Bolehkah Wudhu, Mandi dan Istinja dengan Air Hangat yang Direbus?
Ahad, 18 Mei 2025 | 10:16 WIB
Yudi Prayoga
Penulis
Air merupakan media yang digunakan untuk bersuci dalam Islam, seperti wudhu, mandi besar dan istinja (cebok). Akan tetapi, bagi masyarakat yang tinggal di gunung dan daerah es bersuci langsung dengan air dingin sangat merepotkan, terutama bagi orang yang sedang sakit dan mandi di kala fajar.
Lalu, apakah boleh dan sah bersuci dengan air hangat yang dipanaskan dengan api atau direbus?
Pada permasalahan ini, Imam Syafi’i dalam kitab Al-Hawi yang ditulis oleh Al-Mawardi mengungkapkan, bahwa setiap air dari laut baik tawar atau asin, dari sumur atau langit (air hujan), atau air yang dingin atau salju, yang dipanaskan atau tidak adalah sama dan boleh untuk bersuci.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ : وَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ ، وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ
Artinya: Imam Syafi’i ra berkata, ‘Bahwa setiap dari laut, baik tawar atau asin, dari sumur atau langit (air hujan), atau air yang dingin atau salju, yang dipanaskan atau tidak adalah sama dan boleh untuk bersuci (Lihat Al-Mawardi, Al-Hawi fi Fiqhis Syafi’i, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, cetakan ke-1, 1414 H/1994 M, juz I, halaman 39).
Dari pemaparan redaksi di atas, maka bersuci dengan air hangat hukumnya boleh.
Setidaknya ada hal mendasar menyangkut terkait dengan air yang dipanaskan dalam pernyataan Imam Syafi’i: ‘(Air) yang dipanaskan atau tidak adalah sama dan boleh untuk bersuci’. Menurut al-Mawardi bahwa yang dimaksudkan dengan pernyataan ‘air yang dipanaskan’ dalam kontkes ini setidaknya ada dua.
Pertama, ingin menarik garis perbedaan antara air yang dipanaskan dengan api dan air yang panas karena matahari atau yang dikenal dalam literatur fikih dengan istilah al-ma`ul musyammas. Antara air yang dipanaskan dengan api dan air yang panas karena matahari memiliki status hukum yang berbeda. Pertama dihukumi tidak makruh, sedang kedua dihukumi makruh.
Kedua, memberikan sanggahan terhadap kelompok ulama seperti Mujahid yang berpandangan bahwa air yang dipanaskan dengan api makruh digunakan. Pandangan Mujahid dan ulama yang sependapat dengannya dalam kasus air yang dipanaskan dengan api dianggap tidak tepat (ghairu shahih).
Ketidaktepatan pandangan tersebut ini dikarenakan ada riwayat yang menyatakan bahwa Sayidina Umar bin Khaththab ra dulu pernah memanaskan air (dengan api) kemudian menggunakan air tersebut untuk berwudhu. Para sahabat lain pun melakukan hal yang sama dan tidak ada yang menyangkalnya.
وَأَمَّا قَوْلُهُ " مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ ، وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ " فَإِنَّمَا قَصَدَ بِالْمُسَخَّنِ أَمْرَيْنِ : أَحَدُهُمَا :الْفَرْقُ بَيْنَ الْمُسَخَّنِ بِالنَّارِ وَبَيْنَ الْحَامِي بِالشَّمْسِ فِي أَنَّ الْمُسَخَّنَ غَيْرُ مَكْرُوهٍ وَالْمُشَمَّسَ مَكْرُوهٌ . وَالثَّانِي : الرَّدُّ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ مُجَاهِدٌ ، وَزَعَمُوا أَنَّ الْمُسَخَّنَ بِالنَّارِ مَكْرُوهٌ ، وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ الْمَاءُ فَيَسْتَعْمِلُهُ في الوضوء وَالصَّحَابَةُ يَعْلَمُونَ ذَلِكَ مِنْهُ وَلَا يُنْكِرُونَهُ
Artinya: Adapun pernyataan Imam Syafi’i, ‘(air) yang dipanaskan atau tidak adalah sama dan boleh untuk bersuci’, maka yang dimaksud dengan air yang dipanaskan ada dua hal. Pertama, perbedaan antara air yang dipanaskan dengan api dan air yang panas sebab matahari terletak ialah terleka pada ketidakmakruhan air yang dipanaskan dengan api dan kemakruhan air yang panas karena matahari. Kedua, menyanggah terhadap sekelompok ulama di antara mereka adalah Mujahid, yang beranggapan bahwa air yang dipanaskan dengan api hukumnya makruh. Pandangan mereka ini adalah tidak tepat sebab adanya riwayat yang menyatakan bahwa Sayyidina Umar bin Khaththab dua pernah memanaskan air (dengan api) kemudian menggunakannya untuk berwudhu, dan para sahabat pun melakukan hal sama dan mereka tidak menyangkalnya (Al-Mawardi, Al-Hawi fi Fiqhis Syafi’i, juz I, halaman 39).
Dari sini sangat jelas, bahwa air panas yang dipanaskan dengan api (direbus), dipanaskan dengan listrik, seperti dari shower kamar mandi hotel, dan dipanaskan dengan alat apapun hukumnya boleh. Sedangkan jika air panas tersebut disebabkan panas matahari, maka air tersebut dihukumi makruh.
Konsekuensi logisnya adalah kemakruhan untuk berwudhu dengan air tersebut. Namun kemakruhan tersebut menurut Imam Syafi’i lebih pada melihat unsur medis, sehingga jika air panas karena panas matahari, secara medis tidak bermasalah maka kemakruhannya menjadi hilang.
وَلَا أَكْرَهُ الْمَاءَ الْمُشَمَّسَ إلَّا من جِهَةِ الطِّبِّ
Baca Juga
Hukum Istinja' (Cebok) Menggunakan Tisu
Artinya: Aku (Imam Syafi’i) tidak memakruhkan air yang panas karena matahari kecuali dari sisi medis (Lihat Muhammad Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Beirut, Darul Ma’rifah, 1393 H, juz III, halaman 3).
Demikianlah penjelasan tentang bersuci dengan air hangat yang dilansir dari NU Online. Kesimpulannya, semua air panas atau hangat boleh digunakan untuk bersuci. Hanya saja, ketika panasnya karena matahari maka dihukumi makruh. Sedangkan jika panasnya karena direbus dengan api dan listrik, maka hukumnya mubah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 3 Cara Meraih Pahala yang Setara dengan Haji bagi yang Tidak Mampu
2
Ikut Kang Jalal Yuk!, Pelatihan Tukang Jagal Halal LTMNU Pringsewu
3
IPNU-IPPNU MAN 1 Pringsewu Terbentuk, Persiapan Pelantikan Dikebut
4
Peluncuran CV Rich Makmur International hingga Pesantren Ramah Anak Semarakkan Harlah RMINU
5
Perkuat Peran di Bidang Kesehatan, PW Muslimat NU Jalin Kerja Sama dengan Dinas Kesehatan Lampung
6
Lindungi Keluarga, Fatayat NU Labuhan Ratu Kecam Keras Fenomena Fantasi Sedarah di Medsos
Terkini
Lihat Semua