• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Jangan Lupakan Gurumu Sampai Kapanpun

Jangan Lupakan Gurumu Sampai Kapanpun
Seorang guru sedang mengajar membaca Al Quran (foto NU Online).
Seorang guru sedang mengajar membaca Al Quran (foto NU Online).

SEMUA manusia hidup di muka bumi pasti memiliki seorang atau beberapa guru. Entah karena sengaja atau tidak sengaja atau bahkan karena terpaksa. Semua memiliki niat berguru dan koridornya masing-masing.

 

Satu orang hebat tidak dibangun hanya dari satu orang guru. Bisa 2, 3, 10 bahkan ratusan guru yang pernah mendidiknya.

 

Secara formal mungkin berguru sejak TK, SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Kita semua akan, sedang atau sudah melewati beberapa gerbong sekolah dengan beraneka ragam dan karakter seorang guru. 

 

Jika dianalogikan siswa itu sebagai samudra dan guru bagaikan arus air yang mengisi. Ada jutaan aliran air yang mengalir ke samudra tersebut, entah alirannya itu hanya sederas selang, paralon, kanal, sungai kecil, sungai besar, bahkan dengan yang paling deras sekalipun. 

 

Semua memiliki kontribusi mengisi. Meski dengan kadar dan volume yang berbeda-beda. Dan semuanya bisa menjadikan wadah itu dinamakan "samudera"

 

Maka seyogyanya seorang murid mengingat semua guru-gurunya, jangan sampai yang teringat hanya yang memiliki arus yang besar. Jika perlu nama mereka harus terpatri secara lahir dan batin.

 

Secara lahir ditulis di kertas atau dipahat sedang secara batin selalu didoakan dan diberi fatihah saben waktu. Karena tanpa mereka manusia hanya kobokan atau wadah yang kosong.

 

Nabi Adam, manusia pertama yang diciptakan oleh Allah Swt juga memiliki guru bernama Malaikat Jibril. Dari Jibril-lah Adam belajar nama-nama benda yang ada di surga dan di bumi. Kemudian ilmu tersebut diestafetkan ke generasi selanjutnya sampai kepada kita semua. 

 

Sebelum sekolah formal kita sudah memiliki seorang guru yang mengajari berjalan, berbicara dan berinteraksi dengan alam dan manusia, yakni kedua orang tua. Di dalam tradisi pesantren bahwa seorang ibu bagaikan "madrasatul ula", yaitu sekolah yang pertama. 

 

Baik buruknya anak akan terdidik dari keluarganya. Jika didikan dari keluarganya baik maka otomatis akan mampu menerima segala arus ilmu dari yang lain. 

 

Ilmu berbicara, ilmu makan, minum, dan berinteraksinya manusia merupakan ilmu warisan yang kita dapatkan dari orang tua, yang berestafet ke atas sampai Nabi Adam, sedang Nabi Adam berguru kepada Jibril dan Jibril diberi Ilham oleh Allah Swt. 

 

Secara nasab manusia merupakan manusia ilmu sekaligus guru yang hidup dengan ilmu dan berguru. Tanpa keduanya tidak akan ada aktivitas di dunia ini. Hanya bagaikan patung. Diam tanpa gerakan. 

 

Kita semua bukan dari golongan yang melupakan seorang guru. KH Arwani Amin seorang guru pengajar Al Qur' an dari Kudus, Jawa Tengah, pernah berkata, "Guru itu di gugu dan ditiru. Didengarkan petuahnya serta ditiru adabnya."

 

Mungkin zaman sekarang tidak semua guru bisa ditiru tindakannya, namun menghormati guru itu sebuah kewajiban. Dan tidak bisa ditoleransi. 

 

Semua guru itu hebat karena mendidik murid dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing. Murid tidak diperkenankan mengkritik guru yang bukan bagian kapasitasnya, atau bahkan menghinanya. Karena hal itu merupakan suul adab (adab yang buruk). 

 

Ramai di medsos pada peringatan Hari Guru Nasional ke-76 dengan kata-kata "Orang hebat bisa melahirkan beberapa karya bermutu, tapi guru bermutu bisa melahirkan ribuan orang hebat".

 

Orang hebat atau yang kita anggap hebat atau juga yang kita cita-citakan hebat. Seperti dokter, dosen, presiden, menteri, kiai, ustadz, guru besar, dan lain-lain. 

 

Mereka semua memiliki ratusan guru yang membimbing sejak kecil hingga dewasa. Memiliki guru yang telaten membimbing dan melatih diri kita. 

 

Dalam tradisi pesantren guru itu memiliki sanad yang pertanggungjawabannya sampai ke akhirat kelak. Dan ilmunya bisa menjadi jariyyah atau shadaqah di dunia yang tidak akan terputus sampai kiamat meski sudah wafat. Ini merupakan keistimewaan dan kemuliaan seorang guru yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya. 

 

Mengajarkan ilmu bagaikan shadaqah jariyyah yang setara dengan orang kaya yang berderma dengan hartanya. Bahkan dari segi manfaatnya lebih mulia ilmu karena ilmu abadi sedang harta bisa habis terpakai. 

 

(Yudi Prayoga, Alumni SMPN 1 Kelumbayan Barat, Tanggamus)


Opini Terbaru