Warta

Mau Hidup Tenang? Bedakan antara Keinginan dan Kebutuhan

Kamis, 3 Juli 2025 | 17:09 WIB

Mau Hidup Tenang? Bedakan antara Keinginan dan Kebutuhan

Ketua PBNU, Prof Moh Mukri saat memberikan sambutan pada Musda MUI Tanggamus, Kamis (3/7/2025). (Foto: Istimewa)

Tanggamus, NU Online Lampung 

Hidup bukan hanya soal menjalaninya, tapi juga tentang memahami arah, nilai, dan pilihan. Dalam khazanah ilmu Islam dan filsafat, terdapat prinsip-prinsip yang dapat menjadi kompas dalam menentukan keputusan hidup, membedakan antara kebutuhan dan keinginan, hingga menjawab tantangan sosial yang kompleks.

 

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof Moh Mukri menjelaskan bahwa dalam kerangka maqashid syari'ah, ketenangan hidup bisa muncul dari kemampuan memahami apa yang dibutuhkan dan apa yang diinginkan. Menurutnya penting memahami tiga tingkatan kebutuhan manusia.

 

Pertama, adalah Dharuri (primer) yakni kebutuhan yang bersifat mutlak, seperti agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tanpa daruri, hidup manusia terancam rusak bahkan hilang.

 

Kedua adalah Hajji (sekunder) yakni kebutuhan yang memperlancar dan mempermudah hidup. Jika tidak terpenuhi, hidup tetap berjalan tapi dengan kesulitan.

 

"Ketiga adalah Tahsini (tersier) yakni kebutuhan pelengkap untuk memperindah dan menyempurnakan kehidupan, seperti estetika, sopan santun, dan gaya hidup," ungkapnya saat berdiskusi dengan NU Online Lampung, Kamis (3/7/2025).

 

"Dengan membedakan ketiga level ini, seseorang belajar menyusun skala prioritas, agar tidak terseret oleh godaan dunia yang tak pernah habis," imbuhnya.

 

Ia pun menjelaskan filsafat stoikisme yang mengajarkan untuk tenang menghadapi kenyataan, menerima hal-hal yang tidak bisa diubah, dan mengelola emosi. Prinsip ini menguatkan kesadaran bahwa hidup tidak selalu bisa dikendalikan, tapi sikap terhadap hidup selalu bisa dipilih.

 

"Mereka yang bijak dalam hidup akan selalu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sebab, memenuhi keinginan tak akan ada ujungnya, sementara kebutuhan bersifat terbatas," jelasnya.

 

"Inilah bagian dari stoik menerima cukup, bersyukur, dan fokus pada yang penting," imbuhnya.

 

Terlebih di era yang serba cepat dan penuh distraksi saat ini, kita dituntut untuk pintar-pintar melakukan analisis sosial. Apa yang tampak benar belum tentu benar secara konteks. Maka prinsip seperti, "Benar itu berpotensi salah, apalagi yang jelas-jelas salah" menjadi pegangan. 

 

Kita tidak boleh hanya melihat satu sisi dalam menghadapi sesuatu. Ketika menghadapi isu sosial, kita perlu mengkaji siapa yang bicara, dalam konteks apa, dan untuk tujuan apa.

 

"Di tengah hiruk pikuk informasi dan opini publik, marilah menjadi pribadi yang sadar, tenang, dan berpikir. Tidak semua yang viral itu penting. Tidak semua yang diinginkan itu dibutuhkan," katanya 

 

"Karena hidup yang baik bukanlah yang dipenuhi segalanya, tapi yang diisi oleh hal-hal yang benar-benar berarti dan bermakna," pungkasnya.