Warta

Ini yang Harus Diperhatikan saat Diberi Amanah menjadi Pengurus NU

Sabtu, 12 April 2025 | 19:02 WIB

Ini yang Harus Diperhatikan saat Diberi Amanah menjadi Pengurus NU

Organisasi Nahdlatul Ulama. (Foto: Istimewa)

Pringsewu, NU Online Lampung

Menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (NU) termasuk Badan Otonom dan juga Lembaga NU bukan sekadar gelar atau posisi yang dibanggakan, melainkan amanah besar yang harus dijalankan dengan kesungguhan hati. Pengurus NU harus aktif mengurus, menghidupkan, dan mengembangkan organisasi, bukan justru menjadi beban atau penyebab stagnasi dan kemunduran.

 

“Pengurus harus ngurusi, bukan malah membuat NU kurus atau malah jadi urusan,” kata Ketua PCNU Pringsewu H Muhammad Faizin saat berbicara tentang maksimalisasi Jamiyyah untuk kemaslahatan umat, Sabtu (12/4/2025).

 

NU sebagai organisasi keagamaan dan sosial terbesar di Indonesia, katanya memiliki peran vital dalam membina umat, menjaga tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, serta memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. 

 

Namun, semua itu ungkapnya tidak akan berjalan maksimal bila para pengurusnya hanya menikmati nama besar NU tanpa kerja nyata.

 

“Ngurusi NU berarti melayani, bukan dilayani. Fungsi utama pengurus adalah melayani umat dan organisasi. Itu berarti, pengurus harus hadir dalam setiap persoalan yang dihadapi warga NU, baik dalam pendidikan, sosial, ekonomi, hingga advokasi hak-hak keumatan,” ungkapnya.

 

Ia mengajak kepada pengurus NU untuk tidak menjadikan jabatan pengurus sebagai kendaraan untuk meraih kepentingan pribadi.

 

“Ngurusi berarti aktif membuat program, menjaga komunikasi dengan masyarakat, dan menghadirkan solusi. Bila pengurus tidak ngurusi, maka yang terjadi adalah NU menjadi ‘kurus’—lemah gerakannya, minim kegiatan, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan ruh perjuangan,” ungkapnya.

 

Organisasi besar seperti NU, menurutnya membutuhkan pengurus yang ikhlas dan inovatif. Keikhlasan menjadi pondasi moral, sedangkan inovasi menjadi energi penggerak agar NU tetap relevan di tengah perkembangan zaman. 

 

“Mulai dari memajukan pendidikan pesantren, penguatan ekonomi umat, hingga merespons tantangan digital, semuanya memerlukan pengurus yang responsif dan adaptif,” ungkapnya.

 

Menjadi pengurus NU juga menurutnya adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan warga NU, tapi juga di hadapan Allah. Maka penting bagi setiap pengurus untuk melakukan evaluasi diri.

 

“Sudahkah saya benar-benar mengurus NU? Sudahkah keberadaan sata membawa kemanfaatan atau justru menjadi beban? Penting bagi pengurus untuk meneguhkan kembali komitmen bahwa jabatan bukanlah kehormatan, tapi ladang pengabdian,” katanya.

 

Hal ini senada dengan pernyataan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf beberapa waktu lalu di Jawa Timur. Gus Yahya menegaskan bahwa menjadi pengurus NU bukanlah ajang mencari popularitas, kekuasaan, apalagi sensasi.

 

“Jadi, kita ber-NU itu awalnya perlu bertanya, kita itu mau apa?” katanya.

 

Gus Yahya berpesan agar setiap pengurus NU kembali pada semangat awal para muassis (pendiri NU) yang berikhtiar untuk kemaslahatan umat secara luas, bukan hanya kelompok tertentu.

 

“Saya sendiri sudah mendedikasikan diri untuk menjadi tukang masak yang dirasakan enak bagi siapapun, meski selera beda-beda. Sebagai tukang masak, saya membangun konsolidasi yang jadi, tata kelola yang lebih baik. Yang penting, orang jam’iyah atau organisasi ya berperilaku jam’iyah atau prosedural,” tegasnya.