Menanam Moderasi, Merawat Indonesia: Penguatan Peran Lembaga Keagamaan
Jumat, 20 Juni 2025 | 17:26 WIB
Di tengah gelombang perubahan global yang kian tak menentu dari radikalisme digital hingga populisme politik identitas Indonesia berada di persimpangan sejarah. Bukan hanya soal ekonomi dan politik, yang kini teruji adalah daya tahan sosial kita sebagai bangsa majemuk. Kita sedang bertaruh pada nalar publik, kesadaran sejarah, dan kemampuan menjaga harmoni dalam keberagaman. Di sinilah, lembaga keagamaan harus tampil bukan sebagai komentator, tetapi sebagai aktor utama.
Lembaga keagamaan, sejak republik ini belum merdeka, telah menjadi penjaga nalar, benteng moral, dan ladang penanaman nilai. Kini, saat wajah keberagamaan kian tercabik oleh narasi biner dan ekstremisme sibernetik, lembaga keagamaan harus kembali ke khitahnya: menjadi pemelihara peradaban dan pelita kewarasan sosial.
Moderasi: tradisi lama, tantangan baru
Moderasi beragama sejatinya bukan gagasan baru di Indonesia. Ia adalah bagian dari watak dasar bangsa yang secara historis tumbuh dalam keberagaman dan kerukunan. Keseimbangan antara nilai iman dan realitas sosial, antara syariat dan budaya lokal, telah membentuk wajah keagamaan Nusantara yang damai dan membumi.
Namun, dalam satu dekade terakhir, wajah itu mulai mengalami erosi. Arus deras digitalisasi, politisasi agama, dan disrupsi algoritma telah melahirkan fragmentasi sosial dan kebingungan ideologis. Lembaga keagamaan kini berada di persimpangan tajam: akankah mereka memilih menjadi benteng terakhir akal sehat umat, atau hanya menara gading yang memandangi umat dari kejauhan?
Statistik bukan angka mati
Sebuah temuan penting dari Puslitbang Bimas Agama Kementerian Agama tahun 2023 mengungkap bahwa 18 persen masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan intoleransi aktif. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah sinyal darurat atas retaknya fondasi kebangsaan.
Narasi eksklusif yang mengklaim satu-satunya kebenaran agama sembari menafikan yang lain, menyelinap dalam ruang-ruang pengajian dan konten digital. Di sinilah pentingnya peran lembaga keagamaan untuk menyuarakan kembali keesaan dalam kemanusiaan, bukan keseragaman dalam penyeragaman.
Otoritas moral, bukan kekuasaan formal
Lembaga keagamaan memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki institusi negara: kepercayaan. Mereka tidak berbicara dengan otot hukum, tetapi dengan daya ruhani. Ketika seorang kiai, pendeta, biksu, atau pastor menyampaikan pentingnya toleransi dan kasih sayang, suara itu menggema di hati, bukan hanya di telinga.
Baca Juga
Inilah Empat Ciri-ciri Moderasi Beragama
Oleh karena itu, otoritas moral yang dimiliki lembaga keagamaan harus diarahkan untuk memperkuat kesadaran publik bahwa keberagaman adalah rahmat, bukan ancaman. Kesucian iman tidak pernah lahir dari kekerasan, tapi dari kejujuran dan keikhlasan mencintai sesama manusia.
Empat pilar moderasi: dari wacana ke aksi
Moderasi beragama di Indonesia dibangun di atas empat pilar utama: komitmen kebangsaan, anti-kekerasan, toleransi terhadap perbedaan, dan penerimaan terhadap budaya lokal. Keempat indikator ini bukan slogan, melainkan prinsip hidup yang harus dijadikan praktik keseharian, baik dalam khutbah, pendidikan, hingga pengelolaan lembaga.
Komitmen kebangsaan, misalnya, harus ditegaskan bahwa mencintai Indonesia adalah bagian dari iman. Anti kekerasan harus menjadi etika utama dalam menyampaikan dakwah tidak boleh ada lagi ujaran kebencian yang menyamar sebagai tafsir. Toleransi bukan berarti relativisme nilai, tetapi pengakuan atas martabat manusia yang berbeda. Dan penerimaan terhadap budaya lokal adalah warisan besar Islam Nusantara agama yang tumbuh dari tanah, bukan dibawa angin dari luar.
Radikalisme digital dan tantangan internal
Tantangan paling nyata hari ini adalah bagaimana lembaga keagamaan menghadapi radikalisme digital. Narasi-narasi ekstrem hadir dalam balutan konten pop, meme, dan ceramah viral yang sering kali lebih cepat dan menghipnotis dibandingkan khutbah resmi.
