Banjir Informasi: Hindari Debat Kusir, Banyak Dengar dan Berpikir
Senin, 23 Juni 2025 | 04:25 WIB
Pringsewu, NU Online Lampung
Di era digital saat ini, kita hidup dalam gelombang besar yang disebut banjir informasi. Setiap detik, jutaan data mengalir ke genggaman kita melalui media sosial, grup percakapan, dan berbagai platform daring.
Satu peristiwa bisa memiliki ratusan versi narasi, opini, bahkan disinformasi. Di tengah kondisi ini, muncul satu tantangan besar, yaitu menjaga akal sehat dan kejernihan berpikir.
"Banjir informasi bisa menjadi berkah sekaligus bencana. Di satu sisi, kita lebih mudah mendapatkan pengetahuan. Di sisi lain, jika tidak disertai kemampuan menyaring, informasi justru bisa menyesatkan," kata Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pringsewu, H Muhammad Faizin, Ahad (22/6/2025).
Ironisnya, jelasnya, banyak orang terjebak dalam kebiasaan bereaksi cepat tanpa proses berpikir mendalam. Sebuah pernyataan langsung dikomentari, potongan video segera dihakimi, dan akhirnya terjebak dalam debat kusir tanpa ujung.
"Debat kusir sering kali lahir dari ketidaksiapan untuk memahami secara utuh. Orang lebih sibuk menyusun jawaban ketimbang menyimak lawan bicara," katanya tentang kebiasaan warganet.
Alih-alih menjadi sarana bertukar pikiran, perdebatan menurutnya berubah menjadi arena mempertahankan ego dan mencari pembenaran diri. Padahal, tidak semua hal harus ditanggapi.
"Tidak semua opini perlu disanggah. Dalam banyak kasus, diam adalah bentuk kebijaksanaan yang lebih tinggi daripada berkata-kata," ungkapnya.
Ia pun mengungkapkan filosofi klasik tentang beberapa orang buta yang memegang gajah. Masing-masing dari mereka menyentuh bagian berbeda, yang memegang belalai menyangka gajah itu seperti ular, yang memegang kaki menyangka itu seperti tiang, yang memegang telinga mengira seperti kipas, dan yang menyentuh ekor merasa seperti tali.
"Masing-masing yakin bahwa gambaran mereka tentang gajah adalah yang paling benar, padahal semuanya hanya melihat sebagian kecil dari kenyataan," ungkapnya.
Filosofi ini menurutnya menggambarkan pentingnya kerendahan hati dalam memahami realitas. Apa yang dilihat atau diketahui seringkali hanyalah sepotong dari kebenaran.
"Tanpa kesediaan untuk mendengar dan memahami perspektif orang lain, kita mudah terjebak dalam klaim kebenaran yang sempit dan menyesatkan. Di sinilah debat kusir sering muncul, masing-masing merasa paling benar, padahal semua sedang memegang bagian dari kebenaran yang lebih besar," jelasnya.
Banyak Mendengar dan Berpikir: Jalan Menuju Kedewasaan
Di tengah hiruk-pikuk wacana publik, ia menyebut bahwa dibutuhkan sikap tawadhu’ atau kerendahan hati untuk lebih banyak mendengar. Mendengar bukan sekadar menunggu giliran bicara, tetapi sebuah proses menyerap makna dan mencoba memahami dari sudut pandang berbeda.
"Kemampuan mendengar adalah bagian dari kedewasaan berpikir," jelasnya.
Berpikir sebelum berkomentar, merenung sebelum menyimpulkan, adalah sikap yang layak dijadikan kebiasaan. Dalam dunia yang serba cepat, orang yang mampu memperlambat reaksi justru akan lebih unggul dalam kualitas pandangannya.
Dalam kondisi masyarakat yang terpolarisasi, kontribusi terbaik bukan dengan menambah kegaduhan, tetapi menjadi penyejuk di tengah panasnya perdebatan.
"Jika tidak mampu berkata baik, lebih baik diam. Jika belum cukup paham, jangan tergesa membentuk opin," katanya.
Bijak bermedia sosial dan bijak bermedia informasi, tegasnya adalah kunci agar tidak tenggelam dalam banjir data.
"Mari tumbuhkan budaya literasi yang sehat, verifikasi sebelum percaya, dengarkan sebelum menghakimi, pikirkan sebelum bicara," pungkasnya.