• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Syiar

3 Waktu yang Dimiliki Manusia, Harus Diketahui

3 Waktu yang Dimiliki Manusia, Harus Diketahui
Kita harus bisa menghargai waktu, agar tidak merugi (Ilustrasi: NU Online)
Kita harus bisa menghargai waktu, agar tidak merugi (Ilustrasi: NU Online)

Manusia hidup di dunia memiliki tiga waktu yakni waktu yang telah terjadi atau telah dikerjakan, waktu yang sedang terjadi atau telah dilakukan (lampau) dan waktu yang akan terjadi atau akan dilakukan (akan datang). Semua memiliki kaitannya yang sangat erat.

 

Pertama, waktu yang telah terjadi (masa lampau).

Masa lampau merupakan sesuatu yang telah terjadi atau bisa dikatakan sudah menjadi sejarah atau takdir. Ketika kita membaca dan mempelajari tentang sejarah, berarti sama saja sedang membaca takdir. 

 

Dalam ilmu nahwu waktu yang telah terjadi dinamai sebagai fiil madhi yang ditandai dengan harakat fathah di akhirnya atau maftuhul akhir abadan (difathah harakat akhirnya selamanya). Artinya memiliki makna yang statis, pasif atau diam. 

 

Karena sifatnya masa lampau, maka tidak akan pernah bisa diubah atau dikembalikan alur ceritanya. Mungkin hanya bisa ditutupi atau dilupakan dari panggung sejarah. 

 

Ketika kita membaca kisah Raja-raja Singasari, Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram Islam, maka kita akan menemukan banyak kisah-kisah yang bijak dan yang tidak bijak. Kesemuanya sudah berlalu, tidak akan pernah bisa diubah kisahnya dengan mengembalikan orang-orangnya yang sudah tiada, kecuali oleh kepentingan penguasa atau oposisi yang menutupi sejarah atau membelokkannya dari semestinya. Tetapi yang jelas kisahnya ya sedemikian rupa, mutlak tidak akan bisa dikembalikan. 

 

Sama halnya dengan kisah hidup, kita tidak akan pernah bisa mengubah takdir yang telah lewat atau sejarahnya. Kita hanya bisa menutupi dan memperbaiki diri, sehingga menciptakan takdir yang baik untuk dibaca oleh masyarakat maupun anak keturunan kita.

 

Maka yang perlu dihadapi oleh manusia terkait waktu yang telah lampau adalah dengan menutupi sebaik mungkin, apalagi sejarah yang buruk, karena Islam sendiri menyuruh kepada umatnya untuk menutup aibnya. Maka jangan sampai kita membuka aib sendiri, aib teman, aib keluarga. Karena ketika Allah sudah menutup aib kita, maka kita jangan membukanya. Sampai-sampai ada istilah dari para ulama bahwa sebenarnya kita merupakan orang yang buruk, hanya saja Allah menutup aib kita. 

 

Dan kita juga jangan sampai membuka aib saudaranya sendiri padahal Allah juga telah menutupinya. Jangan bangga menceritakan maksiat yang telah kita kerjakan, karena itu sama saja menceritakan aib yang telah Allah tutupi. 

 

Kedua, waktu yang sedang terjadi.

Waktu yang sedang terjadi merupakan waktu yang sedang kita lakukan sekarang ini, entah dalam kebaikan atau keburukan, dalam keadaan duduk, berdiri, berjalan atau sedang membaca tulisan ini. Penulis berharap siapapun yang membaca tulisan ini semoga dalam keadaan mengamalkan kebaikan dan kebajikan. 

 

Dalam ilmu nahwu waktu yang sedang terjadi diistilahkan dengan fiil mudlari' yang memiliki waktu hal (sedang terjadi), yang ditandai dengan diawali hurup mudlaraah (alif, nun, ya dan ta) dan umumnya diakhiri dengan harakat dlomah. Akan tetapi harakat dlomah di akhir kalimat bisa berubah ketika ada amil nasab di depannya, sehingga harakat dlomah bisa berubah menjadi fathah. Dan juga bisa berubah menjadi sukun (mati) ketika diawali amil jazm.

 

Intinya fiil  mudlari' (waktu yang sedang dikerjakan) bisa diubah dengan menambahkan amil di depannya. Sehingga jika kaidah tersebut dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, sesuatu yang sedang terjadi bisa diubah apakah kita sedang melakukan kebaikan atau keburukan.

 

Maka ini merupakan waktu yang istimewa karena menentukan takdir setelahnya untuk menjadi sejarah. Ketika kita sekarang dalam keadaan baik maka melahirkan sejarah yang baik, juga sebaliknya, ketika sekarang sedang melakukan keburukan berarti kita juga siap dengan konsekuensi catatan sejarah yang buruk.

 

Meski manusia bisa membelokkan catatan sejarah (takdir), tetapi malaikat pencatat amal tidak akan pernah keliru sedetik pun mencatat perbuatan kita yang dilakukan di dunia ini, perbuatan baik dan yang buruk. 

 

Ketiga, waktu yang akan terjadi

Ini merupakan waktu yang dalam ilmu nahwu disamakan dengan fiil mudhari' tetapi waktunya istiqbal (akan datang). Juga memiliki kaidah yang sama juga dengan waktu hal (sekarang). 

 

Meski memiki kesamaan, tetapi ada prinsip yang berbeda. Dalam kehidupan, jika mengenali waktu yang akan datang maka harus membutuhkan pemikiran yang matang (planing), jangan sampai perbuatan yang akan dikerjakan tanpa dipikirkan konsekuensinya, apakah baik atau buruk. 

 

Waktu yang akan datang merupakan sebuah cita-cita bagi manusia, apakah terealisasi atau tidak itu urusan diri kita masing-masing dan keadaan penentu. Maka bercita-citalah yang baik dan tinggi, karena setidaknya jika tidak terlaksana maka sudah menjadi simultan dari jiwa kita. Jika memiliki cita-cita yang baik maka akan mendapatkan pahala dan jika buruk maka mendapatkan dosa. 

 

Dalam Islam sesuatu niat baik meski tidak terlaksana akan tetap mendapatkan pahala. Sehingga kita dianjurkan untuk memiliki cita-cita (planing) yang baik. 

 

Maka dari itu, rencanakanlah sesuatu yang baik, karena dengan rencana yang baik kita akan melakukan sesuatu yang baik juga. Setelah kebaikan itu dikerjakan dengan baik maka akan meninggalkan sejarah yang baik juga bagi diri kita dan lingkungan sekitar. 

(Yudi Prayoga)


Syiar Terbaru