Keislaman

Shalat Jum’at sebagai Pengganti Shalat Zuhur

Kamis, 12 Juni 2025 | 06:45 WIB

Shalat Jum’at sebagai Pengganti Shalat Zuhur

shalat jumat (Foto: NU Online)

Waktu kecil, saya pernah shalat Jum’at bersama ayah dan kakak di masjid besar dekat rumah. Usai khutbah dan dua rakaat shalat berjamaah, saya pulang dalam semangat, merasa telah menunaikan satu ibadah agung.

 

Namun, entah mengapa, hati kecil saya yang terlatih disiplin shalat lima waktu merasa ada yang kurang. Maka, di rumah, saya ambil wudhu lagi dan bersiap melaksanakan shalat Zuhur empat rakaat. Saat itulah, kakak menepuk pundak saya, sambil tersenyum, “Kalau sudah Jumatan, tidak perlu Zuhur lagi. Jum’at itu pengganti Zuhur.”

 

Saya mengangguk malu-malu. Tapi kalimat itu membekas. Ia menancap dalam memori dan bertahun-tahun kemudian baru saya sadari bahwa kalimat itu sederhana tapi sarat dengan dalil. Ia bukan hanya wejangan kakak, tapi kesimpulan ulama sepanjang zaman.

 

Shalat Jum’at bukan sekadar ritual mingguan yang digelar pada siang hari setiap Jumat. Ia bukan "tambahan", bukan pula sekadar "varian" dari shalat Zuhur. Dalam disiplin ilmu fikih, ia adalah badal (pengganti) dari shalat Zuhur yang diwajibkan pada hari Jumat bagi laki-laki Muslim yang baligh, berakal, dan tidak dalam keadaan safar atau uzur.
Dasarnya kokoh. Al-Qur’an menyebut secara eksplisit dalam Surah al-Jumu’ah ayat 9:

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. al-Jumu’ah: 9)

 

Ayat ini menunjukkan adanya perintah shalat khusus pada hari Jumat. Namun, tidak dijelaskan jumlah rakaatnya atau bagaimana bentuknya. Maka, penjelasan hadis menjadi penting. Dalam Shahih Muslim, terdapat riwayat dari Umar bin Khattab yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw hanya shalat dua rakaat pada hari Jumat setelah khutbah.

 

Selain itu, dalam riwayat Sunan Abi Dawud dan Tirmidzi, Nabi Muhammad saw bersabda, “Shalat Jum’at adalah dua rakaat, dilakukan berjamaah, dengan dua khutbah.” Ini menjadi fondasi bahwa shalat Jumat bukan tambahan, tapi pengganti Zuhur yang pada hari-hari lain dilakukan empat rakaat.

 

Para ulama sepakat (ijma) bahwa shalat Jumat menggantikan kewajiban Zuhur, bukan ditambah di luar itu. Dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi menjelaskan, “Shalat Jumat menggantikan Zuhur, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan seluruh imam mazhab.”

 

Imam Syafi’i dalam al-Umm juga menegaskan hal ini. Bahkan, dalam mazhab Syafi’i, disebutkan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat Jumat tidak lagi diwajibkan melaksanakan shalat Zuhur, kecuali dalam kasus tertentu seperti batalnya shalat Jumat karena tidak terpenuhinya syarat sahnya, misalnya jumlah jamaah kurang dari 40 orang dalam sebagian pendapat.

 

Hal yang sama ditegaskan dalam mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Semua menyebut bahwa Jumat adalah pengganti Zuhur, bukan pelengkap. Maka, anak kecil yang mencoba shalat Zuhur setelah Jumatan, seperti saya dulu, memang bisa dimaklumi sebagai bagian dari semangat ibadah. Tapi secara hukum, tidak dibenarkan sebagai kewajiban kedua.

 

Di sinilah pentingnya edukasi fiqih ringan sejak dini. Banyak dari kita yang tumbuh dengan semangat beribadah, tetapi belum tentu disertai pemahaman akan peran dan posisi ibadah dalam struktur hukum Islam. Kalau tidak dijelaskan bahwa Jum’at mengganti Zuhur, bisa-bisa orang awam menganggap shalat Zuhur wajib juga dilakukan setelahnya karena yang dua rakaat tadi “terasa belum cukup”.

