Syiar

Demi Mencari Nafkah, Bolehkah Pekerja Berat Tidak Berpuasa?

Jumat, 7 Maret 2025 | 06:31 WIB

Demi Mencari Nafkah, Bolehkah Pekerja Berat Tidak Berpuasa?

Berikut ketentuan bagi parapekerja berat untuk boleh tidak berpuasa (Ilustrasi: NU Online)

Puasa Ramadhan merupakan ibadah wajib bagi semua umat Muslim, karena salah satu rukun dalam syariat Islam. Jika umat Islam tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dihukumi haram dan berdosa.

 

Akan tetapi apakah ada keringanan bagi golongan tertentu untuk tidak berpuasa, contohnya seperti para pekerja berat yang sangat mengandalkan tenaga ototnya?

 

Terkait para pekerja berat, seperti kuli bangunan, kuli angkut, atau buruh tani, yang sedang bekerja mencari nafkah, Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karim mengatakan:

 

ويلزم أهل العمل المشق  في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية ثم من لحقه منهم مشقة شديدة أفطر، وإلا فلا. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره والمتبرع وإن وجد غيره، وتأتي العمل لهم العمل ليلا كما قاله الشرقاوي. وقال في التحفة إن لم يتأت لهم ليلا، ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه علي فطره جاز له، بل لزمه عند وجود المشقة الفطر، لكن بقدر الضرورة. ومن لزمه الفطر فصام صح صومه لأن الحرمة لأمر خارج، ولا أثر لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر.

 

Artinya: Ketika memasuki Ramadhan, pekerja berat seperti buruh tani yang membantu penggarap saat panen dan pekerja berat lainnya, wajib memasang niat puasa di malam hari. Kalau kemudian di siang hari menemukan kesulitan dalam puasanya, ia boleh berbuka. Tetapi kalau ia merasa kuat, maka ia boleh tidak membatalkannya. Tiada perbedaan antara buruh, orang kaya, atau sekadar pekerja berat yang bersifat relawan. Jika mereka menemukan orang lain untuk menggantikan posisinya bekerja, lalu pekerjaan itu bisa dilakukannya pada malam hari, itu baik seperti dikatakan Syekh Syarqawi. Mereka boleh membatalkan puasa ketika pertama mereka tidak mungkin melakukan aktivitas pekerjaannya pada malam hari, kedua ketika pendapatannya untuk memenuhi kebutuhannya atau pendapatan bos yang mendanainya dapat terhenti. Mereka ini bahkan diharuskan untuk membatalkan puasanya ketika di tengah puasa menemukan kesulitan tetapi tentu didasarkan pada darurat. Namun bagi mereka yang memenuhi ketentuan untuk membatalkan puasa, tetapi melanjutkan puasanya, maka puasanya tetap sah karena keharamannya terletak di luar masalah itu. Tetapi kalau hanya sekadar sedikit pusing atau sakit ringan yang tidak mengkhawatirkan, maka tidak ada pengaruhnya dalam hukum ini (Syekh M Said Ba’asyin, Busyrol Karim, Darul Fikr, Beirut).

 

Dari pernyataan di atas bisa kita simpulkan bahwa:

1.    Semua umat Islam di setiap profesinya tetap harus niat puasa pada malam harinya, dengan berharap dia kuat untuk menjalankan ibadahnya.

2.    Jika di siangnya merasa benar-benar tidak kuat maka boleh berbuka, jika kuat maka harus dilanjutkan. Hal ini didasari karena dadurat.

3.    Pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan pada malam hari, juga jika tidak bekerja maka bisa kehilangan sumber nafkah keluarga.

4.    Jika sakit, tapi sakitnya biasa dan tidak mempengaruhi fisik, anggota fisik bahkan jiwa maka diwajibkan untuk lanjut berpuasa.

5.    Meski sakit, tetapi tetap memaksa puasa, maka puasanya tetap sah.

 

Perihal status wajib puasa bagi pekerja, ada juga keterangan lain dari Syeh M Nawawi Al-Bantani. Tetapi sebelum membahas pekerja, kita perlu membahas terlebih dahulu status wajib puasa orang sakit. Karena kondisi pekerja berat akan diukur dari keadaan orang sakit sejauh mana tingkat kesulitan yang dialami keduanya. Keterangan ini bisa kita dapatkan dari Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in sebagai berikut:

 

فللمريض ثلاثة أحوال إن توهم ضررا يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر وإن كان المرض خفيفا بحيث لا يتوهم فيه ضررا يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم

 

Artinya: Ulama membagi tiga keadaan orang sakit. 

Pertama, kalau misalnya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayamum, maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa. 

 

Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya. 

 

Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayamum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah. Sama status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka (Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtai’in, Al-Ma’arif, Bandung, Tanpa Tahun, halaman 189).

 

Demikianlah penjelasan yang dilansir NU Online dari tentang kriteria para pekerja berat yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Hal ini didasari karena darurat. Akan tetapi, ketika sudah di luar bulan Ramadhan, dan dirasa waktunya sudah longgar, atau sudah mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu berat, maka orang tersebut wajib mengganti (qadha) puasanya.