Nuzulul Qur’an dan Wahyu Pertama: Cahaya yang Menyinari Peradaban
Ahad, 16 Maret 2025 | 07:24 WIB
H Puji Raharjo
Penulis
Nuzulul Qur’an adalah peristiwa monumental yang mengubah arah sejarah manusia. Di malam yang sunyi di Gua Hira, Allah menurunkan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw, menandai awal dari risalah kenabian. Peristiwa ini bukan sekadar momen transendental bagi Rasulullah saw, tetapi juga awal dari cahaya yang menerangi dunia dengan petunjuk dan hikmah.
Salah satu hadits yang meriwayatkan kejadian ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sayyidah Aisyah ra, yang mengisahkan bagaimana wahyu pertama turun dan reaksi Rasulullah saw dalam menerimanya.
Sebelum menerima wahyu, Rasulullah saw mengalami fase persiapan spiritual yang mendalam. Dalam hadits disebutkan bahwa beliau sering mengalami mimpi-mimpi yang benar, yang tampak seperti cahaya fajar yang jelas. Mimpi-mimpi ini adalah isyarat awal dari Allah bahwa beliau akan menerima amanah besar.
Selain itu, Rasulullah saw mulai merasakan ketertarikan yang kuat untuk menyendiri. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu di Gua Hira, bertafakkur dan beribadah dalam keheningan malam.
Kesunyian dan perenungan ini bukan sekadar pengasingan diri, melainkan proses persiapan jiwa untuk menerima wahyu pertama. Sebuah persiapan yang menunjukkan bahwa perubahan besar dalam kehidupan selalu dimulai dari refleksi dan pencerahan batin.
Di suatu malam, ketika Rasulullah saw sedang dalam khalwat di Gua Hira, datanglah Malaikat Jibril. Dengan penuh kewibawaan, Jibril berkata, “Iqra’!” (Bacalah!). Rasulullah saw, yang tidak bisa membaca, menjawab dengan penuh kebingungan, “Ma ana bi qari’” (Aku tidak bisa membaca).
Jibril lalu merangkul beliau dengan erat hingga merasa sesak, lalu melepaskannya dan kembali memerintah, Iqra’, Rasulullah saw kembali menjawab bahwa beliau tidak bisa membaca. Peristiwa ini berulang hingga tiga kali, sampai akhirnya Jibril menyampaikan firman Allah:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (QS Al-‘Alaq: 1-3).
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu dan wahyu adalah kunci peradaban. Perintah membaca dalam ayat pertama menunjukkan bahwa Islam mengangkat derajat manusia melalui pengetahuan dan pemahaman. Ini adalah awal dari perjalanan dakwah yang akan mengguncang dunia.
Setelah menerima wahyu pertama, Rasulullah saw pulang dalam keadaan gemetar. Perasaan takut menyelimuti hatinya, dan beliau meminta Sayyidah Khadijah ra untuk menyelimuti dirinya. Khadijah, dengan kelembutan dan kebijaksanaannya, menenangkan Rasulullah saw dengan mengatakan:
“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahim, membantu orang yang membutuhkan, memberi makan orang miskin, memuliakan tamu, dan menolong mereka yang tertimpa musibah.”
Kata-kata Khadijah ra bukan sekadar penghiburan, melainkan juga pengakuan atas karakter Rasulullah saw yang luhur. Inilah keyakinan bahwa seseorang yang memiliki kebaikan dan ketulusan dalam hidupnya akan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah.
Khadijah ra kemudian membawa Rasulullah saw menemui Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani yang memahami kitab-kitab terdahulu. Setelah mendengar kisah Rasulullah saw, Waraqah berkata, “Ini adalah Namus (wahyu) yang pernah diturunkan kepada Nabi Musa as. Aku berharap bisa hidup lebih lama agar dapat membelamu ketika kaummu mengusirmu.”
Rasulullah saw terkejut dan bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, karena setiap nabi yang membawa risalah pasti dimusuhi oleh kaumnya. Jika aku masih hidup pada saat itu, aku akan membantumu dengan segenap kekuatanku.”
