• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Syiar

Puasa dan Kesalehan Digital

Puasa dan Kesalehan Digital

Puasa dan Kesalehan Digital

Oleh: Rudy Irawan, S.PdI, M.S.I *)

SELAIN dalam aneka tradisi lama, dewasa ini Ramadhan juga dinikmati dalam banyak tradisi baru. Penetrasi internet dan telepon selular yang makin luas telah mendorong tumbuhnya apa yang disebut sebagai generasi digital.

Selain memiliki kehidupan nyata, generasi ini juga sangat aktif sebagai warga dunia maya. Di satu sisi, teknologi ikut menguatkan eksistensi agama dan memudahkan pemeluknya memahami serta menjalankan pesan-pesan agama.

Saat puasa, silaturahmi yang dianjurkan agama lebih gampang dilakukan lewat situs jejaring sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter dan akun media sosial lainnya.

Namun demikian, perlu juga kita ketahui sisi gelap dari internet. Dimana di dalamnya banyak menimbulkan kemungkaran baru seperti akses illegal, penipuan identitas pelanggaran hak cipta hingga cyberterrorism. Bahkan melalui era digital/internet akan lebih banyak menghasilkan sikap intoleransi, mencaci dan tidak sedikit menebar kebencian dengan unsur-unsur SARA.

Pada titik ini, momentum puasa Ramadhan tentu saja tidak sekedar dinikmati namun ia selalu diharapkan dapat menuntaskan berbagai masalah kemanusiaan kita, baik yang lama maupun yang baru, terutama masalah pandemi Covid-19 yang saat ini sedang melanda seluruh dunia khususnya Indonesia.

Online Religion

Perkembangan internet mengalami percepatan sejak pertengahan 1990-an. Vatikan meluncurkan website resmi pada 1995 (www.vatican.va), dan ketika itu Paus Paulus II menyebut potensi internet sebagai new evangelization.

Di Indonesia Muhammadiyah lebih awal memiliki website (1997), lalu diikuti Nahdlatul Ulama (1999). Dari sekian banyak website keagamaan di internet, Christoper Helland (2000) membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu sebatas penyedia informasi (religion online) dan menawarkan informasi plus interaktivitas (online religion).

Saat ini model yang pertama sudah ketinggalan zaman, internet kini dibanjiri oleh situs-situs dengan platform user-generated content. Di sini seorang pengguna internet berperan sebagai konsumen sekaligus produsen informasi. Berbagai perkembangan tersebut menggiring pada sejumlah impilikasi.

Pertama, generasi internet memiliki caranya sendiri dalam mencari, memahami dan mengekspresikan faham keagamaan. Kedua, makin horizontal dan interaktif web, akan semakin kuat membetot perhatian public internet. Karena itu organisasi keagamaan memersepsi internet sebatas media informasi vertical, akan semakin cepat kehilangan pengaruh pada generasi millennial/digital.

Ketiga, internet banyak berfungsi sebagai “pasar bebas” tempat bertemunya spiritual entrepreneur dan religious seekers. Pada level tertentu seperti yang dikatakan oleh Anthony Bergin (2009), internet juga menjadi platform radikalisasi paham keagamaan.

Kesalehan Digital

Banyak pihak yang mengkhawatirkan generasi digital/generasi millennial yang lahir setelah 1980-an hanya akan menjadi generasi yang kecanduan internet, malas membaca, bodoh, asocial dan hobi berbagi konten illegal. Di balik kecemasan terkadang stigmatis itu, generasi digital/millennial justru menampilkan kesalehan dalam bentuk yang baru.

Pertama, semangat gotong royong masih eksis, tapi bentuknya berganti menjadi kolaborasi dalam skala besar melibatkan puluhan ribu hingga jutaan orang. Dalam dunia bisnis, Don Tapscott (2006) menyebutnya sebagai era wikinomics.

Kedua, merebaknya situs jejaring sosial bisa digunakan ajang pemersatu dalam melawan terror – seperti Indonesia Unite – justru bergulir kencang dari sana. Ketiga, di bulan Ramadlan ini justru kaum digital/millenial berlomba-lomba menanam kebaikan di internet seperti dengan menulis artikel yang bisa dimanfaatkan dengan pengguna internet yang lain. Sehingga dengan mesin pencari mampu mencatat serta mempertemukan semua amal kebaikan pengguna internet.

Meski demikian, kesalehan digital bukan berarti tanpa tantangan terutama di bulan puasa ini. Akrab dengan internet berarti sangat menyita waktu, bisa mengendurkan produktivitas, dan dalam derajat tertentu bisa berpotensi menyisihkan waktu untuk menjalankan ritual agama seperti lalai dalam sholat karena saking asyiknya sehingga melaksanakan sholat diakhir-akhir waktu, tak sempat melakukan Tilwah Qur’an meskipun hanya satu lembar dari setiap surat dalam Al Qur’an  , enggan untuk berzikir dan lain sebagainya.

Namun demikian, akal persoalannya sering kali bukan pada teknologi, tetapi lebih pada persoalan manajerial (managerial problem), yaitu rendahnya kemampuan membagi waktu dan membuat skala prioritas. Disinilah relevansinya puasa, dengan puasa seorang muslim diajak menahan diri (imsak) dari perkara legal seperti makan dan minum. Harapannya dengan digital akan dapat lebih memiliki kekuatan dan mampu menjauhkan diri dari hal-hal berlebihan, karena diisi dengan memanfaatkan digital demi kebaikan selama Ramadhon. Wallahua’lam.

*) Penulis adalah Dosen UIN Raden Intan,Wakil Ketua PCNU Kota Bandar Lampung, Sekretaris Komisi Seni Budaya Islam MUI Lampung


Editor:

Syiar Terbaru