Pernik

Lakon Puntadewa Bertemu Sunan Kalijaga: Jimat Kalimasada dan Wasiat Keindonesiaan

Ahad, 4 Mei 2025 | 13:12 WIB

Lakon Puntadewa Bertemu Sunan Kalijaga: Jimat Kalimasada dan Wasiat Keindonesiaan

Pertemuan antara Puntadewa dan Kalijaga (ilustrasi: Istimewa)

Malam itu, langit Sragen menggantung redup. Di balik kelir, bayang-bayang para kesatria mulai menari. Gamelan mengalun lirih seperti zikir. Di tangan Ki Manteb Sudarsono, tokoh-tokoh wayang tidak sekadar bergerak, mereka bergulat, bertanya, bahkan bertobat. Dan malam itu, dalang legendaris itu menyajikan satu lakon langka: Puntadewa Bertemu Sunan Kalijaga.

 

Ini bukan sekadar tafsir baru dalam dunia pedalangan. Lakon ini merupakan jembatan batin antara dunia pewayangan Mahabharata dan spiritualitas Jawa Islam. Di dalamnya tersirat kritik sosial, pembacaan ulang terhadap kekuasaan, dan renungan panjang soal jati diri bangsa.

 

Dalam lakon tersebut, Puntadewa digambarkan tengah resah. Sebagai raja suci dari Hastinapura, ia mengalami kegelisahan akibat keretakan moral bangsawan dan penderitaan rakyat. Ia merasa kehilangan arah, tak tahu lagi bagaimana memimpin tanpa menjadi tiran. Maka, ia bertapa di lereng gunung. Di tengah heningnya laku spiritual itu, datanglah sosok misterius: Sunan Kalijaga.

 

Pertemuan antara Puntadewa dan Kalijaga adalah metafora pertemuan dua zaman: dunia Hindu-Jawa klasik dan dunia Islam-Nusantara. Namun Ki Manteb tidak menyuguhkan benturan. Ia menampilkan dialog: Sunan Kalijaga tak datang untuk menggantikan Puntadewa, melainkan untuk menyadarkannya.

 

"Panjenengan mencari Kalimasada, tapi lupa isinya" ujar Kalijaga dalam satu adegan.

 

Ucapan itu menghentak. Kalimasada selama ini diyakini sebagai pusaka sakti keluarga Pandawa. Namun Kalijaga menjelaskan bahwa Kalimasada bukan benda, bukan jimat bertuliskan aksara rahasia, melainkan tata nilai: kejujuran, welas asih, kearifan, dan keberpihakan pada yang lemah.

 

Dalam tangan Kalijaga, Kalimasada diartikan sebagai "kalimat sakti" yang sejatinya adalah pedoman hidup. Sebuah jimat nilai, bukan jimat kekuasaan. Sebuah pedoman spiritual yang menggabungkan ajaran budaya dan agama dalam kesadaran kemanusiaan.

 

Lakon ini tidak berdiri di ruang kosong. Dalam kebudayaan Jawa, Kalimasada sering dihubungkan dengan kalimat syahadat. Namun Ki Manteb menawarkan pembacaan yang lebih luas: Kalimasada sebagai simbol kearifan lokal Nusantara, tempat Islam hadir bukan sebagai penakluk, tapi sebagai pengayom. Dalam lakon ini, nilai-nilai Islam dibumikan lewat cara yang halus: tembang, suluk, dan sabda dalang.

 

Ketika Kalijaga berbicara kepada Puntadewa, ia tidak menguliahi, tetapi menembang. Ia tidak menunjukkan kitab, tetapi menunjukkan perilaku. Nilai yang disampaikan bukan melalui doktrin, melainkan laku. Ki Manteb merajut semua ini dengan begitu halus sehingga yang tersisa dalam benak penonton bukan debat agama, melainkan rasa damai.

 

Maka tak heran jika dalam pertunjukan ini, Kalimasada juga dibaca sebagai metafora dari Pancasila. Lima sila dasar negara, dalam lakon ini, terasa seperti resonansi nilai Kalimasada. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan semua itu adalah "sabda" yang harus dibaca dalam hati, bukan hanya diucapkan di podium.

 

Namun di balik filsafat itu, Ki Manteb juga menyisipkan kritik sosial yang tajam. Puntadewa mengeluh bahwa kini para penguasa saling berebut tahta, bukan untuk mengabdi, melainkan untuk memperkaya diri. Kalijaga tidak menyalahkan, hanya tersenyum dan berkata: "Yang kau cari di luar, sudah lama ditinggalkan di dalam."

 

Sindiran ini jelas. Bahwa hari ini, banyak pemimpin mencari legitimasi dari simbol, dari narasi besar, dari klaim warisan sejarah. Namun lupa bahwa yang paling penting adalah isi. Banyak orang bicara soal Kalimasada, namun sedikit yang membaca isinya. Banyak yang mengangkat nama rakyat, namun tak mendengarkan jeritan mereka.

