Ila Fadilasari
Penulis
Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri selalu disambut dengan sukacita oleh seluruh umat Muslim di seluruh dunia. Gema takbir dikumandangkan di malam harinya, masjid dan mushala bahkan ada pula yang takbir keliling.
Umat Islam merayakan lebaran sebagai sebuah momen yang disebut-sebut sebagai “hari kemenangan”. Tapi kemenangan atas atas apakah yang dimaksud?
Sepanjang bulan Ramadhan, umat Islam berpuasa sebulan penuh menunaikan rukun Islam keempat. Menahan rasa haus, lapar, hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam.
Setelah melewati momen-momen penting sebulan penuh tersebut, umat Islam pun berhak mendapatkan hasilnya, yaitu predikat “takwa”. Sebagaimana terdapat di al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Dilansir dari NU Online, dalam konteks puasa Ramadhan, tentu takwa tak bisa digapai dengan sebatas menahan lapar dan dahaga. Ada yang lebih substansial yang perlu ditahan, yakni termasuk hawa nafsu.
Orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh akan mencegah dirinya dari segala macam perbuatan tercela seperti mengumbar syahwat, berbohong, bergunjing, merendahkan orang lain, riya, menyakiti pihak lain, dan sebagainya.
Tanpa menghindarkan diri berbagai perbuatan itu, puasa kita bisa saja sah secara fiqih, tapi belum tentu bernilai baik di mata Allah swt. Rasulullah pernah bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
Artinya: Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja (HR Imam Ahmad).
Lalu apakah kita sudah mencapai kemenangan di hari lebaran ini? Jangan-jangan kita seperti yang disebutkan Nabi, termasuk golongan yang sekadar mendapatkan lapar dan dahaga, tanpa pahala?
Jika standar capaian tertinggi puasa adalah takwa, maka tanda-tanda bahwa kita sukses melewati Ramadhan pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Semakin tinggi kualitas takwa kita, indikasi semakin tinggi pula kesuksesan kita berpuasa. Demikian juga sebaliknya, semakin hilang kualitas takwa dalam diri kita, pertanda semakin gagal kita sepanjang Ramadhan.
Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ciri-ciri orang takwa. Salah satu ayatnya terdapat dalam Surat Ali Imran:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَـــافِينَ عَنِ النَّــاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُـحْسِنِــينَ
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarrâ’ (senang) dan pada saat dlarrâ’ (susah), dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran: 134).
Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa, yakni:
Pertama, gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun susah. Orang bertakwa tidak akan sibuk hanya memikirkan diri sendiri. Ia berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban untuk orang lain dalam setiap keadaan. Bahkan, ia tidak hanya suka memberi kepada orang yang dicintainya, tapi juga kepada orang-orang memang membutuhkan.
Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, sifat takwa pertama ini sebenarnya sudah mulai didorong oleh Islam melalui ajaran zakat fitrah. Zakat fitrah merupakan simbol bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan menaruh kepedulian kepada mereka yang lemah.
Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhari’ yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus. Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat fitrah hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada bulan-bulan berikutnya.
Kedua, mampu menahan amarah. Orang-orang yang bertakwa tidak akan mengumbar marah begitu saja. Al-kâdhim (orang yang menahan) serumpun kata dengan al-kadhîmah (termos). Kedua-duanya mempunyai fungsi membendung: yang pertama membendung amarah, yang kedua membendung air panas.
Selayak termos, orang bertakwa semestinya mampu menyembunyikan panas di dadanya sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tahu bahwa ia sedang marah. Bisa jadi ia tetap marah, namun ketakwaan mencegahnya melampiaskan itu karena tahu mudarat yang bakal ditimbulkan.
Termos hanya menuangkan air panas pada saat yang jelas maslahatnya dan betul-betul dibutuhkan. Patutlah pada kesempatan lebaran ini, umat Islam mengontrol emosinya sebaik mungkin. Mencegah amarah menguasai dirinya, dan bersikap kepada orang-orang pernah membuatnya marah secara wajar dan biasa-biasa saja. Ramadhan semestinya telah melatih orang untuk berlapang dada, bijaksana, dan tetap sejuk menghadapi situasi sepanas apa pun.
Ketiga, memaafkan kesalahan orang lain. Sepanjang Ramadhan, umat Islam paling dianjurkan memperbanyak permohonan maaf kepada Allah dengan membaca:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Artinya: Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku.
Kata ‘afw (maaf) diulang tiga kali dalam kalimat tersebut, menunjukkan bahwa manusia memohon dengan sangat serius ampunan dari Allah swt. Memohon ampun merupakan bukti kerendahan diri di hadapan-Nya sebagai hamba yang banyak kesalahan dan tak suci.
Cara ini bila dipraktikkan dengan penuh penghayatan, sebenarnya melatih orang selama Ramadhan tentang pentingnya maaf. Bila diri kita sendiri saja tak mungkin suci dari kesalahan, maka alasan apa yang kita tidak mau memaafkan kesalahan orang lain? Maaf merupakan sesuatu yang singkat namun bisa terasa sangat berat karena persoalan ego, gengsi, dan unsur-unsur nafsu lainnya.
Karena itu amatlah arif ulama-ulama di Tanah Air yang menciptakan tradisi bersilaturahim dan saling memaafkan di momen lebaran ini. Sempurnalah, ketika kita usai membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan kepada Allah, selanjutnya kita saling memaafkan kesalahan masing-masing di antara manusia.
Semoga ciri-ciri sukses Ramadhan tersebut berhasil kita raih, dan kita pun layak menyandang predikat “takwa” tersebut. Wallahu a’lam bish shawab.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jelang Akhir Ramadhan, Mari Mengevaluasi Ibadah Puasa Kita
2
Berapa Zakat Fitrah Tahun 2025 yang Harus Dikeluarkan?
3
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak dan Keluarga
4
Panduan Lengkap Shalat Jamak Qashar Bagi Pemudik Lebaran
5
Apakah Bayi dalam Kandungan Wajib Dizakati
6
GP Ansor dan Banser Tanjung Sari Perkuat Soliditas Lewat Kajian Ramadhan dan Diskusi Organisasi
Terkini
Lihat Semua