Syiar

Hukum Mengambil Harta yang Terbawa Banjir

Jumat, 9 Mei 2025 | 07:03 WIB

Hukum Mengambil Harta yang Terbawa Banjir

Mengambil harta yang terbawa banjir (Foto: NU Online)

Bencana banjir masih kerap terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti di Kota Bandar Lampung. Bila hujan sedikit deras, maka daerah tersebut langsung terendam banjir.

 

Selain merusak rumah, lahan pertanian, dan fasilitas umum, banjir juga sering kali membawa barang-barang milik warga yang terbawa arus deras, seperti kendaraan, rumah, perabotan, dan sebagainya.

 

Tidak sedikit warga, jika ada barang yang hanyut dan masih bagus, maka akan mengambilnya. Sebenarnya, bagaimana hukumnya mengambil barang karena terbawa arus banjir tersebut.

 

Perlu diketahui bahwa status barang yang terbawa banjir adalah malun dloi' (harta yang terlantar). Sebagaimana dalam kitab Syarah Yaqut Nafis halaman 506, Sayyid Muhammad Bin Ahmad Bin Umar Asy Syathiri, menyebutkan:

 

وَذَكَرَ الْعُلَمَاءُ فِيْ الْمَالِ الَّذِيْ يَحْمِلُهُ السَّيْلُ ثُمَّ يُلْقِيْهِ بِأَرْضِ إِنْسَانٍ قَالُوْا إِنَّهُ مَالٌ ضَائِعٌ

 

Artinya: Ulama menyebutkan bahwa harta yang terbawa banjir lalu terdampar di tanah seseorang, maka statusnya adalah harta yang terlantar (Sayyid Muhammad Bin Ahmad Bin Umar Asy Syathiri, Syarah Yaqut Nafis, halaman 506).

 

Karena statusnya harta yang terlantar, bila tidak diketahui pemiliknya, misalnya warga desa tidak ada yang bisa membuktikan kepemilikan terhadap barang tersebut, maka harus dialokasikan untuk kepentingan umum sebagaimana pengalokasian harta di baitul maal (bila ada).

 

Imam Abdurrohman Bin Muhammad Bin Husein dalam Bughyatul Mustarsyidin halaman 330, mengatakan:

 

فَإِنْ اَيِسَ مِنْ مَعْرِفَةِ مَالِكِهِ صُرِفَ مَصْرَفَ بَيْتِ الْمَالِ

 

Artinya: Apabila sudah tidak dapat mengetahui pemiliknya, maka penggunaannya sebagaimana baitul maal (Imam Abdurrohman Bin Muhammad Bin Husein, Bughyatul Mustarsyidin, halaman 330).

 

Senada dengan sebelumnya, bahwa harta tersebut harus diserahkan kepada kas negara, adalah sebagaimana pendapat dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal ala Syarhi Al-Minhaj halaman 602:

 

   وقع السؤال في الدرس عما يوجد من الأمتعة والمساغ في عش الحدأة والغراب ونحوهما ما حكمه والجواب الظاهر أنه لقطة فيعرفه واجده سواء كان مالك النحل أم غيره ويحتمل أنه كالذي ألقته الريح في داره أو حجره__أنه ليس بلقطة ولعله الأقرب فيكون من الأموال الضائعة أمره لبيت المال. الجمل ٣/ ٦٠٢  

 

Artinya: Terdapat pertanyaan mengenai penelitian tentang harta yang ditemukan pada sarang burung rajawali dan burung gagak atau semisalnya. Apa hukumnya? Jawabannya adalah bahwa yang jelas itu adalah (sebagaimana hukumnya) barang temuan. Maka penemuanya harus memberitahukan kepada pemiliknya, baik itu harta pemberian orang yang menemukan atau bukan. Termasuk (terdapat pertanyaan) di antaranya adalah sesuatu yang dibawa oleh angin di ke rumahnya atau kamarnya, bahwa hukumnya adalah bukan (sebagaimana) barang temuan kemungkinan paling mendekati harta tersebut adalah sebagaimana hukum harta yang hilang. Harta itu diserahkan ke baitul mal (kas negara sebagai penerimaan negara non-pajak) (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal ala Syarhi Al-Minhaj, juz 3, halaman 602).

 

Namun dalam kitab Syarah Yaqut An Nafis, ditemukan pendapat dari Imam Hasan Bashri yang mengatakan bahwa bila seseorang menemukan barang yang terbawa banjir, maka boleh memilikinya bila memang pemiliknya tidak diketahui:

 

لَكِنَّ الْغَرِيْبَ أَنَّ الْحَسَنَ الْبَصْرِيَّ يَقُوْلُ مَنْ وَجَدَهُ وَلَمْ يَعْرِفْ مُسْتَحِقَّهُ يَمْلِكُهُ

 

Artinya: Pendapat yang ghorib (aneh), diutarakan oleh Imam Hasan Bashri: barang siapa yang menemukannya (harta yang terbawa banjir) dan tidak diketahui pemiliknya, maka dia bisa memilikinya."  Sehingga bila berpijak pada pendapat ini, masyarakat boleh berebut mengambil. Dengan melihat pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status harta yang terbawa banjir adalah harta yang terlantar, sehingga tidak boleh masyarakat berebut mengambilnya, sebab harus dialokasikan sebagaimana harta yang ada pada baitul maal, yaitu untuk kepentingan umum.

 

Sama dengan redaksi di atas, jika pemilik barang yang sama masih berharap bisa menyelamatkan barang-barangnya atau berusaha untuk mengambilnya kembali setelah banjir reda, maka barang tersebut tetap menjadi miliknya:

 

 أَمَّا مَا أَلْقَاهُ الرِّيحُ فِي دَارِكَ أَوْ حُجْرِكَ فَلَيْسَ لُقَطَةً بَلْ مَالٌ ضَائِعٌ، وَكَذَا مَا حَمَلَهُ السَّيْلُ إِلَى أَرْضِكَ، فَإِنْ أَعْرَضَ عَنْهُ مَالِكُهُ كَانَ مِلْكًا لَكَ لَا لُقَطَةً، وَإِنْ لَمْ يُعْرِضْ فَهُوَ لِمَالِكِهِ.

 

Artinya: Adapun yang terbawa oleh angin ke rumahmu atau tempatmu, maka itu bukanlah luqathah (barang temuan), melainkan harta yang hilang. Begitu pula sesuatu yang terbawa oleh banjir ke tanahmu, jika pemiliknya telah meninggalkannya (i'radh), maka itu menjadi milikmu, bukan luqathah. Namun, jika pemiliknya tidak meninggalkannya, maka itu tetap menjadi milik pemiliknya (Muhammad bin Muhammad Al-Khatib As-Syarbini, Al Iqna’ Li Alfadzi Abi Syuja’, juz 2 halaman 89).