Syiar

Hukum Permainan Catur dalam Islam

Jumat, 19 Juli 2024 | 14:05 WIB

Hukum Permainan Catur dalam Islam

Ilustrasi permainan catur (Foto: NU Online)

Setiap tanggal 20 Juli diperingati Hari Catur Sedunia yang ditetapkan oleh PBB atas inisiatif Federasi Catur Internasional (FIDE). Tujuan peringatan ini untuk mengakui peran penting FIDE dalam mendukung kerja sama internasional khususnya dalam kegiatan catur.


Catur sendiri merupakan permainan adu strategi antara dua orang yang dimainkan pada sebuah papan yang tersusun dari 64 kotak hitam putih berselang seling dalam petak 8 kali 8 yang terbagi sama rata. Sedangkan pemainnya perlu menyusun strategi terlebih dahulu dengan cara memilih bidak catur yang dijalankan.


Untuk sekarang, permainan catur sudah menjadi permainan yang kerap kita jumpai, baik di rumah, sekolah, tongkrongan, komunitas dan sebagainya.  Lalu bagaimana sebenarnya hukum bermain catur dalam pandangan Islam. Mengingat catur merupakan permainan yang sebelumnya bukan berasal dari tanah Arab.


Dilansir dari NU Online, perlu diketahui bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang secara jelas dan tegas menerangkan hukum bermain catur. Namun, ada beberapa hadits yang dapat dipahami sebagai dalil pengharaman catur. Hanya saja, menurut ulama yang kredibel, seperti Ibnu Katsir, hadits-hadits tersebut tidak sah untuk dijadikan sebagai dalil. 


Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa permainan catur muncul pertama kali pada zaman sahabat, bukan pada zaman Nabi Muhammad saw. Maka sangat aneh kalau ada hadits tentang catur (Muhammad bin Ali Assyaukani, Nailul Awthar, juz 8, h. 107).   


Karenanya, terkait hukum bermain catur, para ulama bersepakat pada satu hal, dan berbeda dalam hal lain. Para ulama sepakat akan keharaman permainan catur yang mengandung unsur judi, atau dapat membawa kepada hal yang diharamkan, seperti meninggalkan shalat atau melakukan kebohongan.   


Akan tetapi, mereka berbeda pendapat jika permainan catur dimaksud tidak membawa kepada hal-hal yang diharamkan. 


Pertama, sebagian ulama mazhab Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i, menyatakan bermain catur hukumnya boleh. Pendapat ini juga merupakan pendapat sebagian besar sahabat dan tabi’in, seperti Abu Hurairah, Said Ibnu Musayyib, Said Ibnu Jubair, Sya’bi, dan Hasan Bashri.   


Imam Ghazali menyebutkan dalam kitab Ihya Ulumiddin juz 2 halaman 121:


فَإِنَّهُ نَصٌّ عَلَى إِبَاحَةِ لَعْبِ الشِّطْرَنْجِ   


Artinya: Bahwa hal itu merupakan nash (dalil) atas kebolehan bermain catur.


Sedangkan Syekh Abdullah bin Ahmad An-Nasyafi juga menyebutkan dalam kitab Al-Bahrur Raiq juz 7 halaman 154:


إِنَّ اللَّعْبَ بِالنَّرْدِ مُبْطِلٌ لِلْعَدَالَةِ بِخِلَافِ الشِّطْرَنْجِ، لِأَنَّ لِلْاِجْتِهَادِ فِيْهِ مُسَاغًا لِقَوْلِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِي بِإِبَاحَتِهِ، وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ أَبِي يُوْسُفَ   


Artinya: Sesungguhnya bermain dadu membatalkan (menghilangkan) sifat adil, berbeda dengan bermain catur. Sebab, hukum bermain catur merupakan lahan ijtihad, di mana Imam Malik dan Imam Syafi’i menyatakan kebolehannya. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Yusuf.


Tidak jauh berbeda dengan An-Nasyafi, Syekh Ibnu Qudamah juga menuturkan dalam kitab Al-Mughni juz 23 halaman 178: 


وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إلَى إبَاحَتِهِ وَحَكَى ذَلِكَ أَصْحَابُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ   


Artinya: Imam Syafi’i memilih kebolehan bermain catur. Dan para sahabat Syafi’i menceritakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat Abu Hurairah, Said Ibni Musayyib, dan Said Ibni Jubair.


