• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Syiar

Ini 6 Syarat Sah Pelaksanaan Shalat Jumat

Ini 6 Syarat Sah Pelaksanaan Shalat Jumat
kaligrafi jumat
kaligrafi jumat

Pada hari Jumat yang disebut sebagai sayyidul ayyam atau penghulu hari, terdapat kewajiban menunaikan shalat Jumat bagi setiap muslim yang laki-laki atau fardhu 'ain. Dan sebagaimana ibadah lainnya,  shalat Jumat memiliki beberapa syarat keabsahan atau ketentuan yang harus dipenuhi. 

 

Bila syarat sah itu tidak terpenuhi, maka pelaksanaan shalat Jumat tersebut hukumnya tidak sah. Ada 6 syarat sahnya pelaksanaan shalat Jumat yang perlu diketahui dan dilaksanakan, sebagaimana dilansir dari Enam Syarat Sah Pelaksanaan Shalat Jumat  berikut ini:


Pertama, shalat Jumat dan kedua khutbahnya dilakukan di waktu zhuhur.

 

Seperti diterangkan dalam hadits:

 

أَنَّ النَّبِيَّكَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ   


Artinya: Sesungguhnya Nabi saw melakukan shalat Jumat saat matahari condong ke barat (waktu zhuhur)  (HR al-Bukhari dari sahabat Anas).   


Dengan demikian, tidak sah melakukan shalat Jumat atau khutbahnya di luar waktu zhuhur. Bila waktu Ashar telah tiba dan jamaah belum bertakbiratul ihram, maka mereka wajib bertakbiratul ihram dengan niat zhuhur. 

 

Apabila di tengah-tengah melakukan shalat Jumat, waktu zhuhur habis, maka wajib menyempurnakan Jumat menjadi zhuhur tanpa perlu memperbaharui niat.  


Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri mengatakan:


   
فَلَوْضَاقَ الْوَقْتُ أَحْرَمُوْا بِالظُّهْرِ وَلَوْ خَرَجَ الْوَقْتُ وَهُمْ فِيْهَا أَتَمُّوْا ظُهْراً وُجُوْباً بِلَا تَجْدِيْدِ نِيَّةٍ   


Artinya: Apabila waktu zhuhur menyempit, maka wajib melakukan takbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila waktu zhuhur keluar sementara jamaah berada di dalam ritual shalat Jumat, maka mereka wajib menyempurnakannya menjadi shalat zhuhur tanpa mengulangi niat (Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, halaman 236).


Kedua, dilaksanakan di area pemukiman warga.   Shalat Jumat wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melakukan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan Jumat tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga.

   
Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali menyatakan:


  وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُفِيْهَا   


Artinya: shalat Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, bagi musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut  (al-Ghazali, al-Wasith, juz.2, halaman .263 [Kairo: Dar al-Salam], cetakan ketiga tahun 2012). 


Ketiga, rakaat pertama Jumat harus dilaksanakan secara berjamaah.   Minimal pelaksanaan jamaah shalat Jumat adalah dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah Jumat niat mufaraqah (berpisah dari Imam) dan menyempurnakan Jumatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumat dinyatakan sah.  


Keempat, jamaah shalat Jumat adalah orang-orang yang wajib menjalankan Jumat.  Jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat adalah penduduk yang bermukim di daerah tempat pelaksanaan Jumat. Sementara jumlah standar jamaah Jumat adalah 40 orang ternasuk imam, sebagaimana pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i. Menurut pendapat lain cukup dilakukan 12 orang, versi lain ada yang mencukupkan 4 orang.  


Al-Jamal al-Habsyi sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:  


 قَالَ الْجَمَلُ الْحَبْشِيُّ فَاِذَا عَلِمَ الْعَامِيُّ أَنْ يُقَلِّدَ بِقَلْبِهِ مَنْ يَقُوْلُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ بِإِقَامَتِهَا بِأَرْبَعَةٍ أَوْ بِاثْنَيْ عَشَرَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِذْ لَا عُسْرَ فِيْهِ  


Artinya: Berkata Syekh al-Jamal al-Habsyi, bahwa bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari ashab Syafi’i yang mencukupkan pelaksanaan Jumat dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut tidak masalah, karena tidak ada kesulitan dalam hal tersebut (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, halaman 18).  


Ini tidak termasuk jamaah yang mengesahkan Jumat yaitu orang yang tidak bermukim di daerah pelaksanaan Jumat, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melakukan Jumat.  

 
Kelima, tidak didahului atau berbarengan dengan Jumat lain dalam satu desa   Dalam satu daerah, shalat Jumat hanya boleh dilakukan satu kali. 


Oleh karenanya, bila terdapat dua Jumatan dalam satu desa, maka yang sah adalah Jumatan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram, sedangkan Jumatan kedua tidak sah. Dan apabila takbiratul ihramnya bersamaan, maka kedua Jumatan tersebut tidak sah.   


Hal ini bila tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk dilaksanakan dua kali. Bila terdapat hajat, seperti kedua tempat pelaksanaan terlampau jauh, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat dalam satu tempat karena kapasitas tempat tidak memadai, ketegangan antar kelompok dan lain sebagainya, maka kedua Jumatan tersebut sah, baik yang pertama maupun yang terakhir.   


Syekh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:

 

  وَالْحَاصِلُ أَنَّ عُسْرَ اجْتِمَاعِهِمْ اَلْمُجَوِّزَ لِلتَّعَدُّدِ إِمَّا لِضَيْقِ الْمَكَانِ اَوْ لِقِتَالٍ بَيْنَهُمْ اَوْ 
لِبُعْدِ أَطْرَافِ الْمَحَلِّ بِالشَّرْطِ   

 

Artinya: Kesimpulannya, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat yang memperbolehkan berbilangannya pelaksanaan Jumat adakalanya karena faktor sempitnya tempat, pertikaian di antara penduduk daerah atau jauhnya tempat sesuai dengan syaratnya  (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, halaman 4).

 

Keenam, didahului kedua khutbah.   Sebelum shalat Jumat dilakukan, terlebih dahulu harus dilaksanakan dua khutbah. 

 

Hal ini berdasarkan hadits Nabi: 

 
 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا  

 

Rasulullah saw berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi melanjutkan khutbahnya  (HR. Muslim).


Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menjalankan shalat Jumat.  Mengingat syarat-syarat tersebut sangat penting karena bisa membuat shalat Jumat tidak sah, maka kita perlu memperhatikan dan menerapkannya.


Syiar Terbaru