Menafsir Arah Sejarah: Antara Spekulatif, Kritis, dan Profetik
Senin, 19 Mei 2025 | 14:32 WIB
Dalam perdebatan panjang seputar arah sejarah umat manusia, tiga pendekatan filsafat sejarah muncul sebagai poros utama: spekulatif, kritis, dan profetik. Ketiganya bukan sekadar aliran pemikiran, tetapi juga jendela untuk memahami bagaimana kita menafsirkan masa lalu, merespons masa kini, dan memproyeksikan masa depan. Di tengah kebisingan narasi digital, maraknya revisi sejarah, dan ketegangan geopolitik global, ketiganya justru menjadi sangat relevan untuk dibincangkan.
Filsafat Sejarah Spekulatif: Rasionalisasi Zaman
Filsafat sejarah spekulatif berpijak pada keyakinan bahwa sejarah memiliki struktur, logika internal, dan arah tertentu. Tokoh utama dalam pendekatan ini adalah G.W.F. Hegel. Dalam pandangannya, sejarah adalah proses dialektika antara tesis, antitesis, dan sintesis, di mana "Geist" (Roh Dunia) mewujudkan dirinya secara bertahap menuju kebebasan dan kesadaran diri.
Dalam konteks ini, sejarah dimaknai sebagai perkembangan progresif. Perang, konflik, bahkan penjajahan, dilihat sebagai fase "yang diperlukan" demi tercapainya tahap peradaban yang lebih tinggi. Bagi Hegel, segala peristiwa, betapapun tragisnya, adalah bagian dari logika sejarah yang tak terhindarkan.
Namun, filsafat sejarah spekulatif ini mengandung problem etis yang tidak kecil. Ketika tragedi dianggap sebagai "keniscayaan dialektis", penderitaan konkret manusia menjadi seolah-olah dikesampingkan. Dalam kerangka pemikiran seperti ini, kolonialisme dapat dimaknai sebagai "misi peradaban" semata, bukan sebagai proyek dominasi yang menindas.
Spekulatif menjadi problematik ketika digunakan untuk membenarkan kebijakan otoritarian, memperhalus narasi kekuasaan, atau merasionalisasi pelanggaran HAM. Bahkan dalam konteks Indonesia, cara berpikir ini pernah digunakan oleh Orde Baru untuk menyusun narasi pembangunan yang linier: dari "kemelut 1965" menuju "kemakmuran Orba" seolah-olah sejarah hanya memiliki satu jalur, yaitu milik penguasa.
Filsafat Sejarah Kritis: Dekonstruksi Kuasa
Berbeda dengan pendekatan spekulatif yang mencari makna transhistoris, filsafat sejarah kritis justru membongkar narasi dominan dalam sejarah. Ia mempertanyakan: siapa yang menulis sejarah? Untuk siapa? Dengan nilai apa?
Karl Marx menjadi tonggak penting dalam pendekatan ini. Ia melihat sejarah sebagai arena pertarungan kelas: antara borjuis dan proletar, antara pemilik alat produksi dan mereka yang tertindas. Sejarah adalah sejarah penindasan, dan tugas filsuf bukan hanya menafsirkan dunia, tetapi mengubahnya.
Michel Foucault melanjutkan semangat ini dengan menyoroti bagaimana pengetahuan dan kekuasaan saling terkait. Bagi Foucault, sejarah bukan cermin netral, melainkan hasil dari praktik diskursif yang membentuk kebenaran. Ia menyoroti bagaimana rumah sakit, penjara, dan bahkan sekolah adalah produk sejarah yang sarat dengan kekuasaan.
Pendekatan kritis ini sangat relevan dalam konteks Indonesia. Misalnya, narasi sejarah resmi sering kali abai terhadap peran perempuan, kaum minoritas, atau kelompok adat. Sejarah tahun 1965 selama puluhan tahun ditulis sebagai "pengkhianatan PKI" tanpa membuka ruang untuk melihat sisi lain: kekerasan sistematis, hilangnya ribuan nyawa, dan penghilangan sejarah lokal.
