Syiar

Air di Ember Terkena Percikan Air Musta’mal, Bolehkah untuk Bersuci?

Selasa, 27 Agustus 2024 | 11:30 WIB

Air di Ember Terkena Percikan Air Musta’mal, Bolehkah untuk Bersuci?

Ilustrasi air (Foto: NU Online)

Bersuci merupakan bagian dari ibadah dalam agama, karena bisa menjadi syarat sahnya suatu ibadah yang lain. Baik bersuci karena hadats kecil (seperti kentut, buang air besar dan kecil) maupun hadats besar (seperti setelah bersenggama). 


Bersuci menggunakan air harus memenuhi beberapa kriteria, seperti lebih dari dua kulah (± 216 liter) lebih. Ketika kurang dari dua kulah, seperti air dalam ember, maka penggunaanya harus hati-hati, bisa disiasati dengan kran air atau gayung. 


Masalah muncul ketika sedang mandi besar kemudian ada percikan air yang masuk pada ember tersebut. Pertanyaannya, apakah status air itu dapatkan digunakan untuk bersuci (melanjutkan mandinya)?   


Dilansir dari NU Online, sebelumnya, dalam kasus ini perlu diperjelas bahwa ada 2 jenis air. Pertama, air mutlak, yaitu air suci mensucikan yang berada dalam ember tersebut. Kedua, air musta’mal, yaitu percikan air mandi besar yang bersumber dari ember tersebut.


Dijelaskan dalam kitab Taqrirat as-Sadidah: 


معنى المستعمل : ما استُعمل في فرض الطهارة. شروط الماءِ المُستَعْمَلِ أربعة : ١ - أن يكون قليلاً، أي : دونَ القُلتَين . ٢ - أن يُستعمَلَ فيما لا بدَّ منه أي فرضِ الطَّهارة، رفع الحدث أو  إزالة النجس. ٣ ـ أن ينفصل عن العضو فما دام متردداً على العضو فلا يُسمى مستعمل. ٤ـ أن لا ينوي ،الاغتراف فإذا نوى الاغتراف لم يكن الماء الباقي مستعملاً .   


Artinya: Makna air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci wajib. Adapun syarat air musta’mal ada empat: (1) Airnya sedikit, yakni kurang dari dua kulah. (2) Airnya sudah digunakan untuk sesuatu yang harus. Maksudnya, bersuci wajib, menghilangkan hadats atau menghilangkan najis. (3) Airnya telah terpisah dari anggota tubuh, maka selama air masih berada dalam anggota tubuh tidak dinamakan dengan air musta’mal. (4) Tidak niat igtirof (menciduk) maka jika seorang niat menciduk, air sisanya bukanlah air musta’mal (Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, Taqrirat as-Sadidah Fi Masail al-Mufidah, [Tarim, Darul Ilmi Wadda'wah: 2003], halaman 59-60).   


Setelah jelas status percikan air bekas mandi merupakan air musta’mal, lalu bagaimana status air dalam ember yang terkena percikan air? 


Secara konsep fiqih, bila air musta’mal mencampuri air mutlak dinamakan dengan air mutaghayyir taqdiri, yaitu perubahan air karena bercampur dengan cairan yang mempunyai kesamaan sifat kemudian airnya sampai berubah. Berikut dijelaskan dalam Fathul Qarib


ومن هذا القسم الماءُ المتغير أحدُ أوصافه (بما) أي بشيء (خالطه من الطاهرات) تغيُّرًا يمنع إطلاق اسم الماء عليه؛ فإنه طاهر غير طهور، حسيا كان التغير أو تقديريا؛ كأن اختلط بالماء ما يوافقه في صفاته، كماء الورد المنقطع الرائحة والماء المستعمل؛ ad    فإن لم يمنع اطلاق اسم الماء عليه، بأن كان تغيّره بالطاهر يسيرا أو بما يوافق الماء في صفاته، وقدر مخالفا ولم يغيره فلا يسلب طهوريته؛ فهو مطهر لغيره.   


Artinya: Tergolong dari bagian ketiga yaitu air yang berubah salah satu dari beberapa sifatnya akibat suatu benda suci yang mencampurinya dengan kadar berubah yang dapat merusak kemutlakan nama air tersebut. Maka dengan demikian air yang berubah tersebut suci tapi tidak bisa mensucikan, baik berubah secara nyata (bisa dibuktikan dengan panca indra), atau perkiraan saja, contohnya air kecampuran suatu benda yang ada kesamaan sifatnya. seperti air mawar yang sudah tak berbau dan air musta’mal. Apabila tidak sampai merusak kemutlakan nama air, misalnya berubahnya air tadi disebabkan tercampur dengan benda suci dengan kadar berubah sedikit, atau bercampur dengan benda yang kebetulan mempunyai sifat yang persis dengan air, dan dikira-kira dengan perkara lain (yang memiliki sifat yang sedang) air tidak sampai berubah. Maka kalau demikian, status air tetap suci dan mensucikan pada yang lain (Muhammmad ibn Qasim ibn Muhammad al-Ghazi, Fathul Qorib al-Mujib).


Berpijak dari realita bahwa perubahan yang disebabkan oleh air musta’mal tidak dapat terdeteksi oleh indra, maka perlu meminjam benda lain sebagai tolok ukur untuk mengidentifikasi ada tidaknya perubahan dalam air. Dalam hal ini yang menjadi acuannya adalah; rasa menggunakan rasa delima, warna menggunakan warna perasan anggur, bau menggunakan bau ladzan (sejenis minyak wangi) (Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi, Tusyikh ala Fathil Qorib al-Mujib, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.th.t] halaman 22).    