 

Shalat Jumat juga mengandung nilai lebih yang tidak ditemukan pada shalat Zuhur biasa. Pertama, adanya dua khutbah sebagai syarat sahnya, yang menjadi momen pendidikan spiritual dan sosial secara berkala. Kedua, dilaksanakannya secara berjamaah di masjid, menumbuhkan ikatan kolektif umat Islam yang tidak bisa digantikan oleh shalat sendirian. Ketiga, adanya larangan jual beli ketika adzan Jumat dikumandangkan, menunjukkan betapa sakralnya momen ini.

 

Jumatan bukan sekadar aktivitas ibadah individual. Ia adalah ruang pertemuan komunitas. Ada ulama, pedagang, pekerja, pelajar, tukang becak, dan pejabat duduk bersila dalam barisan sejajar. Tidak ada kasta, tidak ada pangkat, kecuali derajat taqwa. Maka, jika hanya dilihat sebagai "pengganti Zuhur", itu pun sudah istimewa karena nilai penggantiannya tak sekadar jumlah rakaat, tapi juga dimensi sosialnya.

 

Jika dilihat dari sisi sejarah, shalat Jum’at telah dilakukan sejak masa Rasulullah di Madinah. Bahkan, ada riwayat yang menyebut bahwa kaum Anshar telah melaksanakannya di Madinah sebelum Rasul tiba, dengan izin beliau. Dalam al-Muwaththa’, Imam Malik menyebutkan, “Para sahabat Rasulullah saw pertama kali melakukan shalat Jum’at di Madinah sebelum hijrah Nabi ke sana, dan itu menunjukkan urgensi ibadah ini.”

Setelah Islam tersebar, shalat Jumat menjadi simbol syiar utama di wilayah baru. Di banyak kota di dunia Islam, bangunan masjid agung biasanya ditentukan dari pusat shalat Jumat, bukan dari lokasi shalat lima waktu. Maka istilah “Masjid Jami’” (masjid tempat Jumatan) menjadi pembeda dengan mushalla atau surau biasa.

 

Kini, dalam kehidupan urban yang makin terfragmentasi, shalat Jumat seakan menjadi jeda kolektif yang menyatukan denyut umat. Di tengah riuh kantor, layar ponsel, dan notifikasi dunia, suara adzan Jumat di tengah hari adalah panggilan sunyi yang menyadarkan kita akan hakikat kehidupan. Dua rakaat itu mungkin singkat, tapi maknanya panjang: kita bukan sekadar makhluk kerja, tapi makhluk sembah.
 

Pengalaman kecil saya yang dulu ingin shalat Zuhur setelah Jumatan mungkin terdengar lucu, tapi ia adalah cermin dari pentingnya ilmu dalam ibadah. Kini, sebagai orang dewasa yang pernah menjadi anak kecil penasaran, saya pahami bahwa shalat Jumat bukan pelengkap, bukan tambahan, melainkan bentuk rahmat Allah yang meringankan umat, menyatukan mereka, dan memperkuat iman dalam kesibukan dunia.

 

Jika dulu saya dituntun oleh kakak, hari ini saya ingin menuntun yang lain: kepada siapa pun yang masih ragu, yakinlah bahwa dua rakaat Jumat menggantikan empat rakaat Zuhur. Bukan karena Allah mengurangi ibadah kita, tapi karena Dia ingin kita pulang dengan lebih ringan, lebih tenteram, dan lebih paham makna berkumpul dan bersujud bersama.

 

Dan seperti dalam satu hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang berwudhu, lalu datang ke masjid dan mendengarkan khutbah serta tidak melakukan hal sia-sia, maka akan diampuni dosanya antara Jumat itu dan Jumat berikutnya, ditambah tiga hari." Lihatlah betapa besar balasannya, bahkan melampaui shalat Zuhur biasa.

 

Maka, jangan hanya jadikan Jumatan sebagai kebiasaan mingguan. Jadikan ia pengingat mingguan, perenungan pekanan, dan pengganti yang berkah bagi siangmu.

 

Wahyu Iryana, Sejarawan UIN Raden Intan Lampung