Syiar

Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam

Selasa, 15 April 2025 | 08:01 WIB

Hukum Memelihara Anjing dalam Agama Islam

hukum memelihara anjing bagi orang Islam (Foto: NU Online Lampung)

Anjing merupakan hewan yang lucu dan setia kepada tuannya, sehingga banyak manusia yang memeliharanya. Baik untuk sekedar hiburan, atau berbagai kebutuhan, seperti untuk berburu hewan, membantu polisi, menjaga rumah, dan sebagainya.

 

Lalu bagaimana jika yang memelihara adalah orang Islam, apakah tetap diperbolehkan? Karena kita juga tahu, di Indonesia, banyak umat Islam yang memelihara anjing.

 

Maka dari itu, kita harus mengetahui bagaimana sikap Rasulullah saw tentang memelihara anjing tersebut. Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang Muslim yang memelihara anjing tanpa sebab tertentu dapat dikurangi pahalanya sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim berikut ini:

 

 وفي رواية لمسلم من اقتنى كلبا ليس بكلب صيد، ولا ماشية ولا أرض، فإنه ينقص من أجره قيراطان كل يوم.

 

Artinya: Dalam riwayat Muslim Rasulullah saw bersabda, siapa saja yang memelihara anjing bukan anjing pemburu, penjaga ternak, atau penjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang sebanyak dua qirath setiap hari.

 

Dari hadits ini, ulama berbeda pendapat perihal seorang Muslim yang memelihara anjing. Ulama Mazhab Syafi’i menarik simpulan bahwa seorang Muslim haram memelihara anjing tanpa hajat tertentu. Seorang Muslim hanya boleh memelihara anjing untuk sejumlah keperluan berikut ini:

 

 وأما اقتناء الكلاب فمذهبنا أنه يحرم اقتناء الكلب بغير حاجة ويجوز اقتناؤه للصيد وللزرع وللماشية وهل يجوز لحفظ الدور والدروب ونحوها فيه وجهان أحدهما لا يجوز لظواهر الأحاديث فإنها مصرحة بالنهى الا لزرع أو صيد أو ماشية وأصحها يجوز قياسا على الثلاثة عملا بالعلة المفهومة من الاحاديث وهى الحاجة

 

Artinya: Adapun memelihara anjing tanpa hajat tertentu dalam mazhab kami adalah haram. Sedangkan memeliharanya untuk berburu, menjaga tanaman, atau menjaga ternak, boleh dilakukan. Sementara ulama kami berbeda pendapat perihal memelihara anjing untuk jaga rumah, gerbang, atau lainnya. Pendapat pertama menyatakan tidak boleh dengan pertimbangan tekstual hadits. Hadits itu menyatakan larangan itu secara lugas kecuali untuk jaga tanaman, perburuan, dan jaga ternak. Pendapat kedua–ini lebih shahih–membolehkan dengan memakai qiyas atas tiga hajat tadi berdasarkan illat yang dipahami dari hadits tersebut, yaitu hajat tertentu (Lihat Al-Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim ibnil Hajjaj, [Kairo, Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah: 1929 M/1347 H], cetakan pertama, juz X, halaman 236).

 

Sementara Imam Malik menyatakan kebolehan seorang Muslim memelihara anjing untuk berbagai keperluan sebagaimana keterangan Ibnu Abdil Barr berikut ini:

 

 وأجاز مالك اقتناء الكلاب للزرع والصيد والماشية وكان بن عمر لا يجيز اتخاذ الكلب إلا للصيد والماشية خاصة ووقف عندما سمع ولم يبلغه ما روى أبو هريرة وسفيان بن أبي زهير وبن مغفل وغيرهم في ذلك

 

Artinya: Imam Malik membolehkan pemeliharaan anjing untuk jaga tanaman, perburuan, dan jaga hewan ternak. Sahabat Ibnu Umar tidak membolehkan pemeliharaan anjing kecuali untuk berburu dan menjaga hewan ternak. Ia berhenti ketika mendengar dan hadits riwayat Abu Hurairah, Sufyan bin Abu Zuhair, Ibnu Mughaffal, dan selain mereka terkait ini tidak sampai kepadanya (Lihat Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, [Halab-Kairo Darul Wagha dan Beirut, Daru Qutaibah: 1993 M/1414 H], cetakan pertama, juz XXVII, halaman 193).

