• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Syiar

Berikut Tiga Makna Halal bi Halal Menurut Prof Quraish Shihab

Berikut Tiga Makna Halal bi Halal Menurut Prof Quraish Shihab
Makna Halal bi Halal Menurut Prof Quraish Shihab (Ilustrasi: NU Online)
Makna Halal bi Halal Menurut Prof Quraish Shihab (Ilustrasi: NU Online)

Tradisi halal bi halal telah menjadi bagian penting dari budaya dan nilai-nilai masyarakat Indonesia, terutama saat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Namun, di balik kebersamaan dan kegembiraan dalam acara ini, tersimpanlah makna yang dalam yang sering kali terabaikan. 


Makna halal bi halal mencakup aspek spiritual, sosial, dan moral. Halal bi halal tidak hanya sekadar ritual formal, melainkan sebuah peluang untuk meningkatkan pemahaman akan nilai-nilai keislaman dan kebersamaan yang hakiki. 


Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bi halal, Prof Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah yang digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) tersebut. 


Pertama, dari segi hukum fiqih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bi halal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa. 


Dengan demikian, halal bi halal menurut tinjauan hukum fiqih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bi halal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan. 


Masih dalam tinjauan hukum fiqih. Menurut para fuqaha, istilah halal mencakup pula apa yang dinamakan makruh. Di sini timbul pertanyaan, “Apakah yang dimaksud dengan istilah halal bi halal menurut tinjauan hukum itu adalah adanya hubungan yang halal, walaupun di dalamnya terdapat sesuatu yang makruh? 


Secara terminologis, kata makruh berarti sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam bahasa hukum fiqih, makruh adalah suatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Walaupun jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, tapi dengan meninggalkan perbuatan itu, pelaku akan mendapatkan ganjaran atau pahala.


Atas dasar pertimbangan terakhir ini, Prof Quraish Shihab tidak cenderung memahami kata halal dalam istilah halal bi halal dengan pengertian atau tinjauan hukum. Sebab, pengertian hukum tidak mendukung terciptanya hubungan harmonis antar-sesama.


Kedua, tinjauan bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. 


Dengan demikian, jika memahami kata halal bi halal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bi halal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri. 


Ketiga, tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak.


Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya. 


Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa halal bi halal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat baik secara berkelanjutan. 


Pesan yang berupaya diwujudkan Kiai Wahab Chasbullah melalui tradisi halal bi halal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antar-anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara.   


Sebab itu, halal bi halal lebih dari sekadar ritual keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemaslahatan bersama.


Demikianlah penjelasan makna halal bi halal yang dikemukakan oleh Prof Quraish Shihab sebagaimana dilansir dari NU Online. Semoga adanya hari Idul Fitri ini menjadikan kita sesama umat Muslim untuk saling maaf memaafkan. 


Syiar Terbaru