• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Syiar

4 Makna Keberadaan Anak: Penyejuk, Perhiasan, Ujian, hingga Musuh

4 Makna Keberadaan Anak: Penyejuk, Perhiasan, Ujian, hingga Musuh
Anak adalah harta tak ternilai dalam keluarga, mereka adalah anugerah sekaligus amanah bagi para orang tua
Anak adalah harta tak ternilai dalam keluarga, mereka adalah anugerah sekaligus amanah bagi para orang tua

Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah yang diberikan Allah swt bagi para orang tua. Anak kerap disebut sebagai harta yang tak ternilai harganya dalam keluarga. Sejak kecil anak menjadi kebanggaan para orang tua.


Namun ternyata anak juga bisa menjadi fitnah atau ujian, bahkan menjadi musuh bagi para orang tuanya. Kapankah seorang anak bisa menjadi musuh, ujian, perhiasan, dan menjadi penyejuk hati? Al-Qur’an telah menjelaskan keempat tipikal anak, seperti dilansir dari 4 Posisi Anak dalam Al-Qur’an: Penyejuk, Perhiasan, Ujian, hingga Musuh.


Pertama, anak sebagai penenang hati, penyejuk jiwa, dan pemimpin orang-orang yang bertakwa. Tipikal ini menjadi yang terbaik dan tertinggi dari seorang anak. Hal itu sebagaimana terungkap dalam doa Al-Qur’an berikut ini. 


  رَبَّنا هَبْ لَنا مِنْ أَزْواجِنا وَذُرِّيَّاتِنا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتَّقِينَ إِماماً 


Artinya:  Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS al-Furqan [25]: 74).  


Para ulama tafsir menyebutkan, maksud qurrata a’yun dalam ayat di atas adalah anak-anak yang saleh, taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua, bermanfaat bagi sesama. Tak heran jika anak yang memiliki perangai ini menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa, menjadi kebanggaan dan pembela bagi para orang tua di dunia dan akhirat.


Namun, tipikal anak ini tidak lahir begitu saja. Dibutuhkan perjuangan keras dari orang tua untuk mengasuh, membina, dan mendidiknya, bahkan sudah pasti membiayainya. Dan yang tak kalah penting adalah doa, baik dari orang tua maupun dari orang-orang yang saleh. (Lihat: Tafsir Muqatil ibn Sulaiman, [Beirut: Daru Ihya at-Turats], 1424 H, jilid 3, halaman 242).   


Kedua, anak sebagai perhiasan dunia. Hal itu sebagaimana yang diungkap ayat berikut: 


  الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ 


Artinya:   Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan (QS. Al-Kahfi [18]: 46).  


Dalam ayat ini, anak diposisikan sebagai perhiasan dan kekayaan dunia bagi orang tuanya. Layaknya perhiasan dan kekayaan, anak diperlakukan, dijaga, bahkan disayang sebaik-baiknya oleh para orang tua. Kaitan dengan tipikal ini, anak disejajarkan dengan perhiasan dan kekayaan dunia yang lainnya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat yang lain.


Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga), (QS. Ali ‘Imran [3]: 14).  


Namun, kecintaan yang berlebihan membuat para orang tua terlena dan seringkali mengabaikan hal-hal yang membahayakan sang anak itu sendiri. Mereka lupa, jika perlakuan yang diberikannya justru akan merusak masa depan anak kesayangannya. Karena itu, dalam ayat lain, Allah mengingatkan agar kekayaan dan keturunan tidak sampai melalaikan para hamba-Nya.

 
Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi, (QS. Al-Munafiqun [63]: 9).
 

 Ketiga, anak sebagai fitnah atau ujian, sebagaimana yang diungkap dalam ayat:  


 إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ   


Artinya: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS. At-Taghabun [64]: 15).   


Mungkin ini pula yang dimaksud anak sebagai amanah atau titipan yang diharus dijaga dengan sebaik-baiknya. Dipenuhi hak-haknya, disayang, dirawat, dididik agar memiliki masa depan yang cerah dan membahagiakan orang tuanya. Ingatlah Allah memiliki balasan yang besar bagi mereka yang menjaga amanat ini.


Maka janganlah sia-siakan jiwa dan raga anak, jangan bunuh mereka karena takut miskin. Demikian yang diamanatkan dalam Al-Qur’an: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar (QS. Al-Isra’ [17]: 31).   


Keempat, anak menjadi musuh. Hal itu diungkap dalam ayat berikut.


   يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْواجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 


Artinya: Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang  (QS. At-Taghabun [64]: 14).  


Sebagian mufasir menjelaskan, maksud sebagai musuh di sini adalah menjadi pihak yang menghalang-halangi jalan Allah, merintangi jalan ketaatan kepada-Nya. Maka hati-hatilah agar tidak dijerumuskan oleh mereka.


Ini pula yang terjadi pada sejumlah sahabat yang ingin berhijrah mengikuti Rasulullah saw, namun dihalang-halangi oleh anak-istri mereka. Lihat: Tafsir at-Thabari, Terbitan Muassasah ar-Risalah, 1420 H, Cet. Pertama, jilid 23, halaman 423).  


Namun, mufasir lain mengemukakan, maksud sebagai musuh di sini adalah musuh seperti yang terjadi pada hari Kiamat, di mana antara orang tua dan anak, antara seseorang dengan kerabatnya tidak hanya dipisahkan, tetapi juga bermusuhan, bahkan saling gugat dan menyudutkan, akibat hak masing-masing tidak dipenuhi, kezaliman di antara mereka sewaktu di dunia, dan seterusnya. 


Hal itu berdasarkan ayat lain yang menyatakan: Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tidak bermanfaat bagimu pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Mumtahanah [60]: 3). 
 

Demikian empat makna keberadaan anak yang disebutkan Al-Qur’an. Semoga kita senantiasa dikaruniai keturunan yang saleh dan mampu memberi pertolongan di akhirat kelak.ku


Editor:

Syiar Terbaru