Namun, pendekatan kritis juga memiliki kelemahan. Ia bisa terjebak dalam sinisme epistemologis, melihat segalanya sebagai konspirasi atau rekayasa kuasa. Tanpa panduan nilai yang kuat, kritik bisa kehilangan arah dan hanya menjadi dekonstruksi tanpa konstruksi. Kita butuh lebih dari sekadar membongkar sejarah; kita juga butuh membangun makna baru.
Filsafat Sejarah Profetik: Etika dalam Arah Sejarah
Baca Juga
Hikmah Larangan Makan Terlalu Kenyang
Filsafat sejarah profetik muncul sebagai sintesis antara makna dan moralitas. Ia tidak hanya bertanya "apa yang terjadi" atau "siapa yang berkuasa", tetapi juga "nilai apa yang harus kita perjuangkan?". Dalam pendekatan ini, sejarah dipahami sebagai medan perjuangan antara nilai kebaikan dan keburukan, antara pembebasan dan penindasan, antara tauhid dan taghut.
Ali Syariati adalah salah satu pemikir penting dalam pendekatan ini. Ia memandang sejarah sebagai pertarungan antara Habil dan Qabil, simbol perlawanan terhadap kezaliman. Nabi, bagi Syariati, bukan hanya pewarta wahyu, tetapi juga pembebas sosial. Demikian pula Kuntowijoyo, intelektual Muslim Indonesia, yang merumuskan Ilmu Sosial Profetik sebagai jalan tengah antara kritik struktural dan harapan etis.
Dalam sejarah Islam sendiri, para nabi selalu tampil sebagai tokoh historis sekaligus moral. Nabi Musa melawan Firaun bukan sekadar karena konflik politik, tetapi karena mandat profetik untuk membebaskan Bani Israil. Nabi Muhammad menentang hegemoni Quraisy bukan hanya karena ketimpangan ekonomi, tetapi karena panggilan ilahi untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan.
Dalam konteks kekinian, filsafat sejarah profetik menjadi sangat relevan. Di tengah krisis iklim global, kemiskinan struktural, dan perang yang tak kunjung usai, kita butuh pendekatan sejarah yang tidak hanya kritis, tetapi juga memiliki orientasi nilai. Kita butuh narasi sejarah yang berpihak pada yang lemah, yang mendorong transendensi diri, dan yang membuka ruang untuk harapan kolektif.
Sejarah profetik bukan utopia. Ia adalah panggilan etis untuk bertindak. Ketika kita menulis ulang sejarah lokal, ketika kita memberi ruang pada narasi perempuan dan kaum adat, ketika kita menghidupkan kembali semangat perjuangan ulama melawan kolonialisme saat itulah sejarah menjadi profetik.
Relevansi Kekinian dan Tugas Intelektual
Di zaman pasca kebenaran (post-truth), ketika narasi sejarah bisa dibeli di pasar politik dan media sosial, ketiga pendekatan ini menghadirkan refleksi yang penting. Filsafat sejarah spekulatif mengingatkan kita pada pentingnya kerangka berpikir jangka panjang dan rasionalitas dalam memahami peristiwa. Filsafat sejarah kritis menuntut kita untuk curiga pada narasi dominan dan tidak serta-merta menerima kebenaran yang diklaim mutlak. Dan filsafat sejarah profetik memberi kita harapan dan orientasi moral untuk terus berpihak pada kemanusiaan.
Intelektual tidak cukup menjadi pencerita sejarah. Ia harus menjadi penafsir dan pembimbing moral dalam sejarah. Ketika sejarah dipersempit menjadi tanggal dan tokoh, maka makna hidup dan perjuangan hilang. Ketika sejarah hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan, maka rakyat kehilangan cermin untuk bercermin.
Sejarah bukan soal masa lalu, melainkan soal bagaimana kita memaknai masa lalu untuk menentukan arah masa depan. Dalam bahasa lain: sejarah adalah tempat manusia menguji tanggung jawabnya terhadap waktu.
H Wahyu Iryana, Penulis Buku Historiografi Barat