• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Bahtsul Masail

Tambah Nama Suami di Belakang Nama Istri, Apa Hukumnya?

Tambah Nama Suami di Belakang Nama Istri, Apa Hukumnya?
BENARKAH penambahan nama suami di belakang nama istri itu tidak diperbolehkan? Tetapi mengapa masih banyak saudara muslim yang melakukannya. Misalnya, Yuli yang kemudian menambah namanya suaminya, menjadi Yuli Rahman. Adakah hadist, atau dalil yang melarangnya ? Bagaimanakah sebenarnya hukum penambahan nama suami di belakang nama istri? Mengutip nahdlatul-ulama.org, tidak ada larangan menambahkan nama suami di belakang nama istri.  Semua perbuatan pada asalnya mubah hingga ada benturan dengan ketentuan larangan syariat. Yang tidak boleh adalah menisbatkan / menasabkan (diri sendiri atau diri orang lain) pada selain ayah, sedang penambahan nama suami di belakang nama istri bukan yang dimaksud dalam pelarangan ini. Nasab dalam doktrinal dan hukum Islam merupakan sesuatu yang sangat urgent, nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam Surat Al-Furqon ayat 54 yang berbunyi : “Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu yang Maha Kuasa.” Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan suatu nikmat yang berasal dari Allah. Hal ini dipahami dari lafaz “fa ja‘alahu nasabaa”. Dan perlu diketahui bahwasanya nasab juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah. Nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat (zina). Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu. Dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Seperti hukum waris, pernikahan, perwalian dan lain sebagainya. Seseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut ;  Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil perbuatannya dengan suaminya.  Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada umumnya. Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya. Salah satu bukti bahwa nasab adalah hal yang sangat penting bisa dilihat dalam sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah sebelum kenabian. Kemudian anak tersebut oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi Muhammad saw, sehingga mereka mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 4 -5 yang berbunyi : مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا “Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia t[i]idak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari lafaz “wa maja‘ala ad‘iya-akum abna-akum”. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir Quran Al-Adzim, di sana dijelaskan bahwasanya yang dimaksud dalam kalimat “Wa ma Ja’ala Ad’iyaakum Abnaukum” adalah bahwasanya anak angkat tidak bisa dinasabkan kepada ayah (orang yang mengangkatnya). Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz “ud‘uhum li abaihim.“ Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ “Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga” Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz “fal jannatu, alaihi haramum”. Orang yang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya surga. Islam tidak pernah mengakui status anak angkat yang berubah menjadi anak kandung secara hukum. Tabanni atau mengangkat anak memang tidak pernah dibenarkan dalam Islam. Dahulu Rasulullah SAW pernah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat dengan segala konsekuensinya, termasuk menerima warisan. Namun Allah menegur dan menetapkan bahwa status anak angkat tidak ada dalam Islam. Dan untuk lebih menegaskan hukumnya, Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menikahi janda atau mantan istri Zaid yang bernama Zainab binti Jahsy. فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi ?(QS. Al-Ahzab :37) Dengan menikahi Zainab yang notabene mantan istri anak angkatnya sendiri, ada ketegasan bahwa anak angkat tidak ada kaitannya apa-apa dengan hubungan nasab dan konsekuensi syariah. Anak angkat itu tidak akan mewarisi harta seseorang, juga tidak membuat hubungan anak dan ayah angkat itu menjadi mahram. Dan ayah angkat sama sekali tidak bisa menjadi wali nikah bagi anak wanita yang diangkat. Dan juga tidak boleh bernasab dan menisbahkan nama seseorang kepada ayah angkat. Islam telah mengharamkan untuk menyebut nama ayah angkat di belakang nama seseorang. Allah SWT telah menegaskan di dalam Alquran keharaman hal ini : ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا “Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab :5). (Sumber : Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah-KTB)  


Editor:

Bahtsul Masail Terbaru