 

Ibnu Abdil Barr, ulama Mazhab Maliki, menjelaskan bahwa pemeliharaan anjing tidak diharamkan. “Larangan” Rasulullah hanya bersifat makruh. Sedangkan pengurangan pahala hanya bersifat preventif sebagai keterangan berikut ini:

 

 وفي هذا الحديث دليل على أن اتخاذ الكلاب ليس بمحرم وإن كان ذلك الاتخاذ لغير الزرع والضرع والصيد لأن قوله من اتخذ كلبا - [ أو اقتنى كلبا ] لا يغني عنه زرعا ولا ضرعا ولا اتخذه للصيد نقص من أجره كل يوم قيراط يدل على الإباحة لا على التحريم لأن المحرمات لا يقال فيها من فعل هذا نقص من عمله أو من أجره كذا بل ينهى عنه لئلا يواقع المطيع شيئا منها. وإنما يدل ذلك اللفظ على الكراهة لا على التحريم والله أعلم

 

Artinya: Pada hadits ini terdapat dalil bahwa memelihara anjing haram sekalipun bukan untuk kepentingan jaga tanaman, ternak perah, dan berburu. Maksud redaksi hadits ‘Siapa saja yang menjadikan anjing’ atau ‘memelihara anjing’ bukan untuk jaga tanaman, jaga ternak perah, atau berburu maka akan berkurang pahalanya sebanyak satu qirath, menunjukkan kebolehan bukan pengharaman. Pasalnya, pengharaman tidak bisa ditarik dari pernyataan, ‘Siapa yang melakukan ini, maka akan berkurang amalnya atau pahalanya sekian.’ Larangan itu dimaksudkan agar Muslim yang taat tidak jatuh di dalamnya. Lafal ini menunjukkan larangan makruh, bukan haram. Wallahua‘lam, (Lihat Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, [Halab-Kairo Darul Wagha dan Beirut, Daru Qutaibah: 1993 M/1414 H], cetakan pertama, juz XXVII, halaman 193-194).

 

Ibnu Abdil Barr menjelaskan bahwa pada prinsipnya kualitas pemeliharaan anjing tergantung pada bagaimana perlakuan keseharian kita terhadap hewan peliharaan tersebut. Kalau perilaku keseharian kita baik, maka Allah akan memberikan pahala. Tetapi ketika perilaku kita buruk, maka Allah akan membalas kita dengan dosa.

 

 وقد يكون في التقصير في الإحسان إلى الكلب لأنه قانع ناظر إلى يد متخذه ففي الإحسان إليه أجر كما قال صلى الله عليه وسلم في كل ذي كبد رطبة أجر وفي الإساءة إليه بتضييقة وزر

 

Artinya: Terkadang terjadi kelalaian untuk berbuat baik terhadap anjing. Hal ini cukup dilihat dari tangan orang yang memeliharanya. Berbuat baik terhadap anjing bernilai pahala sebagaimana sabda Rasulullah saw, pada setiap limpa yang basah terdapat pahala.’ Berbuat jahat dengan kezaliman tertentu terhadap anjing bernilai dosa (Lihat Ibnu Abdil Barr, Al-Istidzkar Al-Jami‘ li Madzahibi Fuqaha’il Amshar, [Halab-Kairo Darul Wagha dan Beirut, Daru Qutaibah: 1993 M/1414 H], cetakan pertama, juz XXVII, halaman 194).

 

Dari keterangan di atas yang dilansir dari NU Online maka dapat disimpulkan bahwa memelihara hewan anjing menurut mazhab Syafii hukumnya dilarang jika tanpa hajat, dan boleh ketika ada hajat. Sedangkan menurut mazhab Maliki, memelihara hewan anjing hukumnya boleh, baik ada hajat maupun tidak.