• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Syiar

Sabar Tidak Hanya dalam Menghadapi Musibah

Sabar Tidak Hanya dalam Menghadapi Musibah
foto ilustrasi (popbela.com)
foto ilustrasi (popbela.com)

KITA umat muslim selalu diajarkan oleh Rasulullah untuk selalu bersabar dalam menghadapi segala sesuatu. Namun kebanyakan di masyarakat sabar itu identik dengan ketika menghadapi musibah, seperti kabar meninggal, bencana banjir, tsunami, tanah longsor, dan lain-lain.

 

 
Ini yang musti diluruskan dan dipahami. Sabar tidak hanya identik dengan musibah melainkan berkaitan juga dengan hal lainnya.  

 

Sabar sendiri merupakan suatu sikap menerima segala sesuatu dengan lapang dada, meski sangat bertentangan dengan hati nurani. Bersabar membutuhkan mental jiwa yang kuat, matang, dan dewasa. Hal itu hanya bisa dicapai bila seorang manusia mengetahui hakikat ridho, bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta merupakan kehendak Allah, tanpa terkecuali.

 

Lalu dalam bentuk apa saja, sabar bisa diterapkan, atau seorang manusia harus bersikap sabar terhadap sesuatu tersebut. Dalam dunia tasawuf atau sufi, sabar diterapkan dalam tiga komponen.

 

Pertama, sabar dalam melaksanakan ibadah. Kita tahu, untuk menjalankan ibadah butuh kesabaran yang maksimal. Meski ibadah merupakan suatu tuntunan yang harus dilaksanakan seperti shalat 5 waktu, atau seorang sufi bisa melaksanakan ibadah sudah tidak dengan paksaan, namun karena rasa cinta kepada Tuhan. Namun semua itu butuh proses berlatih kesabaran terlebih dahulu.  

 

Bagi umat muslim yang maqamnya masih menjalankan ibadah karena kewajiban atau rasa takut akan siksa neraka, lebih seringnya melaksanakan ibadah dengan rasa berat dan terpaksa.

 

Ada yang shalat fardhunya satu hari satu malam hanya tiga waktu saja, ada yang satu, bahkan ada yang tidak sama sekali, padahal mereka umat Islam. Kasus tersebut menandakan bahwa menjalankan ibadah juga harus membutuhkan kesabaran, karena kalau kita tidak sabar maka kita tidak akan pernah mau dan mampu melaksanakan ibadah tersebut.  

 

Ibadah puasa ramadhan selama 30 hari juga membutuhkan kesabaran. Menahan makan, minum dan syahwat mulai dari terbitnya mata hari sampai tenggelam, merupakan aktivitas yang menguras segalanya, dan semua itu membutuhkan mental yang sabar.

 

Begitu juga dengan ibadah haji yang membutuhkan kesabaran menabung uang, kesabaran berpisah dengan keluarga, dan sabar menghadapi cuaca padang pasir yang sangat berbeda dengan tanah kelahiranya.

 

Kedua, sabar dalam meninggalkan maksiat. Meninggalkan maksiat bukan suatu hal yang mudah, butuh kesabaran, apalagi bagi yang sudah terjerumus ke dalamnya,  membutuhkan proses yang panjang untuk sembuh dari kecanduan maksiat tersebut.

 

Secara naluri maksiat memang terlihat nikmat seperti berzina, meminum khamr, mencuri, merampok, memakan babi dan sebagainya. Memang berat menghindari perbuatan tersebut, dan membutuhkan latihan jiwa yang serius dalam kesabaran.

 

Seorang ulama sufi pernah berkata, “Seshalih-shalihnya seorang pria, jika berduaan dengan lawan jenis, banyak yang terjerumus ke dalam bisikan syetan”.

 

Sering juga kita bisa bersabar dan menghindar dari suatu maksiat ketika sedang dalam keadaan ramai, namun belum tentu kita bisa sabar dan menjaga dari maksiat ketika sendiri dan sedang sepi. Ini menunjukkan bahwa menghindari maksiat sangat dibutuhkan suatu sikap kesabaran.

 

Ketiga sabar dalam menghadapi musibah. Merupakan bentuk kesabaran yang sudah menjadi keyakinan mayoritas umat muslim sejak dahulu. Memang hidup di dunia itu paradoks atau bermuka dua. Ada bahagia dan ada sedih, semua itu sudah menjadi suratan takdir-Nya. Tinggal bagaimana manusia mensikapi hal tersebut, apakah dengan kesabaran dan tabah atau malah dengan sumpah serapah.

 

Semua dikembalikan kepada kita, darimana dan seperti apa jiwa kita dididik dan ditempa. Jika ditempa dengan ilmu ridho, ikhlas dan menerima takdir baik dan buruk atas kehendak-Nya, maka kita akan lebih banyak bersabar dan beristighfar daripada mengeluh, mengomel dan tidak terima dengan takdir yang menimpanya, maka jiwanya akan selalu tersakiti selama dia tidak merubah keyakinan dan pola pikirnya.

 

Dari ketiga hal di atas, semuanya sama-sama memiliki kekuatan yang menggoncang jiwa, tinggal bagaimana kita bersiklap sabar terhadap ketiganya.

 

(Yudi Prayoga/ Alumni Ponpes Al Wafa, Cibiru Hilir, Bandung)


Syiar Terbaru