Oleh: Dr. Abdul Syukur, M.Ag
Puasa dalam bahasa Arab diartikan Shiyam (صيام) disebut delapan kali dalam Al Quran, dan Shaum (صوم) disebut satu kali.
Secara etimologis, kata puasa berarti menahan (امساك) atau mencegah (منع). Secara terminologis, fiqih berarti menahan tidak makan, minum dan jima' (berhubungan suami istri), sejak fajar hingga terbenamnya mata hari.
Tidak boleh makan, minum, dan jima' ini merupakan perintah wajib. Intinya diharamkan atas tiga hal tadi sejak fajar hingga terbenamnya matahari. Berbeda hal jika sudah masuk waktunya berbuka, maka semuanya menjadi halal. Bahkan Islam membolehkan umatnya sahur dalam keadaan hadats besar (karena bersetubuh) dan belum sempat mandi. Hanya saja makan, minum dan aktivitas apapun dalam keadaan hadats besar hukumnya makruh, kecuali jika sudah berwudhu maka hukumnya menjadi mubah.
Makan dan minum ketika puasa atau terkenal dengan istilah mokel, maka harus mengqadha (mengganti) puasa tersebut di bulan Syawal dan bulan-bulan setelahnya. Jika mokelnya 4 hari, maka harus diganti dengan 4 hari juga. Akan tetapi jika kasusnya bersetubuh di bulan puasa, meski dengan istrinya sendiri, maka hukumnya adalah kafarat, dengan puasa selama 2 bulan berturut-turut, tanpa putus. Karena jima’ pada waktu berpuasa hukumnya haram.
Baca Juga
Puasa Mengajarkan Untuk Berlaku Bijak
Banyak hikmah yang terkandung di dalam pelarangan makan, minum dan bersenggama ketika sedang berpuasa. Kesemuanya tadi berkaitan dengan yang namanya hawa nafsu. Maka jika seorang bisa mengendalikan hawa nafsunya, Allah akan memberikan pahala yang berlipat. Minimal ketika puasa dalam keadaan lemas, karena nafsu tidak dipasok atau diberi makan, maka akan melaksanakan maksiatpun akan sedikit berkurang atau justru tidak bernafsu untuk bermaksiat.
Memang ketika badan lemas, lesu bawaannya akan selalu ingin tidur. Islam tidak melarang tidur terus karena lemas ketika berpuasa karena tidur dalam keadaan puasa tetap dihitung sebagai ibadah. Tidur meninggalkan maksiat itu lebih utama dari pada terjaga. ketika satu hari terbebas dari maksiat, maka yang tersisa hanya ibadah dan limpahan pahala yang dilipat gandakan.
Setelah puasa Ramadhan menjadi sempurna karena mencegah nafsu dan syahwat, maka derajat orang yang berpuasa dari mukminin meningkat menjadi muttaqin, dan terus meningkat menjadi muhsinin. Dan orang yang mampu terbebas dari hawa nafsu, maka tergolong orang-orang yang bahagia (من الفائزين) di dunia dan di akherat kelak. Wallahu A' lam Bish shawab.
Baca Juga
Puasa dan Kesalehan Digital
Penulis adalah Ketua MUI dan Wakil PWNU Lampung
Terpopuler
1
Perkuat Konsolidasi Organisasi, MWCNU Pringsewu Gelar Turba
2
Ubah Generasi Strawberry Jadi Kelapa, Ketua PCNU Pringsewu: Pesantren Tempatnya!
3
Gelar Musker, Ranting NU Bandungbaru Adiluwih Tajamkan Program untuk Wujudkan Target
4
Ini Khasiat Alysha, Sabun Herbal Produk UMKM Mitra Binaan LAZISNU Pringsewu
5
Kolaborasi Assahil–Madani: Menuju Pesantren Mandiri dengan Kaderisasi Akuntansi
6
Lampung-In, Aplikasi Pintar untuk Warga Lampung yang Aktif dan Peduli, Diluncurkan
Terkini
Lihat Semua