• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Syiar

Dahi Sedang Diperban, Bagaimana Sujudnya Ketika Shalat?

Dahi Sedang Diperban, Bagaimana Sujudnya Ketika Shalat?
Dahi Sedang Diperban, Bagaimana Sujudnya Ketika Shalat. (Foto: NU Online)
Dahi Sedang Diperban, Bagaimana Sujudnya Ketika Shalat. (Foto: NU Online)

Kondisi fisik seseorang  yang sedang tidak baik, seringkali menuntut pemahaman mendalam terkait dengan tata cara ibadah. Salah satu pertanyaan yang terbersit di benak banyak orang adalah bagaimana melaksanakan sujud ketika dahi sedang terluka dan harus diperban.

 

Hal ini menjadi momen refleksi yang menarik dalam konteks keagamaan, di mana kesehatan dan kewajiban beribadah saling bersinggungan.


Bagi sebagian orang, dahi yang diperban mungkin menjadi tantangan tersendiri dalam menjalankan shalat, sebuah aktivitas yang merupakan kewajiban pokok umat Islam. Apakah sah sujud dengan kondisi ada balutan tersebut? 


Namun, dalam Islam, keberagaman kondisi tubuh bukanlah penghalang untuk beribadah. Pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama perlu diaplikasikan agar setiap muslim dapat tetap menjalankan ibadah shalat dengan benar dan khusyuk, meskipun menghadapi kendala fisik. 


Apakah perlu qadha (mengganti di waktu lain) shalat atau bahkan i’adah (mengulang) shalat jika kondisinya sudah sembuh? Dilansir dari NU Online, alangkah beratnya syariat ini jika kondisi yang demikian tersebut mengharuskannya untuk mengulang shalat saat kondisi mushalli (orang yang shalat) sudah sembuh.


Demikian juga, alangkah beratnya bila ia harus melakukan qadha sejumlah shalat selama ia sakit. Padahal, ada prinsip yang harus dipegang dalam agama, yaitu:


 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر  


Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan Ia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian (QS Al-Baqarah: 185).


Dalam ayat lain, Allah swt, berfirman:


يُرِيدُ اللَّهُ أن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ الإنسَانُ ضَعِيفًا 


Artinya: Allah menghendaki untuk meringankan kalian. Telah diciptakan manusia dengan sifat lemah (QS Al-Nisa’: 28).


Kedua ayat di atas secara tidak langsung menggambarkan bahwa yang dikehendaki syariat adalah kemudahan seorang hamba di dalam menjalankannya, dan di dalam menyatakan diri tunduk beribadah kepada Allah dalam segala kondisi. 


Allah Maha Mengetahui bahwa manusia adalah lemah. Oleh karenanya, berlaku syariat rukhshah (keringanan) bagi seorang hamba untuk hal atau kondisi yang memang ia harus mendapatkan perlakuan khusus dalam syara’. 


Mengenai permasalahan di atas adalah kita harus mengingat kembali dengan topik permasalahan shalatnya orang yang tidak bisa melakukan gerakan shalat dengan sempurna. Ketika shalat orang yang tidak bisa bergerak sama sekali dan harus dalam kondisi terbaring sakit, maka boleh baginya melakukan shalat dengan jalan memberi isyarat. 


Demikian pula dengan shalat orang yang terpaksa harus melaksanakan dengan tanpa bisa melakukan ruku’ dan sujud, maka ia diharuskan melakukan gerakan ruku’ dan sujud dengan jalan menunduk. Untuk posisi sujud, kondisi menunduk sedikit lebih rendah dibanding menunduk untuk posisi ruku’. 


Shalat dengan tata cara sebagaimana dijelaskan di atas dipandang sah oleh syariat, sehingga tidak perlu lagi melakukan qadha shalat, atau bahkan i’adah shalat. Lantas bagaimana dengan shalatnya orang yang dahinya diperban? Jika gerakan shalat sambil isyarat saja dipandang sah, tentu gerakan shalat orang dengan perban menutup dahi adalah lebih sah. Logika semacam ini dalam ushul fiqih disebut qiyas aulawi.  


Alasan inilah kemudian yang mendorong Syekh Taqiyuddin Abu Bakar al-Husni dalam kitab Kifayatul Akhyar menyatakan:


لو كان على جبهته جراحة وعصبها وسجد على العصابة أجزأه ولا قضاء عليه على المذهب لأنه إذا سقطت الإعادة مع الإيماء بالسجود فهنا أولى ولو عجز عن السجود لعلة أومأ برأسه فإن عجز فبطرفه ولا إعادة عليه 


Artinya: Seandainya ada luka menutup dahi seseorang sehingga mengharuskan diperban, kemudian ia melakukan gerakan sujud dengan tetap di atas perban itu, maka hal tersebut adalah mencukupi. Menurut mazhab Imam Syafi’i, ia tidak perlu qadha’ sebab jika mengulang shalat (i’adah) saja tidak diperlukan untuk orang yang shalat dengan isyarat ketika sujud, maka kondisi mushalli dengan perban seperti ini adalah lebih utama untuk mendapatkan keringanan gugurnya wajib i’adah. Bahkan disebutkan seandainya ada seseorang terkendala melakukan sujud disebabkan karena adanya penyakit, lalu ia sujud dengan memberi isyarat dengan tundukan kepalanya, atau dengan kedipan matanya, maka baginya tidak ada keharusan i’adah shalat (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Hushni, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya, Al-Hidayah, 1993: 1/108) 


Jika i’adah shalat saja tidak diperlukan bagi “mushalli dengan gerakan isyarat”, apalagi qadha shalat, tentu lebih tidak diperlukan. Sehingga, kesimpulan hukum dari permasalahan orang yang shalat dengan kondisi luka balutan menutupi anggota sujud, namun ia tidak atau belum bisa melakukan gerakan sempurna ruku’ dan sujud, adalah boleh dan sah shalatnya. Lakukanlah ruku’ atau sujud dengan cara sesuai kemampuan. Baginya juga tidak perlu qadha shalat setelah sembuh serta tidak perlu i’adah (mengulangi shalat). 


Demikianlah penjelasan mengenai bagaimana cara sujud ketika dahi seseorang sedang diperban. Semoga dapat menambah khazanah keislaman kita, dan meningkatkan ketaqwaan umat Muslim. 
 


Syiar Terbaru