Ragu Antara Mani, Madzi, dan Wadi? Begini Hukumnya dalam Islam
Ahad, 15 Desember 2024 | 09:30 WIB
Setiap manusia pernah mengalami keluar cairan dari kelaminnya selain air kencing, baik laki-laki maupun perempuan, baik itu disengaja ataupun tidak. Cairan tersebut merupakan fitrah manusia, bawaan biologis dari lahir, sehingga setiap manusia terkena syariat terkait dengan hal tersebut.
Dilansir dari NU Online, selain air kencing, ada tiga jenis cairan yang keluar dari kelamin pria maupun wanita yaitu sperma (mani), madzi (yang keluar ketika syahwat naik), dan wadi (biasanya beriringan dengan kencing atau kecapaian). Masing-masing memiliki sifat berbeda, pun status najis-tidaknya, dan cara menyucikannya.
Lalu bagaimana jika ada orang yang ragu tentang apa yang keluar dari kemaluannya. Bisa jadi ia “tegang” belum pada puncaknya tapi sudah ada cairan kental yang keluar, atau dia bangun tidur dalam keadaan tegang dan basah pada kemaluannya.
Lalu ia bimbang apakah itu benar-benar sperma (yang mengharuskannya mandi besar) ataukah hanya madzi (yang tidak mengharuskannya mandi besar).
Menurut Syekh Sulaiman al-Bujairimi, orang yang tidak yakin dengan cairan apa yang dia keluarkan, ia disuruh memilih sesuai kebijaksanaannya. Ia boleh memilih memutuskan sebagai mani, madzi, atau wadi.
Tentu keraguan tersebut muncul apabila tidak ada tanda-tanda yang menjadi ciri khas sperma yang membarengi, yakni baunya yang khas (rîh), atau keluarnya tersendat-sendat (tadaffuq), atau saat keluar terasa nikmat (taladzudz). Jika memang terdapat salah satu dari tiga unsur tersebut, tidak perlu ragu lagi untuk memutuskan bahwa yang keluar adalah sperma.
Konskuensinya, apabila ia memutuskan sebagai sperma, pakaian yang terkena cairan tersebut, tidak dianggap terkena najis (mutanajjis) namun ia harus mandi besar. Sebaliknya, apabila ia memutuskan bahwa yang keluar selain sperma, maka yang keluar adalah najis, pakaian yang ia kenakan menjadi terkena najis, tapi ia tidak harus mandi, hanya menyucikan anggota badan dan kain yang terkena najis.
فَإِنْ اُحْتُمِلَ كَوْنُ الْخَارِجِ مَنِيًّا أَوْ غَيْرَهُ كَوَدْيٍ أَوْ مَذْيٍ تَخَيَّرَ بَيْنَهُمَا عَلَى الْمُعْتَمَدِ، فَإِنْ جَعَلَهُ مَنِيًّا اغْتَسَلَ أَوْ غَيْرَهُ تَوَضَّأَ وَغَسَلَ مَا أَصَابَهُ؛ لِأَنَّهُ إذَا أَتَى بِمُقْتَضَى أَحَدِهِمَا بَرِئَ مِنْهُ يَقِينًا، وَالْأَصْلُ بَرَاءَتُهُ مِنْ الْآخَرِ وَلَا مُعَارِضَ لَهُ، بِخِلَافِ
Artinya: Jika diragukan bahwa yang keluar mirip mani atau selain mani seperti wadi atau madzi, maka orang yang mengeluarkan hal tersebut dipersilakan untuk mengambil kebijakan jenis cairan apa yang keluar. Demikian menurut pendapat mu’tamad. Konskuensinya, apabila ia memutuskan bahwa yang keluar adalah sperma, ia harus mandi, tapi kalau memutuskan selain sperma, ia hanya wajib wudlu dan membasuh yang terkena najis saja. Pada dasarnya, apabila seseorang sudah memutuskan salah satunya, ia menjadi bebas yang satunya lagi (Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi, [Darul Fikr, 1995], juz 1, halaman 229).
Dengan demikian, maka dapat dipahami, jika kita ragu apakah yang keluar itu mani, madzi atau wadi, maka hal tersebut dikembalikan kepada diri kita masing-masing. Jika meyakini bahwa itu mani dengan segala ciri-cirinya, maka mewajibkan kita untuk madi. Sedangkan jika kita yakin itu bukan mani dengan segala ciri khasnya, maka dihukumi sesuai dengan selain mani.