, minimal untuk sekedar penunjuk peta jalan bagi yang belum pernah berhaji atau berkeinginan untuk umroh karena di bulan Ramadhan kunjungan ke tanah suci ramainya seperti musim Haji. Penulis menyadari benar bahwa Haji bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin yang membawa manusia ke titik nol spiritual. Sejak ribuan tahun lalu, jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia menapaki jejak Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw di Tanah Suci. Makkah menjadi tujuan utama, kota yang disebut dalam Al-Qur'an sebagai "Ummul Qura" (ibu dari segala kota).

 

Di Indonesia, haji bukan hanya ibadah, tetapi juga tradisi sosial. Gelar "Haji" di depan nama seseorang sering kali menandakan status tertentu dalam masyarakat. Sejak abad ke-16, ulama-ulama Nusantara telah berangkat ke Makkah, menuntut ilmu di sana, lalu kembali untuk menyebarkan Islam. Nama-nama besar seperti Syekh Yusuf Al-Makassari, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari adalah contoh ulama yang pernah menimba ilmu di Tanah Suci.

 

Makkah: Kota yang Tak Pernah Tidur

Saat pertama kali tiba di Makkah, udara gurun yang panas menyambut dengan caranya sendiri. Namun, semua itu terlupakan saat Ka’bah berdiri megah di hadapan. Ribuan orang mengelilinginya dalam tawaf tanpa henti, seperti aliran waktu yang terus bergerak.

 

Makkah memang tidak pernah tidur. Masjidilharam selalu penuh, baik siang maupun malam. Suara azan menggema, mengundang manusia dari berbagai ras, budaya, dan bahasa untuk bersujud di tempat yang sama. Tidak ada perbedaan kasta, tidak ada strata sosial. Semua melebur dalam pakaian ihram putih, mengingatkan bahwa di hadapan Tuhan, manusia hanyalah hamba.

 

Sejarah mencatat, Masjidilharam telah mengalami banyak perubahan sejak zaman Nabi Ibrahim. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, area sekitar Ka’bah diperluas. Lalu, pada era Kekhalifahan Abbasiyah, Masjidil Haram mulai mendapatkan sentuhan arsitektur yang lebih kokoh. Kini, dengan proyek perluasan besar-besaran oleh Kerajaan Arab Saudi, Masjidil Haram bisa menampung lebih dari dua juta jemaah.

 

Namun, di balik kemegahan itu, ada ujian kesabaran yang harus dihadapi. Antrean panjang, panas ekstrem, dan kerumunan besar menjadi bagian dari pengalaman Haji. Saya menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang diuji kesabarannya hanya karena hal-hal sepele—tersenggol saat tawaf, kehilangan sandal, atau tidak mendapat tempat di dekat Ka’bah.

 

Madinah: Kota yang Menyejukkan

Berbeda dengan Makkah yang penuh dinamika, Madinah terasa lebih damai. Masjid Nabawi berdiri megah dengan kubah hijau yang menjadi ikon kota ini. Di dalamnya, terdapat makam Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab—tiga tokoh besar yang mengubah jalannya sejarah Islam.

 

Raudhah, area kecil di dalam Masjid Nabawi yang disebut sebagai "taman surga," selalu penuh dengan jemaah yang ingin berdoa. Di sinilah saya melihat banyak orang menangis, merasa dekat dengan Rasulullah.

 

Madinah juga menyimpan sejarah panjang sebagai ibu kota pertama Islam. Pada tahun 622 M, ketika Rasulullah hijrah dari Makkah, kota ini menjadi pusat pemerintahan Islam pertama. Dari Madinah, Islam berkembang pesat hingga ke jazirah Arab dan sekitarnya.

 

Namun, tantangan tetap ada. Suhu bisa sangat panas di siang hari, sementara di malam hari terasa sejuk. Jemaah harus pintar menjaga kesehatan, terutama karena padatnya jadwal ibadah dan perjalanan.

 

Arafah, Mina, dan Ujian Fisik yang Sesungguhnya

Jika Makkah adalah tempat mengagungkan Tuhan dan Madinah adalah tempat mengenang Rasulullah, maka Arafah adalah tempat untuk mengenali diri sendiri.

