Al-Qur’an sebagai sumber utama dan dilanjutkan hadits sebagai sumber kedua yang merespon Al-Qur’an sebagai bayan al-tafsir (penjelas), bayan al-ta’kid (penguat), dan bayan al-tasyri’ (syari’ah baru yang tidak tercover dalam Al-Qur’an).
Setelah proses kenabian selesai, artinya setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, maka para mujtahid menyepakati adanya dalil ijma’ dan qiyas sebagai dalil yang disepakati.
Dengan semakin berkembangnya masyarakat Islam hingga menyebar ke beberapa wilayah luar Arab, hingga para mujtahid dibenturkan dengan permasalahan yang lebih kompleks, maka pada abad ketiga dan keempat beriringan pula dengan lahirnya ilmu usul fiqih yang ditulis oleh Abu Hanifah.
Kemudian secara keilmuan diteruskan oleh Imam al-Syafi’i, hingga periode setelahnya, maka lahirlah beberapa dalil-dalil hukum yang beragam, seperti istihsan, istishab, istishlah, sadd al-dzari’ah, urf, syar’u man qablana, qaul qadim, dan jadid.
Maka pada priode-priode setelahnya lahirlah teori maqashid al-syari’ah. Begitulah para Imam madzhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Malik telah berkontribusi terhadap solusi hukum dengan dalil dan teori serta kaidah-kaidah yang digagasnya, yang kemudian dalil itulah yang disebut dalil mukhtalif.
Pada periode jauh setelahnya lahirnya pemikir baru seperti Imam Al-Ghazali, Abu Ishaq al-Syatibi, hingga Najamuddin al-Tufi, dan muncullah para mujtahid pada generasi ke generasi hingga hari ini.
Pada naskah ini, penulis menawarkan teori Al-Narajil sebagai metode untuk menganalisis persoalan hukum yang terjadi pada era kontemporer. Penalaran Al-Narajil yang ditawarkan di sini adalah, bahwa lapisan paling luar pada kelapa menunjukkan bahwa Al-Qur’an bersifat umum, global, dan universal.
Pada lapisan kedua pada kelapa terdapat lapisan yang sangat tebal yang disebut dengan serabut yang banyak, menunjukkan bahwa hukum Islam yang komprehensif dapat dipahami dengan banyak pendekatan.
Melalui hadits misalnya bayan al-tafsir (penjelas), bayan al-ta’kid (penguat), dan bayan al-tasyri’ (syari’ah baru yang tidak terdapat penjelasan hukum dalam Al-Qur’an).
Mengutip teori Khairudin Nasution, bahwa perubahan hukum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu intra doctrinal reform dan intra doctrinal reform.
Kemudian pada lapisan ketiganya pada kelapa terdapat lapisan yang tebal yaitu tempurung kelapa yang menunjukkan bahwa mujtahid itu bukanlah sembarangan, dia harus menguasai ilmu dapat ijtihad dengan benar, baik bahasa Arab, ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, mantiq, balaghah dan lainnya. Sehingga dengan kualitas mujtahid yang mumpuni, akan dapat menghasilkan produk hukum (fiqih) yang progresif.
Sedangkan lapisan paling dalam adalah kelapa dan air, menunjukkan bahwa Nash dan Sains dapatlah diintegrasikan selama dilakukan dengan metode yang benar, oleh orang yang kompeten dan tidak keluar dari tujuan hukum yaitu li jalbi al-mashalih wa li daf’i al-mafasid (mengambil kemaslahatan dan meniadakan kemudharatan.
Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung