• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 4 Mei 2024

Keislaman

Bahaya Takfiri bagi Kesatuan Umat Islam

Bahaya Takfiri bagi Kesatuan Umat Islam
Takfiri adalah sikap yang menolak untuk berbeda pendapat (Ilustrasi: freepik).
Takfiri adalah sikap yang menolak untuk berbeda pendapat (Ilustrasi: freepik).

Takfiri merupakan kelompok yang dengan mudah melontarkan kata kafir kepada saudara sesama Muslim karena memiliki keyakinan dan manhaj (metodologi pemikiran) yang berbeda. Sering juga melontarkan kata yang sepadan yakni ahli bid'ah, sesat dan musyrik.  

 
Hal ini menjadi musibah besar bagi umat Islam di dunia, karena dengan lontaran dan cemoohan tersebut menjadikan umat Islam tidak bisa bersatu, padahal perbedaan merupakan fitrah dan keniscayaan sejak di zaman Rasul, para sahabat dan tabiin. Seperti perbedaan antara perkataan Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra, perbedaan kebijakan sahabat Abu Bakar ra dan sahabat Umar bin Khattab ra. 

 

Rasulullah saw juga pernah berbeda menghukumi suatu perkara yang sebelumnya dilarang kemudian diperbolehkan yakni tentang ziarah kubur. Hal ini terekam dalam sabdanya :

إني كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها تذكر الآخرة

I

Inni kuntu nahaitukum 'an ziyaaratil quburi fazuuruuhaa tudzakkiril aakhirati.

 

Artinya: Aku pernah melarang kalian ziarah kubur. Sekarang berziarahlah untuk mengingat akhirat kalian. 

 

Dari dalil hadits di atas sangat jelas, meski Rasul masih hidup suatu hukum bisa berubah karena konteks, bisa karena sosio kultur, bisa karena antropologi dan sebagainya. Atau sering disebut dalam ulumul hadits dengan nasakh wa mansukh.

 

Imam Syafi'i semasa hidupnya pernah memiliki dua keputusan hukum yang terkenal dengan qaul qadim dan qaul Jadid, yang keduanya memiliki perbedaan. Qaul qadim merupakan ijtihad Imam Syafi'i terkait hukum Islam ketika berada di Baghdad sedangkan qaul jadid merupakan ijtihadnya ketika berada di Mesir. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat, karena melihat sosio kultur dan antropologi yang berbeda antara penduduk Baghdad dan Irak. 

 

Dari keterangan contoh di atas sudah sangat jelas, sesuatu hukum bisa berubah kapanpun dengan melihat konteks sesuai zaman. Maka ketika kita melihat kelompok takfiri menghukumi saudara sesama Muslim dengan sesuatu yang buruk itu hanyalah perkataan yang tidak mempertimbangkan dengan kepala dingin. 

 

Mereka (kelompok takfiri) sangat menolak perubahan suatu hukum karena faktor perubahan zaman dengan dalil tidak ada atau tidak ditemukan sesuatu tersebut di zaman Rasulullah saw. Sahabat Umar bin Khattab ra pernah membuat syariat bernama shalat Tarawih 20 rakaat yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Rasul dan sahabat Abu Bakar. Juga pernah menambahkan hukuman cambuk bagi peminum-minuman keras dengan 40 kali cambukan, sehingga menjadi 80 kali. Padahal di zaman Rasul hanya ditetapkan 40 kali cambukan saja. 

 

Kelompok Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) yang sering mereka kafirkan selalu memiliki pandangan yang maju dalam beristinbath (mengambil hukum), yakni dengan mengedepankan metode wahyu dan akal. Karena keduanya merupakan padanan yang tidak bisa dipisahkan. 

 

Paling teratas sumber hukum yang digunakan yakni Al-Qur'an beserta tafsir dan asbabun nuzulnya. Jika tidak ditemukan dalam Al-Qur'an maka akan mengambil hukum lewat hadits Nabi beserta asbabul wurudnya. Ketika tidak menemukan suatu permasalahan di dalam hadits maka diambillah metode ijma, suatu keputusan hasil kesepakatan para ulama dan sahabat dengan cara musyawarah yang menetapkan suatu hukum secara berjamaah.  

 

Para ulama juga memutuskan hukum tetap sesuai dengan pedoman pada Al-Qur'an dan hadits Nabi. Ketika ketiganya juga tidak ditemukan maka umat Islam akan mengqiyashkan suatu hukum, yakni disamakan illlatnya dengan suatu hukum yang ada di dalam Al-Qur'an maupun hadits. 

 

Jadi sangat jelas bagaimana kelompok Aswaja mengambil suatu hukum dalam Islam,  karena dengan metode yang begitu komplek, maka kelompok Aswaja sulit untuk mengucapkan kafir kepada saudara sesama Muslim. Ini yang dinamakan cerdas secara manhaj dan mazhab, sehingga tidak kekanak-kanakan dalam mengambil keputusan, apalagi sampai menyalahkan metode umat Islam yang lainnya. 

 

Kelompok takfiri sangat jelas bahayanya, karena menutup rasionalitas dan menekan wahyu agar tidak bisa diimplementasikan di setiap perubahan zaman. Lebih bahayanya lagi ketika mereka sampai menghalalkan darah saudara sesama Muslim untuk dibunuh karena berada pendapat dalam hukum. Karena sebagian mereka ada yang berpedoman bahwa seseorang yang mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah maka sesat, dan boleh dibunuh karena ahli neraka. Nauzubillah min dzalik.

 

Rasulullah saw pernah bersabda bahwa mengatakan kafir kepada saudara sesama Muslim maka ucapan tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri

إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما

 

Idzaa qaala ar-rajulu liakhiihi yaa kaafiru faqad baa a bihaa achaduhumaa.

 

Artinya: Ketika seseorang berkata kepada saudaranya"wahai kafir", maka ucapan (kafir) tersebut kembali pada salah satu di antara keduanya (HR Imam Bukhari dari Abu Hurairah). 

 

Maka dari itu, takfiri memiliki bahaya yang sangat bagi kerukunan dan kemaslahatan umat beragama. Sering juga mereka membantai orang yang berbeda agama  dengan mereka, padahal Rasulullah saw selalu mengedepankan kasih sayang dan mengajarkan toleransi dan harmonisasi antar umat beragama.

 

Untuk mengantisipasi dari sikap takfiri, maka kita harus hati-hati ketika menyekolahkan anak. Kemudian selalu sosialisasikan ajaran Ahlussunah wal Jamaah dimanapun dan dengan cara apapun, agar Islam yang penuh kasih sayang itu lebih dominan tersebar dan dipraktikkan di muka bumi. 

(Yudi Prayoga)


Keislaman Terbaru