Sederhananya, jika ada cairan yang sifatnya sama dengan air semisal air musta’mal mencampuri air mutlak untuk mengetahui berubah atau tidak perlu mengira-ngirakan dengan baunya delima, warna perasan angur dan baunya ladzan (sejenis minyak wangi).    


Contoh, ada air musta’mal satu gelas mencampuri air mutlak satu ember, maka dikira-kirakan jika delima satu gelas dicampurkan ke dalam air satu ember mengubah rasanya atau tidak. Jika air perasan anggur satu gelas dimasukan ke dalam air satu ember mengubah warnanya atau tidak. 


Jika ladzan satu gelas dicampurkan ke dalam air satu ember mengubah baunya atau tidak. Jika berubah, maka dinamakan dengan air mutaghayir taqdiri dan statusnya air suci tapi tidak dapat mensucikan, namun jika tidak mengubah, maka airnya tetap suci mensucikan.    


Dalam madzhab Syafi'i melakukan cara sebagaimana di atas merupakan cara yang paling kuat sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhlatu at-Thalibin.


إِذَا اخْتَلَطَ بِالْمَاءِ الْكَثِيرِ أَوِ الْقَلِيلِ مَائِعٌ يُوَافِقُهُ فِي الصِّفَاتِ، كَمَاءِ الْوَرْدِ الْمُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ، وَمَاءِ الشَّجَرِ، وَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ، فَوَجْهَانِ. أَصَحُّهُمَا: إِنْ كَانَ الْمَائِعُ قَدْرًا لَوْ خَالَفَ الْمَاءَ فِي طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيحٍ لَتَغَيَّرَ التَّغَيُّرَ الْمُؤَثِّرَ، سَلَبَ الطَّهُورِيَّةَ، وَإِنْ كَانَ لَا يُؤَثِّرُ مَعَ تَقْدِيرِ الْمُخَالِفَةِ، لَمْ يَسْلُبْ    وَالثَّانِي: إِنْ كَانَ الْمَائِعُ أَقَلَّ مِنَ الْمَاءِ، لَمْ يَسْلُبْ. وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْهُ أَوْ مِثْلَهُ، سَلَبَ. وَحَيْثُ لَمْ يَسْلُبْ، فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَسْتَعْمِلُ الْجَمِيعَ   


Artinya: Jika ada cairan yang bercampur dengan air yang banyak atau sedikit yang mana cairan tersebut menyamai air itu dalam sifat-sifatnya, seperti air bunga yang sudah tidak berbau, atau air pohon, atau air musta’mal maka ada dua pendapat. Pendapat yang paling kuat adalah, jika cairan itu mencapai suatu kuantitas yang seandainya berbeda dengan air (mutlak) dalam hal rasa, warna, dan bau maka air tersebut akan berubah dengan perubahan yang mempengaruhi, maka cairan tersebut menghilangkan sifat kesucian air. Tetapi jika kuantitasnya tidak mempengaruhi dengan memperkirakan adanya perbedaan sifat, maka itu tidak menghilangkan sifat kesuciannya. Pendapat kedua, jika volume cairan yang mempunyai sifat sama dengan air mutlak lebih sedikit, maka tidak menghilangkan sifat kesuciannya. Namun, jika volumenya lebih banyak atau menyamai air mutlak yang dicampuri maka menghilangkan sifat kesuciannya. Dan ketika tidak menghilangkan sifat kesuciannya, maka menurut pendapat yang shahih keseluruhan airnya dapat digunakan (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf an-Nawawi, Raudhlatu at-Thalibin, [Beirut, Maktabah Islamiyah: 1412 H] juz 1, halaman 12).   


Maka status air mutlak di dalam ember yang terkena percikan air bekas mandi wajib yang statusnya air musta’mal adalah tetap suci mensucikan dan dapat digunakan untuk bersuci, karena sedikitnya percikan air musta’mal yang masuk ke dalam ember, dan jika dikira-kirakan dengan 3 hal di atas airnya tidak berubah dengan perubahan yang menghilangkan kemutlakan nama air.    


Selain itu, perlu diketahui mengira-ngirakan sebagaimana di atas hukumnya sunah bukan wajib, sehingga jika seorang langsung menggunakan air yang tercampur air musta’mal tanpa terlebih dahulu mengira-ngirakan itu tidak menjadi masalah, karena hakikatnya ia dalam keadaan ragu dalam perubahannya sedangkan hukum asalnya adalah tidak berubah. Syekh Nawawi menerangkan tentang hal tersebut dalam kitabnya Kasyifatus Saja sebagai berikut: 


واعلم أن تقدير المذكور منذوب لا واجب فلو هجم شخص واستعمل الماء أجزأ ذلك إذ غاية الأمر انه شاك في التغير المضر والأصل عدمه


Artinya: Ketahuilah! Sesungguhnya mengira-ngirakan yang disebutkan di atas hukumnya sunah, tidak wajib. Jadi apabila seseorang langsung menggunakan air (yang tercampur dengan air musta’mal tersebut) maka sudah mencukupi baginya. Karena hakikatnya ia ragu tentang perubahan yang membahayakan air sedangkan hukum asalnya adalah tidak adanya perubahan tersebut (Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi, Syarah Kasifatus Saja ala Safinatun Naja, [Surabaya, Al-Haramain: t.th] halaman 24-25).   


Pendapat kedua dalam madzhab Syafi’i dapat menjadi solusi untuk orang awam karena lebih mudah, di mana cukup melihat jika air musta’mal yang mencampuri volumenya lebih sedikit maka airnya tetap suci mensucikan. 


Namun, jika air musta’mal yang mencampuri lebih banyak atau sama volumenya dengan air mutlak yang dicampuri, maka status airnya adalah air muthayyir taqdiri yang suci tapi tidak mensucikan.