NU Online

Peran Kaum Ibu pada Masa Awal NU Berdiri

Ahad, 22 Desember 2024 | 08:38 WIB

Peran Kaum Ibu pada Masa Awal NU Berdiri

Ilustrasi 5 tokoh Muslimat NU pada masa awal berdiri (Arsip Muslimat NU)

Pergerakan kaum ibu Nahdlatul Ulama, melalui beberapa tahapan-tahapan. Pada awal tahun 30-an, didapatkan informasi di koran dan majalah, kaum ibu menghadiri acara-acara NU. Pada acara tersebut, kaum bapak dan kaum ibu terpisah atau dibatasi dengan hijab. Di samping itu, hanya laki-laki yang boleh berbicara sementara kaum ibu hanya pendengar. 

 

Lalu kaum ibu diperbolehkan menjadi anggota NU, dipersilakan mengadakan acara tersendiri. Selanjutnya, meskipun sangat terbatas, pada acara NU di cabang Bandung misalnya, kaum ibu diperbolehkan berbicara. Lantas pada 1938, para kiai memperbolehkan cabang-cabang NU mengakomodasi kaum ibu dengan menamai mereka sebagai Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) atau sekarang lebih dikenal dengan Muslimat NU.  

 

Setahun sebelumnya, pada 1937 koran Pemandangan memberitakan para istri pengurus NU di daerah Subang tak mau ketinggalan dari perkumpulan tetangganya yang telah mendirikan perkumpulan. 

 

Tetangga yang dimaksud pada kalimat tersebut mestinya adalah perkumpulan lain yang sesama ormas Islam seperti Muhammadiyah yang memiliki Aisyiyah, Persatoean Oelama punya Fathimiyah, Persatuan Islam (Persis) memiliki Persatuan Islam Istri (Persistri) atau nasionalis seperti Parindra Istri atau kedaerahan seperti Paguyuban Pasundan yang memiliki Pasundan Istri (Pasi). 

 

Karena itulah, istri-istri pengurus NU Purwakarta Subang dan Karawang mendirikan sebuah organisasi bernama Nahdlatun Nisa’, kebangkitan perempuan (kaum ibu). Dengan menggunakan nama nahdlatul, tak sak lagi kaum ibu itu menautkannya dengan organisasi para suaminya, Nahdlatul Ulama. Peristiwa pendirian Nahdlatul Nisa’ itu diabadikan koran Pemandangan pada rubrik Taman Istri. 

 

Di Surakarta, Jawa Tengah berdiri Nahdlatul Muslimat. Perkumpulan ini bergerak untuk pendidikan kalangan perempuan. Salah seorang tokohnya adalah Nyonya Mahmudah Mawardi yang kelak akan menjadi tokoh dan Ketua Umum Muslimat NU. 

 

Namun, perkumpulan ini tidak terkait dengan NU secara organisasi sama sekali. Hanya saja sangat identik karena diawali dengan nahdlatul dan muslimat, nama yang kemudian menjadi badan otonom NU khusus ibu-ibu.