Syiar

Bolehkah Berwudhu dengan Air Banjir? Ini Penjelasan Lengkapnya

Sabtu, 14 Desember 2024 | 18:22 WIB

Bolehkah Berwudhu dengan Air Banjir? Ini Penjelasan Lengkapnya

Ilustrasi wudhu. (Foto: NU Online)

Bulan Desember merupakan bulan musim penghujan, sehingga kita sering bertemu dengan hujan dalam aktivitas sehari-hari. Pada bulan ini juga banyak sekali terjadi banjir di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya disebabkan karenq curah hujan yang sangat tinggi.

 

Sebagai seorang mukmin, setiap hari kita selalu diwajibkan untuk ibadah shalat 5 waktu dan disertai dengan wudhu (bersuci) terlebih dahulu, di manapun dalam kondisi apapun, temasuk ketika hujan deras dan banjir besar.  

 

Sering terjadi, ketika banjir besar, air yang kita gunakan untuk wudhu menjadi keruh, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan, yang bergantung dengan air dari mata air dan sungai. Sehingga mau tidak mau ia harus berwudhu dengan air keruh karena banjir. 

 

Lalu apakah boleh kita berwudhu dengan air banjir?

 

Dilansir dari NU Online, bagi para korban banjir berwudhu dengan air banjir yang keruh sebab terkena tanah dan debu hukumnya diperbolehkan, selama air yang digunakan untuk bersuci tidak ditemukan komponen najis atau komponen selain tanah dan debu (mukholith) yang sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. 

 

Sebab perubahan air karena faktor tercampur tanah atau debu tidak sampai mencegah kemutlakan nama air. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab al-Muqaddimah al-Hadramiyah:

 

وَلَا يضر تغير بمكث وتراب وطحلب وَمَا فِي مقره وممره   

 

Artinya: Perubahan air sebab diamnya air (dalam waktu lama), sebab debu, lumut, dan sebab sesuatu yang menetap dalam tempat menetapnya air dan tempat berjalannya air merupakan hal yang tidak dipermasalahkan (Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Bafadhal, al-Muqaddimah al-Hadramiyah, halaman 21).

 

Selain itu, air yang tercampur debu sejatinya hanya sebatas memperkeruh warna air, tidak sampai mengubah nama air hingga memiliki nama tersendiri. Hal ini seperti disampaikan dalam kitab Fath al-Wahhab:

 

لا تراب وملح ماء وَإِنْ طُرِحَا فِيهِ " تَسْهِيلًا عَلَى الْعِبَادِ أَوْ لِأَنَّ تَغَيُّرَهُ بِالتُّرَابِ لِكَوْنِهِ كُدُورَةً وَبِالْمِلْحِ الْمَائِيِّ لِكَوْنِهِ مُنْعَقِدًا مِنْ الْمَاءِ لَا يَمْنَعُ إطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَإِنْ أَشْبَهَ التَّغَيُّرُ بِهِمَا فِي الصُّورَةِ التَّغَيُّرَ الْكَثِيرَ بِمَا مَرَّ

 

Artinya: Air tidak dikatakan berubah sebab bercampur debu atau bercampur garam air, meskipun keduanya (sengaja) dilemparkan pada air, (hukum demikian) bertujuan untuk memudahkan masyarakat dan karena debu hanya memperkeruh air dan garam air merupakan gumpalan yang berasal dari air yang tidak sampai mengubah kemutlakan nama air, meskipun perubahan dengan dua komponen ini secara bentuk menyerupai perubahan pada air yang banyak sebab benda-benda yang melebur (mukhalith) (Syekh Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz 1, halaman 5).


Berbeda halnya jika seseorang yakin bahwa perubahan air banjir yang berada di sekitarnya lebih dominan karena faktor benda selain tanah yang mencampuri air (mukhalith), seperti sampah, najis dan benda lainnya, sehingga sampai mengubah terhadap bau, rasa dan warna air, maka air tersebut sudah tidak dapat digunakan untuk bersuci. 

 

Berbeda lagi jika seseorang masih ragu, apakah air banjir yang ada di sekitarnya perubahannya karena murni tercampur tanah atau lebih dominan karena tercampur benda yang lain, maka dalam kondisi demikian, air tetap berstatus suci dan menyucikan. 

 

Sebab hukum asal dari air adalah suci, dan kesucian tersebut tidak menjadi hilang hanya disebabkan suatu keraguan. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Busyra al-Karim:

 

وخرج بزيادتي (يقيناً): ما لو شك - هل التغير بمخالط أو مجاور؟ - فلا يضر؛ إذ الأصل تيقن طهوريته، فلا تزول بالشك. 

 

Artinya: Keluar dari cakupan ‘yakin berubah’, yakni ketika seseorang masih ragu, apakah perubahan air disebabkan benda yang mencampuri air (mukhalith, larut) atau sebab benda yang menyandingi air (mujawir, tak larut), maka keraguan demikian tidak berpengaruh dalam kemutlakan air, sebab hukum asalnya adalah yakin atas kesucian air, maka keyakinan ini tidak hilang sebab adanya keraguan (Syekh Said bin Muhammad Ba’aly, Busyra al-Kariem, halaman 74).

 

Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa berwudhu dengan air banjir yang keruh hukumnya boleh, selama perubahan tersebut dikarenakan karena tanah atau debu, bukan karena bercampur dengan benda najis atau sampah.