Warta

Penjelasan Kiai Jamal tentang Posisi Budaya dalam Pengamalan Agama

Ahad, 15 Juni 2025 | 21:06 WIB

Penjelasan Kiai Jamal tentang Posisi Budaya dalam Pengamalan Agama

Wakil Rais Syuriyah PWNU Lampung, KH Jamal Idrus Assyafi’i saat menyampaikan mauidzah hasanah pada Haflah Akhirussanah Pesantren Madinatul Ilmi Pagelaran, Pringsewu, Ahad (15/6/2025). (Foto: Istimewa)

Pringsewu, NU Online Lampung

Wakil Rais Syuriyah PWNU Lampung, KH Jamal Idrus Assyafi’i, menjelaskan bahwa agama dan keagamaan adalah hal yang berbeda. Memahami keduanya perlu memahami wahyu secara kontekstual dengan pendekatan budaya. 

 

Menurutnya, agama adalah wahyu murni yang bersumber dari Allah dan disampaikan melalui para rasul. Sementara keagamaan merupakan interpretasi manusia terhadap ajaran tersebut.

 

"Fiqih, tasawuf, dan berbagai mazhab bukanlah agama secara langsung, melainkan bagian dari keagamaan. Maka tidak heran jika di dalamnya terjadi banyak perbedaan pendapat," jelasnya saat memberikan mauidzah hasanah pada Haflah Akhirussanah Pesantren Madinatul Ilmi Pagelaran, Pringsewu, Ahad (15/6/2025).

 

Kiai Jamal menilai pendekatan budaya dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam sangat penting. Ia mencontohkan bagaimana azan, tahlil, dan tradisi keagamaan lainnya memiliki warna lokal tanpa mengubah substansi syariat. 

 

"Qur’an memang satu, tapi cara memaknainya harus kontekstual. Jangan dipaksa seragam secara lahiriah, karena tiap budaya punya pendekatannya sendiri," ungkapnya pada acara di Pesantren asuhan KH Muhammad Nur Aziz ini.

 

Menurutnya, penggunaan budaya sebagai media dakwah justru akan mempermudah umat dalam memahami agama. "Buah belimbing dijadikan simbol shalat karena memiliki lima sisi. Ini contoh bagaimana budaya bisa memperkuat makna ajaran Islam," katanya.

 

Ia juga menegaskan bahwa agama bukanlah dongeng. Agama adalah realitas yang harus dibuktikan. Ia mengutip ayat Al-Qur’an bahwa manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, lalu Allah menganugerahkan pendengaran, penglihatan, dan akal untuk memahami ilmu.

 

"Pendengaran saja tidak cukup. Harus ada pembuktian, harus ada penglihatan dan akal yang bekerja," ujarnya pada acara yang dihadiri Mustasyar PCNU KH Sujadi dan Ketua PCNU Pringsewu H Muhammad Faizin ini.

 

Terkait dengan pemahaman ini ia menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah bentuk ekspresi Islam yang membumi dan tetap menjaga substansi wahyu. 

 

"Jangan memurnikan syariat dengan cara menyingkirkan budaya. Yang perlu dimurnikan adalah hati, agar hanya tertuju kepada Allah," tegasnya.

 

Perpaduan antara agama dan budaya telah melahirkan berbagai disiplin ilmu, mulai dari fiqih, tajwid, hingga tasawuf. Semua itu merupakan hasil pengolahan Al-Qur’an oleh para ulama, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai luhur yang dibawa Rasulullah saw.

 

"Kembali kepada Al-Qur’an bukan hanya kembali kepada teks, tapi menggali maknanya dengan akal yang sehat dan hati yang tulus. Karena mutiara itu tidak tampak di permukaan, tapi harus digali dengan sungguh-sungguh," pungkasnya.

 

Ia menyebut bahwa tidak semua orang alim berarti arif. Seorang santri idealnya bukan hanya memiliki ilmu (‘alim), tapi juga mampu mendekatkan diri kepada Allah (‘arif). "Ilmu yang tidak menghadirkan kedekatan kepada Allah, perlu dipertanyakan manfaatnya," tegasnya.

 

Ia pun mengajak semua khususnya para santri untuk tidak hanya menerima ilmu secara tekstual, tetapi juga menggali maknanya melalui pemikiran dan pendekatan ilmiah.