Ucapan Waraqah ini menjadi isyarat bahwa jalan kenabian bukanlah jalan yang mudah, melainkan jalan penuh ujian dan tantangan. Setiap kebenaran akan diuji, dan setiap risalah akan menghadapi perlawanan.
Wahyu Kedua dan Perintah Dakwah
Setelah turunnya wahyu pertama, ada masa di mana wahyu sempat terhenti untuk beberapa waktu. Hingga suatu ketika, Rasulullah saw melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, duduk di antara langit dan bumi. Rasa gentar kembali meliputi beliau, dan beliau pun pulang ke rumah dalam keadaan menggigil, meminta untuk diselimuti.
Saat itulah turun wahyu kedua:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنذِرْ
Artinya: Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! (QS Al-Muddaththir: 1-2).
Dengan ayat ini, Rasulullah saw mendapatkan perintah untuk mulai menyampaikan dakwah kepada umat manusia. Tidak lagi hanya merenung dan mempersiapkan diri, kini saatnya menyampaikan kebenaran kepada dunia.
Kisah Nuzulul Qur’an dan wahyu pertama bukan hanya sejarah, tetapi juga pelajaran bagi setiap Muslim. Ada beberapa refleksi yang bisa kita ambil:
1. Pentingnya Persiapan Spiritual
Sebelum menerima wahyu, Rasulullah saw telah melalui fase perenungan dan ketenangan batin. Ini mengajarkan bahwa setiap perubahan besar dalam hidup membutuhkan persiapan jiwa dan kedekatan dengan Allah.
2. Ilmu sebagai Cahaya Peradaban
Wahyu pertama yang turun mengandung perintah membaca, menandakan bahwa ilmu adalah kunci kebangkitan peradaban. Islam adalah agama yang mendorong pemahaman, pembelajaran, dan penelitian.
3. Dukungan dalam Dakwah
Peran Sayyidah Khadijah ra dalam menenangkan Rasulullah saw menunjukkan bahwa dalam setiap perjuangan, dukungan dari orang-orang terdekat sangatlah penting. Sebuah perjuangan tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi membutuhkan kekuatan dari lingkungan yang baik.
4. Setiap Kebenaran Akan Diuji
Waraqah bin Naufal telah memperingatkan Rasulullah saw bahwa setiap nabi yang membawa risalah pasti akan menghadapi penentangan. Ini mengajarkan bahwa dalam menyuarakan kebaikan dan kebenaran, kita harus siap menghadapi tantangan.
5. Bangkit dan Bertindak
Wahyu kedua mengajarkan bahwa Islam bukan hanya agama untuk direnungkan, tetapi juga untuk diamalkan dan disebarkan. Setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kebaikan dan memperjuangkan keadilan.
Nuzulul Qur’an adalah cahaya yang terus menerangi perjalanan hidup umat manusia. Dari kisah ini, kita belajar bahwa dalam setiap perubahan besar, ada perenungan, ada ujian, dan ada keberanian untuk melangkah. Semoga kita semua bisa menjadi bagian dari cahaya itu, meneruskan risalah kebaikan di dunia ini.
H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung
Terpopuler
1
Ikut Kang Jalal Yuk!, Pelatihan Tukang Jagal Halal LTMNU Pringsewu
2
IPNU-IPPNU MAN 1 Pringsewu Terbentuk, Persiapan Pelantikan Dikebut
3
Perkuat Peran di Bidang Kesehatan, PW Muslimat NU Jalin Kerja Sama dengan Dinas Kesehatan Lampung
4
Khutbah Jumat: 3 Cara Meraih Pahala yang Setara dengan Haji bagi yang Tidak Mampu
5
Lindungi Keluarga, Fatayat NU Labuhan Ratu Kecam Keras Fenomena Fantasi Sedarah di Medsos
6
Harkitnas Bukan Hanya Seremonial dan Rutinitas, Jadikan Momentum Peningkatan Kualitas
Terkini
Lihat Semua