Lembaga keagamaan harus mengubah strategi. Tidak cukup hanya menyampaikan ceramah di podium masjid atau forum formal. Mereka harus hadir di TikTok, YouTube, Instagram, dan podcast dengan bahasa yang relevan, gaya yang akrab, dan isi yang substantif.
Selain itu, tantangan internal juga tak kalah berat. Infiltrasi paham transnasional, kurangnya sistem pengawasan, serta minimnya kaderisasi pemuka agama yang kritis dan moderat menjadi persoalan serius. Pesantren, seminari, dan sekolah teologi harus menjadi ruang aman untuk berpikir, bukan sekadar ruang hafalan doktrin.
Mendidik kader: dari hafalan ke peradaban
Materi pendidikan keagamaan harus berani berubah. Guru agama dan pendakwah perlu diajak melampaui literalisme. Teks-teks keagamaan harus dibaca dengan lensa maqashid syariah, sejarah, dan konteks sosial.
Dalam pelatihan trainer nasional moderasi beragama, kami menekankan bahwa agama tidak cukup hanya dibaca, tetapi harus dihidupkan dalam ruang sosial. Ayat tidak hanya ditafsirkan, tetapi harus dikontekstualisasikan agar hidup tidak terbelah antara keyakinan dan kenyataan.
Sinergi lintas iman: Indonesia milik bersama
Moderasi tidak bisa berjalan sendirian. Pemerintah harus menggandeng lembaga keagamaan sejak awal dalam merumuskan hingga mengeksekusi kebijakan. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), MUI, PGI, KWI, Parisada Hindu Dharma, Walubi, Matakin, dan ormas-ormas keagamaan lokal harus bersatu dalam suara.
Diam terhadap ujaran kebencian bukanlah bentuk netralitas—tetapi pembiaran. Indonesia membutuhkan orkestra moral yang menyuarakan kerukunan sebagai dasar peradaban. Bukan karena kita takut berbeda, tetapi karena kita dewasa dalam menyikapi perbedaan.
Agama dan politik: menjaga jarak, menjaga martabat
Lembaga keagamaan juga harus menjadi pengawal politik yang beretika. Politik identitas telah banyak melukai persaudaraan kebangsaan. Ketika agama dijadikan alat kampanye, yang lahir bukan kemenangan iman, tapi kekalahan akal sehat.
Oleh karena itu, lembaga keagamaan harus berdiri di tengah bukan sebagai kaki tangan partai, melainkan penyeimbang yang mengingatkan bahwa kekuasaan hanyalah amanah, bukan kemutlakan.
Unit moderasi: dari gerakan ke kelembagaan
Program moderasi beragama bukan sekadar proyek kementerian, tetapi semestinya menjadi gerakan nasional. Maka, sudah saatnya lembaga keagamaan membentuk unit khusus moderasi bukan hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai pusat pelatihan, pengembangan konten, riset, hingga mitigasi ideologi ekstrem.
Unit ini bisa menjadi penggerak perubahan budaya keagamaan di internal lembaga, sekaligus menjadi representasi bahwa agama tidak takut pada perubahan, melainkan menuntunnya.
Menjaga Indonesia: cinta yang tidak diam
Pada akhirnya, moderasi bukan jalan kompromi, melainkan jalan kasih. Bukan menyepelekan iman, melainkan merawatnya dalam kejujuran berpikir dan kepekaan sosial. Moderasi adalah cinta yang tidak diam: cinta pada umat, cinta pada negara, cinta pada sesama.
Lembaga keagamaan harus menjadi mercusuar, bukan pagar; jembatan, bukan tembok. Menjadi penenun nalar dan nurani di tengah ruang publik yang kian gaduh.
Kini, tugas besar ada di depan kita: menyelamatkan generasi dari jurang ekstremisme, menanamkan sikap saling menghormati, dan menjaga Indonesia sebagai rumah damai semua iman. Diperlukan keberanian, keteguhan, dan visi. Tapi lebih dari itu, diperlukan cinta yang tak mengenal lelah pada kemanusiaan dan tanah air.
Jika lembaga keagamaan mengambil peran ini dengan sungguh-sungguh, maka Indonesia bukan hanya akan tetap religius. Ia akan menjadi bangsa yang adil, damai, berperadaban, dan layak ditinggali oleh generasi masa depan dengan kepala tegak dan hati yang teduh.
H. Wahyu Iryana, Trainer Nasional Moderasi Beragama, Kementerian Agama RI