Hendak Memilih Pemimpin di Pilkada, Ini Rujukan Kepemimpinan ala Rasulullah saw
Senin, 7 Oktober 2024 | 13:12 WIB
Sebentar lagi kita akan mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, yaitu pada 27 November 2024 mendatang. Pilkada serentak ini merupakan kelima kalinya diselenggarakan di Indonesia.
Total yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah ini sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Dan saat ini tahapan pilkada adalah masa kampanye, yang merupakan ajang para calon kepala daerah untuk meyakinkan pemilih, untuk memilih mereka.
Lantas seperti apakah kriteria pemimpin yang dapat kita pilih dalam pilkada mendatang? Sebagai gambaran, berikut kepemimpinan Rasullullah saw, teladan bagi semua umat manusia.
Ada sebuah ayat Al-Qur’an yang cukup menggambarkan bagaimana karakter kepemimpinan Rasulullah sebagai penyampai risalah sekaligus pemimpin. Ayat tersebut berbunyi:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, tak tahan melihat penderitaan kalian, sangat menginginkan (keselamatan dan kebahagiaan) atas kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (QS at-Taubah: 128)
Ayat ini setidaknya mengungkap empat hal, dilansir dari NU Online.
Pertama, Allah menurunkan risalah kepada umat manusia melalui sosok mulia yang juga manusia, bukan jin ataupun malaikat yang sukar dijangkau. Hal ini mengandung hikmah untuk memudahkan umat manusia dalam meneladaninya. Nabi Muhammad saw adalah figur yang sangat dekat dengan umatnya, memahami dan sanggup berkomunikasi (berbahasa) secara baik dengan sasaran dakwahnya.
Beliau merasakan apa yang dirasakan masyarakat pada umumnya, lapar, haus, butuh istirahat, bisa terluka, kepanasan, kedinginan, dan lain sebagainya. Namun, justru dari sinilah umatnya bisa belajar keteladanan luar biasa tentang kesederhanaan, kesabaran, keikhlasan, keberanian, kejujuran, kedermawanan, dan sifat-sifat positif lainnya dalam wujud yang sangat nyata. Rasulullah tampil dalam wujud yang manusiawi, tapi sekaligus sarat nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, Rasulullah memiliki empati yang amat tinggi terhadap penderitaan umatnya. Beliau memberi teladan kepemimpinan yang tidak memberatkan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengaitkan kalimat ‘azîzun ‘alahi mâ ‘anittum dengan dua hadits:
بُعِثْتُ بِاْلحَنِيْفِيَّة السَّمْحَة
Artinya: Aku (Muhammad saw) diutus untuk membawa agama yang lurus dan toleran.
إِنَّ هَذَا الدِّيْنَ يُسْرٌ
Artinya: Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah kemudahan.
Dengan kata lain, Rasulullah sama sekali tak menghendaki adanya hal-hal yang menyulitkan umatnya, bahkan untuk urusan ibadah sekalipun. Sebagai contoh, tentang shalat tahajud yang Nabi laksanakan tiap malam secara istiqamah di masjid.
Begitu tahu sahabat-sahabatnya berbondong-bondong meneladani rutinitasnya, Rasulullah beberapa hari kemudian tak pergi ke masjid. Alasan beliau, tak ingin memberi kesan bahwa shalat tahajud wajib sehingga bakal memberatkan umatnya di kemudian hari.
Rasulullah juga pernah menegur sahabatnya, Mu’adz, yang membaca bacaan terlalu panjang saat memimpin shalat berjamaah. Menurut Nabi, seorang imam harus mempertimbangkan makmumnya yang mungkin terdiri dari orang tua dan orang-orang yang mempunyai keperluan.
Ketiga, Nabi merupakan sosok yang sangat menginginkan keselamatan dan kebahagiaan bagi umatnya. Ibnu Katsir saat menerangkan harîshun ‘alaikum menghubungkannya dengan hidayah dan kemaslahatan bagi umatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Beliau mendorong adanya proses kesadaran ilahiyah dalam setiap embusan nafas manusia, juga tersingkirnya mudarat atau kerugian bukan hanya secara duniawi tapi juga ukhrawi.
Keempat, ayat tersebut menegaskan tentang sifat Nabi yang raûf (welas asih) lagi rahîm (penyayang) kepada umatnya. Kita tahu bahwa dua sifat itu adalah bagian dari 99 asmaul husna. Ini sekaligus menunjukkan keistimewaan derajat Nabi Muhammad. Dua nama indah Allah dilekatkan pada diri beliau.
Rahmat atau kasih sayang tersebut mewujud dalam karakter kepemimpinan Rasulullah yang tidak kasar menghadapi masyarakat. Beliau juga gemar memaafkan dan memohonkan ampun ketika umatnya berlaku salah, bersedia bermusyawarah, dan bertawakal kala tekad sudah bulat.
Itulah gaya kepemimpinan Rasullah saw sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an. Tentunya tidak akan ada seorang manusia atau pemimpin yang bisa menyamai beliau, namun gaya kepemimpinan Rasulullah saw dapat menjadi rujukan untuk menjadi pemimpin yang baik, dalam mencapai tujuan bangsa dan negara.