 

Ki Manteb seperti mengingatkan: penguasa tanpa laku hanyalah wayang yang kehilangan dalang. Pemerintahan tanpa nilai hanyalah pertunjukan kosong yang menunggu roboh. Dalam dunia yang makin gaduh oleh polarisasi politik, ujaran kebencian, dan perebutan panggung, lakon ini menjadi suluh batin.

 

Refleksi Transisi Zaman: Dari Pewayangan Hindu-Jawa ke Spiritualitas Islam Nusantara

Lakon Puntadewa Bertemu Sunan Kalijaga menyajikan sebuah transisi besar antara dua dunia yang berbeda: Hindu-Jawa klasik dan Islam Nusantara. Ini bukan sekadar pertemuan dua tokoh besar, namun juga sebuah simbol dari pergeseran zaman, dari ajaran-ajaran yang berakar pada mitologi Hindu-Budha menuju pengaruh Islam yang menyebar dengan cara yang sangat khas Nusantara.

 

Dalam konteks ini, Puntadewa yang merupakan raja suci dari Hastinapura, digambarkan mengalami kebingungannya terhadap keadaan bangsawannya yang semakin korup. Di tengah kegelisahan ini, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga, seorang tokoh spiritual yang bukan hanya membawa ajaran agama, tetapi juga menawarkan kebijaksanaan yang memadukan nilai-nilai lokal dengan ajaran Islam.

 

Transisi ini mencerminkan bagaimana Islam, yang datang ke Nusantara, tidak memaksakan diri sebagai kekuatan yang menggantikan, melainkan hadir untuk menuntun dan memberi pencerahan, menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan baru tanpa melupakan budaya dan kearifan lokal. Kalimasada, yang pada awalnya dipahami sebagai benda atau pusaka sakti, kini diperkenalkan sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang lebih universal. Bukan lagi sekadar jimat kekuasaan, tetapi pedoman hidup yang mendalam dan relevan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Ketika Kalijaga berbicara kepada Puntadewa, ia tidak menguliahi, tetapi menembang. Ia tidak menunjukkan kitab, tetapi menunjukkan perilaku. Nilai yang disampaikan bukan melalui doktrin, melainkan laku. Ki Manteb merajut semua ini dengan begitu halus sehingga yang tersisa dalam benak penonton bukan debat agama, melainkan rasa damai.

 

Pesan Kebangsaan dalam Laku dan Makna

Lakon Puntadewa Bertemu Sunan Kalijaga sejatinya adalah lakon tentang kita. Tentang bangsa yang kaya akan simbol dan jimat, tetapi sering lupa makna. Tentang rakyat yang gemar menonton wayang, tapi kadang lupa bercermin dari tokohnya. Tentang pemimpin yang mendaku dirinya titisan Pandawa, tapi tak pernah bertapa untuk rakyatnya.

 

Lakon ini bukan nostalgia, tapi peringatan. Dalam dunia digital yang cepat, dalam ruang publik yang gaduh, lakon ini menawarkan pelambatan. Ia tidak memburu trending topic. Ia menunggu penonton merenung.

 

Dalam bingkai naratif itu, Ki Manteb juga menyisipkan wasiat kebangsaan. Ketika Kalijaga menyerahkan kembali Kalimasada kepada Puntadewa, ia berkata, "Kekuasaan sejati adalah kemampuan menjaga sesama tetap utuh, meski dirimu remuk." Kalimat itu menusuk, menjadi renungan di tengah politik yang semakin transaksional. Apakah kita hari ini masih memiliki pemimpin yang rela remuk demi menjaga rakyatnya utuh?

 

Ki Manteb bukan sekadar dalang. Ia adalah penggali makna. Lewat sabetan wayangnya, ia menegaskan bahwa kebudayaan bukan pelarian, tapi perlawanan. Bahwa wayang bukan tontonan kosong, tapi media perenungan yang dalam. Dalam tangannya, lakon menjadi nyanyian bangsa yang tak ingin kehilangan arah.

 

Kini Ki Manteb sudah tiada. Namun lakon ini, bersama banyak lakon lainnya, menjadi warisan tak ternilai. Ia adalah narasi alternatif tentang kepemimpinan, budaya, dan kebangsaan. Ia mengingatkan kita bahwa jalan menuju Indonesia yang adil dan beradab bukan hanya lewat pembangunan fisik, tapi juga pembangunan batin.

 

Kalimasada bukan benda. Ia adalah pesan. Pesan yang dititipkan lewat laku. Dan laku itulah yang kini sedang diuji, hari demi hari, di negeri yang katanya sudah merdeka.

 

Siapa yang hari ini memegang Kalimasada? Apakah mereka para pemimpin negeri, atau para pedagang mimpi? Siapa yang hari ini meneladani Kalijaga? Apakah mereka yang berteriak paling keras, atau yang berjalan paling sunyi?

 

Panggung sudah disiapkan. Kelir sudah terbentang. Kini giliran kita memutuskan: akan menjadi wayang yang mencari makna, atau sekadar bayangan kosong yang digerakkan nafsu.

 

H Wahyu Iryana, Wakil Ketua Lakpesdam PWNU Lampung.