• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 4 Mei 2024

Keislaman

Harta Berlimpah, Jabatan, dan Kefakiran Hakikatnya hanya Ujian Hidup

Harta Berlimpah, Jabatan, dan Kefakiran Hakikatnya hanya Ujian Hidup
Harta Berlimpah, Jabatan, dan Kefakiran Hakikatnya hanya Ujian Hidup (Foto: NU Online)
Harta Berlimpah, Jabatan, dan Kefakiran Hakikatnya hanya Ujian Hidup (Foto: NU Online)

Pasca pandemi Covid-19 yang dialami lebih kurang 3 tahun mulai 2020 hingga 2023, tidak sedikit perusahaan yang bangkrut, buruh diberhentikan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pedagang kecil harus gulung tikar, dan sebagainya. 


Situasi perekonomian nasional saat ini perlahan mulai pulih, masyarakat mulai menata satu persatu dari hal yang mungkin bisa dimulai dan dikerjakan. Pemerintah melalui kementerian maupun jalur lembaga membuka lowongan kerja.


Seperti Kementerian Agama pada Selasa (15/8/2023) menyerahkan Surat Keputusan (SK) Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dan baru-baru ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengumumkan para pejabat Bawaslu Kabupaten/Kota se-Indonesia. 


Berkenaan dengan hal itu, mufassir (ahli tafsir) Prof Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitab Tafsir Al-Munir menjelaskan Tafsir Surat Al-Fajr ayat 15-20. Adapun bunyi ayat tersebut.


فَاَمَّا الْاِنْسَانُ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ رَبُّهٗ فَاَكْرَمَهٗ وَنَعَّمَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَكْرَمَنِۗ وَاَمَّآ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهٗ ەۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَهَانَنِۚ كَلَّا بَلْ لَّا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَۙ وَلَا تَحٰۤضُّوْنَ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۙ وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ اَكْلًا لَّمًّاۙ وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ


Artinya: Adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, berkatalah dia, “Tuhanku telah memuliakanku” (15). Sementara itu, apabila Dia mengujinya lalu membatasi rezekinya, berkatalah dia, “Tuhanku telah menghinaku” (16). Sekali-kali tidak! Sebaliknya, kamu tidak memuliakan anak yatim (17). Tidak saling mengajak memberi makan orang miskin (18). Memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram) (19). Dan mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan (20) (QS Al-Fajr [89]: 15-20).


Menurut az-Zuhaili menjelasakan ayat tersebut sesungguhnya manusia telah salah berpikir, jika dia diuji dengan kenikmatan, Allah memuliakannya dengan harta dan keluasan rezeki. Lantas dia berkata, Tuhanku telah memuliakan, mengutamakanku, memilihku, mengangkat derajatku, dan membebaskanku dari siksaan.


Hal itu diucapkan dengan keyakinan bahwa semua itu bentuk kemuliaan yang diberikan oleh Allah. Dia gembira dengan apa yang diperoleh, namun dia tidak bersyukur atas semua itu, tidak mengetahui bahwa semua itu hakikatnya ujian dari Tuhannya. 


Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:


اَيَحْسَبُوْنَ اَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهٖ مِنْ مَّالٍ وَّبَنِيْنَ ۙ نُسَارِعُ لَهُمْ فِى الْخَيْرٰتِۗ بَلْ لَّا يَشْعُرُوْنَ


Artinya: Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa) (55). Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya (56) (QS Al-Mukminun: 55-56).


Wahbah Zuhaili menjelasakan sesungguhnya kekayaan, kemewahan, dan kekuasaan seseorang itu bukan merupakan tanda keridhan Allah swt, semua itu tidak ada harganya di sisi Allah.


Di sisi lain, sesungguhnya kemiskinan, kesulitan rezeki juga bukan tanda kemurkaan Allah terhadap hambanya. Dalam dua keadaan seperti itu, keluasan rezeki dan tingginya jabatan tidak menunjukkan manusia berhak memperolehnya. Itu cukup kita jadikan dalil dengan melihat orang kafir, fasiq dan ahli maksiat yang banyak memiliki harta.


Keluasan rezeki dunia bukan jaminan ketinggian derajat seseorang dihadapan Allah swt, itu semua hanyalah ujian semata. Tingginya derajat seseorang, dilihat dari ketakwaan dan kedermawanan hartanya untuk berjuang di jalan-Nya. 


Sementara kesempitan rezeki, bukan berarti kita tidak berhak menerimanya. Hal itu bisa kita lihat sebagaimana kefakiran para Nabi, orang-orang saleh, dan para ulama. Kehinaan di sisi Allah bukan karena fakir harta melainkan mereka para ahli maksiat dan tidak beramal saleh. 


Pelajaran dan hikmah yang dapat diambil yaitu, pertama, Allah swt, dalam ayat di atas menggunakan kata (كلا) kalla untuk membantah jeleknya pemahaman manusia untuk menolak dan menghinakan pandangan tersebut. 


Permasalahannya, manusia berpikir kekayaan karena dimuliakan dan kemiskinan karena dihinakan. Kekayaan dan kemiskinan semata-mata hanya takdir Allah swt. Seorang hamba harus tetap memuji Allah baik dalam keadaan miskin ataupun kaya. 


Kedua, setinggi apa posisi status sosial kita, jabatan, dan kehormatan kita semuanya hanya ujian dari Allah swt. Kerendahan apapun jabatan sosial kita itu pun ujian bagaimana kita bisa melewati ujian itu dengan sabar dan terus berusaha menjadi lebih baik dan mulia baik di sisi manusia terutama mulia di sisi Allah swt.


Rifai Aly, Aktivis Muda NU dan Kontributor NU Online Lampung
 


Keislaman Terbaru