 

Wukuf di Arafah, yang merupakan puncak ibadah Haji, selalu menghadirkan suasana haru. Jutaan manusia berkumpul di padang luas yang panas, berdoa, menangis, dan memohon ampunan. Inilah momen di mana manusia benar-benar merasa kecil di hadapan kebesaran-Nya.

 

Sejarah mencatat, di tempat inilah Nabi Muhammad menyampaikan khutbah Wada’, pidato terakhir sebelum wafat. Dalam khutbah itu, beliau menegaskan tentang kesetaraan manusia, hak-hak perempuan, dan pentingnya persaudaraan.

 

Setelah Arafah, perjalanan dilanjutkan ke Mina untuk melontar jamrah. Inilah bagian yang paling melelahkan. Ribuan orang bergerak dalam satu arus, melempar batu ke tiga pilar yang melambangkan setan. Lemparan itu bukan sekadar simbolik, tetapi juga representasi dari perjuangan melawan hawa nafsu.

 

Banyak jemaah yang kelelahan di sini. Tidak sedikit yang mengalami dehidrasi, bahkan pingsan karena kelelahan. Maka dari itu, menjaga kesehatan adalah kunci. Banyak orang datang dengan niat ingin melakukan semua ritual dengan sempurna, tetapi lupa bahwa tubuh juga punya batas.

 

Panduan Sederhana di Tanah Suci

Bagi yang baru pertama kali berhaji atau umroh, ada beberapa hal sederhana yang bisa membantu perjalanan. Persiapkan fisik sejak jauh hari. Haji adalah ibadah yang menguras tenaga. Latihan jalan kaki sebelum keberangkatan sangat dianjurkan. Jangan membawa terlalu banyak barang. Cukup bawa perlengkapan esensial seperti pakaian ihram, obat-obatan, dan sandal yang nyaman.

 

Siapkan mental untuk menghadapi keramaian, karena Haji adalah momen bertemu jutaan orang dari berbagai negara. Tidak semua orang memahami budaya yang sama. Panas di Makkah dan Madinah bisa mencapai 45°C, sehingga harus minum air zamzam yang cukup dan gunakan pelembap untuk mencegah kulit kering. Di saja juga kita harus fokus pada ibadah, bukan selfie, karena di era digital, banyak jemaah lebih sibuk dengan ponsel ketimbang beribadah. 

 

Haji dan Makna Pulang

Setelah semua ritual selesai, perjalanan kembali ke tanah air menjadi momen refleksi. Apakah Haji ini akan mengubah saya? Apakah setelah ini saya akan menjadi pribadi yang lebih baik?

 

Banyak yang mengatakan, haji sejati dimulai bukan saat berangkat ke Makkah, tetapi saat kembali ke rumah. Sebab, ujian sejati bukan hanya di Mina atau Arafah, melainkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Semoga kita semua ditakdirkan bisa mengunjungi kota suci baik umroh maupun Haji. Labaik allahuma labbaik, labaik ala syarikalaka labbaik. Innal hamda wanikmata laka wal mulk. La syarikalak.

 

Berikut Syair tentang Kota Suci

 

Ka’bah berdiri dalam mataku,
hitam, sunyi, dan abadi,
dalam lingkar tawaf yang tak henti,
di mana rindu dan air mata menyatu.

 

Angin Arafah membisikkan rahasia,
tentang doa-doa yang melayang,
tentang seorang hamba yang rapuh,
dan Tuhan yang selalu dekat.

 

Madinah menyimpan ketenangan,
di lorong-lorong Masjid Nabawi,
cahaya lampu menari pelan,
seperti zikir yang tak putus.

 

Sebuah batu dilempar di Mina,
bukan sekadar batu,
melainkan ego yang harus luruh,
kesombongan yang harus patah.

 

Zamzam mengalir dalam tubuh,
bukan hanya air,
tapi berkah yang menyusup,
ke relung-relung doa yang diam.

 

Wahyu Iryana, Ketua Kloter 24 Kertajati 2023
Â