Kedua, menurut sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i yang lain, bermain catur hukumnya makruh. Imam Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz 10 halaman 494 menuliskan: 


وَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ: يُكْرَهُ الشِّطْرَنْجُ وَالنَّرْدُ  


Artinya: Imam Abu Hanifah berkata: Dimakruhkan bermain catur dan dadu. 


Sedangkan, Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin juz 8 halaman 203 menuturkan:


اَللَّعْبُ بِالشِّطْرَنْجِ مَكْرُوْهٌ، وَقِيْلَ: مُبَاحٌ لَا كَرَاهَةَ فِيْهِ   


Artinya: Bermain catur hukumnya makruh. Dan dikatakan: Hukumnya mubah, tidak makruh.


Ketiga, ulama mazhab Maliki dan ulama mazhab Hanbali menegaskan bahwa bermain catur hukumnya haram. Ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Salim dan Urwah. Sebagaimana yang ditulis oleh Imam Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz 10 halaman 493:


سُئِلَ – يَعْنِي مَالِكٌ – عَنِ اللَّعْبِ بِالشِّطْرَنْجِ، فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيْهِ، وَهُوَ مِنَ الْبَاطِلِ   


Artinya: Imam Malik ditanya tentang hukum bermain catur, beliau menjawab: Tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk hal sia-sia.


Seirama dengan Al-Qurthubi, Imam Ibnu Rusyd juga menulis dalam kitab Al-Bayan Wat Tahsil juz 18 halaman 436:


سُئِلَ – يَعْنِي مَالِكٌ – عَنِ اللَّعْبِ بِالشِّطْرَنْجِ، فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيْهِ، وَهُوَ مِنَ الْبَاطِلِ   


Artinya: Imam Malik ditanya tentang hukum bermain catur, beliau menjawab: Tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk hal batil.


Sedangkan, Imam Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali menuturkan dalam kitab Al-Mughni juz 23 halaman 178:


فَأَمَّا الشِّطْرَنْجُ فَهُوَ كَالنَّرْدِ فِي التَّحْرِيمِ، إلَّا أَنَّ النَّرْدَ آكَدُ مِنْهُ فِي التَّحْرِيمِ. وَذَكَرَ الْقَاضِي أَبُو الْحُسَيْنِ: مِمَّنْ ذَهَبَ إلَى تَحْرِيمِهِ؛ عَلَيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَابْنَ عُمَرَ، وَابْنَ عَبَّاسٍ، وَسَالِمًا، وَعُرْوَةَ   


Artinya: Adapun bermain catur maka hukumnya seperti bermain dadu dalam keharamannya. Hanya saja, bermain dadu lebih diharamkan dibanding bermain catur. Qadhi Abul Husein menyebutkan: Di antara orang yang berpendapat akan keharamannya adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Salim, dan Urwah. 


Senada dengan Ibnu Qudamah, Syekh Al-Mardawi menerangkan:


اللَّعِبُ بِالشِّطْرَنْجِ حَرَامٌ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ   


Artinya: Bermain catur hukumnya haram, menurut pendapat yang shahih dari mazhab Hanbali (Ali bin Sulaiman Al-Mardawi, Al-Inshaf Fi Ma’rifati Al-Rajihi Minal Khilaf, juz 17, h. 333).   


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum permainan catur yang tidak mengandung unsur haram, dan tidak membawa kepada sesuatu yang haram.


Menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, dan beberapa Sahabat serta Tabi’in, hukumnya boleh. Menurut sebagian ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i yang lain, hukumnya makruh. Sedangkan menurut ulama mazhab Maliki dan Hanbali, hukumnya haram.   


Dengan pemahaman yang beragam ini, semoga kita menjadi hamba yang toleran dan terbukan terhadap hukum. Jika ada yang memilih pendapat haram silakan, asal jangan menyalahkan dan menganggap sesat pendapat yang memperbolehkan. 


Juga sebaliknya, jika ada yang memilih pendapat mubah atau makruh, maka jangan mencaci yang mengambil pendapat haram. Islam itu mudah, dan Islam memiliki berbagai alternatif hukum sesuai dengan konteks sosio kultur masyarakatnya.